Date: Tue, 8 Sep 1998 19:09:57 +0200 
To: Bahtera <bahtera@lists.singnet.com.sg>
Subject: Subject: Re: BT bahasa, sejarah, kebudayaan -Reply

Re: Bahasa, Sejarah, Kebudayaan (berkenaan dengan "Cina"/"Tionghoa")

 
     >  pertanyaan saya. Namun sebenarnya ini belum terlalu menyentuh masalah
     >  linguistiknya. Kalau dibanding dg umpatan "Dasar orang desa!", maka
     >  kata "desa" dan "Cina", sama2 punya konotasi negatif, namun sifat2
     >  negatif (stereotype) pada kata "desa" itu memang secara inherent (padu)
     >  sudah mengandung sifat2 tsb. Sedangkan pada kata "Cina" apakah secara
     >  inherent juga sudah mengandung sifat2 negatif itu (Indra: atribut2)? Saya
     >  rasa tidak demikian; seperti kata Indra, kata Cina digunakan hanya sebagai label
     >  untuk suatu kemasan yang berisi atribut2 negatif tersebut. Jadi dengan kata
     >  lain, secara linguistik sebenarnya "atribut2" itu tidak inherent ada dalam istilah
     >  Cina, melainkan sesuatu yang "added".
     >  Saya kira, Arief Budiman yg pakar sosiologi, bersikap demikian karena dia
     >  juga mengalami jalan buntu ketika menelusuri asal-usul kata cina menjadi umpatan.
      
 

 
Boleh saya sedikit menyumbang unek-unek?

Contoh desa itu saya pikir bagus sekali. Kata yang memiliki arti seperti ini bisa (tidak pasti harus) sampai berkonotasi negatif. Misalnya, kata udik itu, dalam hubungan dengan orang, hampir selalu berarti negatif. Artinya: berlayar ke udik tidak ada aspek negatifnya, tetapi dia itu orang udik sudah mengandung arti negatif. Anehnya, hulu tidak mengandung arti negatif, dan hilir tidak mengandung arti "memuji". Demikianpun, walaupun desa pada dirinya sendiri belum berarti negatif, tetapi dusun di beberapa daerah (khususnya di daerah tertentu di Kalimantan dan Sumatra) mempunyai arti negatif.

Saya pikir, apakah kata itu sampai memperoleh konotasi negatif tergantung bukan dari sebab-sebab yang berwatak bersih linguistik. Aspek negatif dalam artinya itu, saya pikir, timbul dari sifat-sifat daripada barang denotat (apa yang didenotasi oleh kata itu) itu sendiri atau kaitan hubungannya dengan lingkungan materielnya. Umum pada bahasa-bahasa bangsa yang pusat kebudayaannya di kota, kata yang berarti "desa" atau "udik" itu bisa berkonotasi negatif. Mungkin, pada komunitas bahasa yang berpusat kebudayaan di pedesaan, kata yang berarti "kota" itulah yang bisa mendapat konotasi negatif (city slicker). Pada jaman feodal di Eropa, penduduk kota oleh kaum ningrat yang berdiam dalam benteng itu juga dianggap "kampungan", maka timbullah arti negatif kata Inggeris villain (bandingkan bahasa Perancis ville "kota"). Jadi, dalam hal ini, adalah faktor-faktor sosial, ekonomi, kebudayaan materiel, dsb. yang menentukan penilaian "positif" atau "negatif" terhadap denotat itu, yang mana lalu "menular" kepada kata yang menamakan hal atau orang yang dinilai positif atau negatif itu.

Dalam hal kongkret kata cina maka konotasi negatif yang inherent padanya ini bukan suatu hal yang baru, dan memang mencerminkan semacam "universalia" seperti pada kata-kata yang berarti "desa" tadi. Bangsa daripada minoritas yang sukses berdagang dalam lingkungan dimana mereka sukses berdagang itu sering menjadi sasaran rasa iri ataupun benci, sehingga bangsa minoritas itu sering dihubungkan dengan ciri-ciri negatif seperti "kikir", "penipu", "pengecut" dsb. Contoh klasiknya yalah orang Yahudi di Eropa. Nasib yang serupa dirasakan juga oleh orang Arab ("sepuluh-duabelas"), orang India ("Keling"), orang Tionghoa, dan, perhatikanlah baik-baik, orang "Melayu Tanjung Harapan" (Cape Malays) di Afrika Selatan (sebagian besarnya keturunan budak dan tawanan perang VOC yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Maluku Utara). Di sini pun, kata untuk menamakan atau menyebut bangsa minoritas mahir berbisnis ini lalu mendapat konotasi negatif.

Sangat menarik adalah sejumlah metafora dalam bahasa Inggeris yang mengandung kata Dutch yang semuanya berarti negatif. Ini sejarahnya berasal dari masa ketika persekutuan dagang Jerman Utara yang bernama Hansa itu sangat sukses di perairan Eropa Utara, termasuk Inggeris. Artinya, kata Dutch ini tidak menunjuk kepada orang Belanda, melainkan kepada orang Jerman (Deutsch) pesisiran yang berbahasa logat Niederdeutsch (bahasa Belandanya Nederduits, artinya "Jerman Hilir"). Mengingat orang berbahasa Melayu dulu aktif berdagang di Nusantara, tidak usah heran bahwa dalam bahasa Tetum (di Timor), kata malai itu berkonotasi negatif (ini sudah lama sebelum adanya isu Timor Timur).

Jadi, konotasi negatif yang inherent pada kata cina dalam bahasa Indonesia ini tidak mengherankan, melainkan seresam benar dengan tendensi yang cukup meluas di seluruh dunia berkenaan dengan nama bangsa minoritas yang mahir berdagang. Tidaklah soal, bahwa di kalangan orang keturunan Tionghoa sendiri di Indonesia, yang berhasil jadi kaya liwat dagang itupun minoritas. Yang mendapat perhatian orang malah segelintirnya yang menyolok itu (Tak beda dengan orang Yahudi di Eropa, dsb., dsb.). Yang tidak sempat kaya malah yang paling sering kena getahnya....

Dengan timbulnya kata tionghoa, rupanya terjadi semacam "pembagian tugas", artinya, pada tahun-tahun 1950-an, kata cina lebih "berspesialisasi" dipakai untuk "keperluan" memisuh, sedangkan untuk keperluan netral ada kata tionghoa. Keperluan Orde Baru untuk mengarahkan syakwa-sangka dan antipati rakyat terhadap orang Tionghoa itu mengakibatkan disisihkannya kata tionghoa, sehingga orang bangsa tersebut secara keseluruhan dinamakan cina. Permusuhan Orde Baru waktu itu terhadap RRT/RRC (yang belakangan akur kembali) rupanya bukan satu-satunya sebab. Waktu itu di dalam negeri pun terjadi huru-hara (yang mungkin terpimpin juga) yang disertai pembantaian terhadap penduduk keturunan Tionghoa. Menurut satu analisa, keluarga Cendana kekayaannya menanjak berkat bakat bisnisnya cukong-cukong tertentu. Katanya, agar cukong tersebut tidak lalu merasa menguasai keluarga (jangan "mang-Alibaba-kan" nya), maka diperlukan suasana dimana orang Tionghoa itu perlu takut dan tergantung kepada kulawarga untuk melindunginya. Ada pula keterangan, bahwa pembakaran gereja dulu itu juga terutama berkaitan dengan keperluan menakuti orang keturunan Tionghoa, karena pembakaran gereja itu sering bertepatan dengan ancaman-ancaman terhadap orang keturunan Tionghoa. Memang menurut angka-angka statistik yang saya pernah lihat, pembakaran gereja itu mulai dari tahun 1965 dan menanjak terus selama kekuasaan Orde Baru. Tetapi apakah kaitan yang disebut di atas benar atau tidak, tentu pihak berwajib yang harus menentukannya.

Adapun, mengingat bahwa selama Orde Baru itu, satu-satunya istilah untuk menyebut Tionghoa yang dapat dipakai waktu itu itu cina, maka tidak mungkin setiap orang yang memakainya itu bermaksud menghina. Artinya, bagi banyak orang yang bersantun, memakai kata cina itu tidak otomatis berkonotasi negatif. Terjadilah satu paradoks yang amat menarik. Walaupun Orde Baru "menunggalkan" kata cina untuk menjeleki orang Tionghoa, akibat langsung daripada tindakan tersebut adalah bahwa watak "menghina" daripada kata tersebut malah berkurang.

Kendatipun demikian, konotasi negatifnya belum hilang benar. Ini saya lihat tidak saja dari perasaan orang keturunan Tionghoa di Indonesia, yang masih tetap bisa merasa dihina kalau mendengar kata itu, tetapi juga dari kecenderungan banyak orang pribumi yang pernah saya dengari kalau berbicara, kata cina itu sering ditukar dengan kata Inggeris chinese. Dalam hal ini, saya melihat penggunaan kata Inggeris yang berkonotasi netral itu sebagai semacam "pelarian" daripada konotasi negatif kata cina yang, bagaimana pun juga, masih tetap dirasakannya.

Nah, sekian dulu, dan maafkanlah sampai panjang begini.



Back to index