Date: Fri, 14 Aug 1998 15:54:40 +0200 
To: Bahtera <bahtera@lists.singnet.com.sg>
Cc: BAHASA List <bahasa@auckland.ac.nz>
Subject: BT tentang-menentang

Fri, 14 Aug 1998,  Sofia Niksolihin wrote:

..... wrote:

> 1. 'Menguraikan 'tentang' sistem pelabelan secara ringkas'; ataukah
> 2. 'Menguraikan sistem pelabelan secara ringkas'.
>
> Bagaimana sebenarnya penggunaan 'tentang' yang baik dan benar.
....., yang betul adalah kalimat nomor 2. Kata kerja 'menguraikan, menceritakan, membahas, membicarakan, mengeluhkan, mengkhawatirkan, mencemaskan ... dst' harus langsung diikuti objeknya.

Contoh penggunaan kata 'tentang':

3. Dia bercerita tentang masa lalunya.
3a. Dia menceritakan masa lalunya.

 
Fri, 14 Aug 1998,  Tim Behrend wrote:

Kebetulan saja saya, baru saya baca di "Salah Asuhan" (Djakarta: Balai Pustaka, 1967):

Mudah-mudahan Tuhan jang bersifat murah akan mengampuni djuga segala dosamu, sebagai ibumu jang engkau durhakai ini dengan lilahi ta'ala sudah pula mengampuni akan dikau (hlm 101).

Rupanya Abdoel Moeis ikut terperanjak karena ber"kesalahan" berbahasa yang sedang kita periksa. Atau...pemakaian tersebut boleh pada tahun 1928 saat Abdoel Moeis menulis dan mungkin juga boleh dewasa ini.

 

 
Masalah penggunaan katakerja berakhiran -kan (kausatif, benefaktif) dan berakhiran -i (aplikatif) dengan katadepan pada pendapat saya memang rumit sekali, karena menyangkut beberapa masalah. Ada masalah perbedaan dialek (misalnya, pembicara asal Jawa Tengah umumnya lebih cenderung menggunakan katadepan yang "berlebihan", sedangan pembicara asal Sumatera Barat sering malah terlalu hemat memakai katadepan dirasakannya). Selain itu ada masalah perbedaan stilistik, khususnya antara bahasa baku dan bahasa percakapan.

Tetapi dalam aspek gramatikal itu sendiri pun, masalahnya mungkin tidak sejernih seperti yang bisa disangka dari sepintas mempelajari struktur dasarnya. Yang ini, begaimana kita semua mengetahui, secara prinsipiel membedakan antara beberapa konstruksi (pasangan contoh pertama dari Sofia Niksolihin):

(1a) Dia bercerita tentang masa lalunya
(1b) dia menceritakan masa lalunya.

(2a) Pada jam 12 ia memukul lonceng itu dengan palu
(2b) Pada jam 12 ia memukulkan palu pada lonceng itu
(2c) Pada jam 12 ia memukuli lonceng itu dengan palu

(3a) Dia sudah menyurat kepada temannya bahwa akan tiba sabtu malam
(3b) Dia sudah menyurati temannya bahwa akan tiba sabtu malam

(4a) Bapaknya membeli sepedah baru untuk Ali
(4b) Bapaknya membelikan Ali sepedah baru

[(2c) menunjukkan bahwa perbuatan yang dinyatakan dalam (2a) itu dilakukan berulang-ulang dan/atau secara intensif.]

Jadi selain adanya perbedaan intrasitif/transitif antara (a) dan (b) pada pasangan (1) dan (3), penggunaan bentuk-bentuk katakerja berakhiran -kan dan -i ini juga menunjukkan perbedaan hubungan antara katakerja dengan sasaran daripada "pekerjaan" yang dinyatakan oleh katakerja itu dalam pasangan (2) dan (4).

Menarik dalam hal ini, bahwa jumlah sasarannya lebih dari satu. Fungsi daripada penggunaan bentuk berakhiran atau penggunaan katadepan itu dalam hal ini mengongkritkan sasaran mana yang secara formal menjadi obyek langsung (direct object). Dalam (2a) itu adalah lonceng, dalam (2b) palu; dalam (4a) sepedah, dalam (4b) Ali.

Sekarang marilah kita perhatikan kalimat-kalimat berikut:

(5a) Kejadian itu menggembirakan saya
(5b) Kejadian itu menggembirakan bagi saya

"Salah"-kah kalimat (5b)? Kalau kita perhatikan transformasi berangsur- angsur yang terurai dalam kalimat-kalimat berikut, mungkin tidak lagi "menyalahi" kalimat (5b) itu:

(5c) Bagi saya, kejadian itu menggembirakan
(5d) Kejadian itu menggembirakan
(5e) Kejadian itu menggembirakan orang
(5f) Kejadian itu menggembirakan setiap orang di kampung

Sebagaimana halnya pada pasangan contoh (2) dan (4), katakerjanya pada uraian (5) ini pun mempunyai beberapa sasaran kerja, tetapi tidak semuanya dijabarkan secara terbuka. Dalam (5e) dan (5f) sasarannya orang, yang kemudian di-"samar"-kan dalam (5d). Dalam peralihan dari (5e) ke (5d) terjadi suatu pergeseran dalam arti katakerja menggembirakan, sehingga agak menyerupai katasifat. Kebetulan, di depannya dapat kita pasang modifikator sangat, kurang, lebih, dsb. Nyatalah, bahwa dalam perbandingan antara (5a) dan (5b) yang semula terdapat kelainan arti katakerja menggembirakan, yaitu dalam (5b) artinya mirip seperti dalam (5d). Artinya, (5b) ini terjadi bukan dengan menambahkan kata "bagi" ke dalam (5a), melainkan dari rokade kalimat (5c) hasil pengkhususan atau penyempitan arti daripada kalimat (5d).

Demikian pulalah, menurut tanggapan saya, letak perkaranya dalam contoh kalimat dari "Salah Asuhan" Abdoel Moeis yang dikemukakan oleh Tim Behrend:

Mudah-mudahan Tuhan ... akan mengampuni juga segala dosamu,
sebagai ibumu ... sudah pula mengampuni akan dikau.

Sebagaimana halnya dalam uraian (5) kita melihat perkembangan:

"menggembirakan orang" > "menggembirakan" > "menggembirakan bagi saya"

begitu pun di sini kita mendapatkan peralihan yang ditandaskan oleh si-penulis dengan menjajakan kedua konstruksi itu secara sejajar, yaitu:

"mengampuni dosamu" > ["mengampuni"] > "mengampuni akan dikau"

Yang diampuni disini bukan dikau, melainkan dosa-dosa yang telah disamarkan.

Menurut saya, pada konstruksi seperti "menggembirakan bagi saya" dan "mengampuni akan dikau" ini, penyamaran obyek langsung bukan sekadar suatu elipsis. Artinya ini bukan "perpendekan" daripada:

*menggembirakan orang bagi saya
*mengampuni dosa akan dikau

melainkan, dengan disamarkannya atau "hilang"-nya obyek langsung itu, hubungan antara katakerja dengan obyek telah mengalami sejenis abstraksi. Yang bersisa hanyalah satu "petunjuk sasaran" berupa akhiran -kan/-i tanpa dikongkritkannya sasaran yang ditunjuki itu sendiri. Sedangkan sasaran yang nyata, [bagi] saya dan [akan] dikau itu bukan objek langsung.

Jadi, penggunaan katakerja berakhiran ini bersamaan dengan katadepan rupanya satu cara memisah antara obyek langsung yang formal dengan sasaran yang benar-benar dinyatakan. (Walaupun, dalam 5b, "orang" yang digembirakan itu bisa saja tidak lain daripada "saya").

Dalam pemakaian yang demikian, ada sejumlah pembicara (terutama yang berasal dari Jawa Tengah) yang sering sekali menggunakan konstruksi demikian, sehingga dirasakan berlebih-lebihan kalau dilihat dari pihak bahasa baku. Khusus dalam hal...

(6) Ia menguraikan tentang sistem pelabelan secara ringkas

itu, bagi pendengar lain logat atau pendengar yang biasa dengan bahasa baku, tidak bisa menangkap adanya kelainan sasaran antara yang "ditudingi" oleh akhiran -kan dengan yang "disoroti" oleh katadepan tentang. Maka dirasakannyalah penjajaran akhiran -kan dengan katadepan itu sebagai semacam "pleonasme gramatikal".

Dalam penanggapan terhadap gejala ini, seperti juga halnya gejala-gejala logat lainnya, saya juga pikir kita perlu hati-hati dalam memberi penilaian "salah"/"benar". Pertama-tama, perlu ada kejelasan, apa yang menjadi pendasaran penilaian yang akan diberi itu..

Setiap masyarakat yang berkehidupan politik, ekonomi, dan sosial modern memerlukan bahasa baku. Contoh paling gamblangnya pemakaian dalam kehukuman. Undang-undang tidak boleh diinterpretasi semau masing-masing. Oleh karena itu, undang-undang harus mendapat perumusan yang tegas. Kalau itu dibolehkan bebas menginterpretasinya menurut logat masing-masing, kacaulah kehidupan kehukuman itu, bukan? Jadi, dalam pengajaran sekolah perlu diajarkan satu bahasa baku. Nah, kalau murid dalam mata pelajaran bahasa baku itu menggunakan konstruksi yang tidak sesuai dengan bahasa baku, seperti "menceritakan tentang", tentu gurunya harus bilang "salah". Sama halnya seperti guru berhitung kalau murid mengajukan pendapat bahwa 2+2=5.

Yang dipersoalkan bukanlah apakah murid itu boleh bicara begitu, melainkan apakah itu sesuai atau tidak dengan bahasa baku yang kebetulan menjadi mata pelajaran di saat itu. Tetapi dalam percakapan biasa, atau dalam tulisan yang tidak dimaksud sebagai / tidak dimaksudkan sebagai :-) isian ulangan di pelajaran bahasa, atau bukan tulisan resmi atau dokumen negara atau undang-undang dsb., tidak bisalah itu dikatakan "salah", melainkan hanya sekadar "tidak baku".

Kebetulan, di Indonesia ini tidak ada sukubangsa baku. Jadi, tuntutan supaya penjabat kedudukan resmi sedapatnya memakai bahasa baku itu bukan satu diskriminasi (lain halnya kalau yang dinyatakan bahasa baku itu misalnya bahasa Jakarta, atau bahasa Melayu Riau, atau bahasa Jawa Jogya).

Selain itu, ketentuan-ketentuan bahasa baku itu berangsur-angsur berubah, sehingga apa yang hari ini tidak normatif, siapa tahu bagaimana besoknya.



Back to index