KOMPAS, SABTU, 10 SEPTEMBER 2016 OPINI 7

Waruno Mahdi: Saya Masih Bisa Hidup

Oleh MARTIN MALEIDA

erlin. Saya ingin menemui  laki-laki yang paling  direkomendasikan untuk diwawancarai. Alex Flor, Direktur Watch Indonesia!, yang bermarkas di kota ini, mengatakan kepada saya, sedikit sekali eksil (exile) Indonesia yang kerja di bidangnya.

   Namun, yang satu ini mampu mengembangkan diri. Boleh dibilang semua eksil lulusan sejumlah perguruan tinggi di negeri-negeri sosialis tak diakui ijazahnya sehingga tak bisa bekerja sesuai keahlian. Sia-sia semua.
   Yang saya buru adalah sarjana kimia lulusan Moskwa. Ia bekerja di lembaga penelitian Jerman yang terpandang: Max Planck Gesell- schaft. Mantan direktur departe- mennya, Profesor Gerhard Ertl, begitu simpati pada nasibnya sehingga memasuki usia pensiun dia masih dipertahankan. “:Dia me- nguasai sejumlah bahasa. Jermannya lebih baik dari saya,” kata Alex.
   Selain ahli rekayasa kimia, orang ini juga dikenal sebagai ahli bahasa dan kebudayaan rumpun Melayu. Kepintarannya membawanya ber- kunjung ke Indonesia. Dia seorang polyglot, tidak punya hambatan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Rusia. Dia juga memahami bacaan dalam rumpun bahasa Slavia, Perancis, Portugis, Spanyol, Italia, Vietnam, dan Mandarin.
   Untuk menemui orang ini, saya mengabaikan gerimis musim semi yang menusuk. Keluar dari stasiun U-bahn Karl Marx Strasse, saya membelah terpaan angin menuju apartemen milik wanita-aktivis asal Toraja, yang berpasangan dengan pemuda Jerman. Di situlah saya berhadap-hadapan dengan lelaki yang saya cari: Waruno Mahdi.
   Dia duduk membelakangi teras yang menghadap ke Richard Strasse di bawah sana, tempat dia menambatkan sepedanya. Tinggi nyaris 180 cm. Hidungnya lebih mancung dari rata-rata orang Indonesia. Wajahnya mirip Rock Hudson, aktor Hollywood. Ia pernah 20 tahun di Uni Soviet (12 tahun di Moskwa, 8 tahun di Voronezh).
   “Saya bukan komunis,” katanya. Ya, dalam pertemuan sekejap itu, saya percaya dia bukan komunis. Dia internasionalis, anak manusia segala daratan. Waruno lahir 72 tahun lalu di Bogor. Usia tiga tahun dia dibawa             

  orangtuanya, diplomat, ke Singapura, kemudian Bangkok, Peking.
   Kembali ke Indonesia 2,5 tahun, ia lalu menetap beberapa bulan di London, 20 tahun di Uni Soviet, sebelum akhirnya menjadi intelektual di Berlin.
   Bagaimana kehidupan di Moskwa sampai kemudian lari ke Berlin Barat?
   Saya datang dari kota kecil Voronezh di selatan Moskwa, tempat saya dibuang 8 tahun. Saya orang Indonesia satu-satunya di sana. Setelah lima tahun lulus di bidang kimia, terjadi peristiwa 1965. Ceritanya panjang, mengapa saya tak bisa pulang. Mereka—kelompok mahasiswa dan orang- orang politik Indonesia pro-Moskwa—tidak senang dengan kelompok kami karena tidak mau masuk kelompok mereka. Kami tidak mau masuk, takut kepribadian kami hilang.
   Waktu itu muncul banyak kelompok. Kelompok kami tidak masuk komunis. Tidak masuk nasionalis walaupun tetap pro Soekarno. Tidak masuk ke mana-mana. Jadi, kami dibuang ke luar Moskwa. Ada yang berdua-dua. Saya sendirian di kota Voronezh.
   Saya setahun menjadi asisten di universitas kota itu. Sesudah itu saya tidak diberi pekerjaan. Tidak bisa ke mana-mana. Akhirnya, saya jadi kuli semen. Tahu saya jadi kuli semen, orang-orang asing protes kepada pimipinan universitas. Kemudian, saya diberikan pekerjaan sebagai insinyur di pabrik karet. Kami meninggalkan Uni Soviet tahun 1977, setelah tahu caranya.
   Kami tidak mau pro Soviet. Juga tidak mau ke Tiongkok. Anak-anak muda Vietnam melindungi kami, mengajak kami bersama mereka. Mereka mengajari saya bahasa Vietnam.
   Tahun 1975 atau 1976, muncul percekcokan antara Vietnam dan Tiongkok. Kemudian ada orang Indonesia meninggal. Di Soviet, kala itu, kalau ada yang meninggal, orang yang dibuang ke mana-mana boleh kumpul. Hari kemalangan seperti hari suci. Siapa saja boleh datang. Pertemuan itu, bagi mereka yang dibuang, merupakan kesempatan ngobrol satu sama lain, diam-diam membicarakan berbagai masalah.
   Kami putuskan keluar ke Barat. Kami juga putuskan bagaimana caranya. Bagaimana caranya supaya Moskwa tidak tahu rencana kami? Keberangkatan diatur sekelompok-demi-sekelompok. Tiga-tiga orang lebih dulu. Di dalam gerbong, di coupe, bisa ditampung tiga orang. Dan kami bisa membawa koper dan barang sebanyak-banyaknya. Yang kami pikirkan adalah bagaimana berangkat ke Barat secara legal tanpa paspor. Keluar dari Soviet kami diberi exit visa. Visa keluar biasanya untuk komunis, misalnya Amerika Latin.
   Memasuki Berlin, kami harus lewat Polandia dan Republik Demokrasi Jerman. Di dua negara itu kami katakan, “Kawan Soviet memberi             
 
kami visa.” Dalam hitungan menit, kami bisa masuk. Petugas berpikir kami pemegang exit visa, jadi perlu dibantu.
   Dari mahasiswa Afrika kami tahu bahwa naik kereta ke Berlin Barat, turun di stasiun Zoologischer Garten, tidak akan ada pemeriksaan paspor. Padahal, di mana-mana ada pemeriksaan paspor. Zoologischer Garten masuk bagian yang dikontrol Amerika Serikat. Jadi, kami berhasil memasuki Berlin Barat tanpa memiliki paspor.
Langsung bekerja  
   Begitu sampai di Berlin sini, setelah minta suaka, langsung cari kerja supaya bisa menyewa flat, rumah. Begitu dapat flat, kami langsung mengirim surat ke Timur. Kami bilang kelompok tiga orang berikut silakan datang. Dalam tempo 1,5 tahun seluruh anggota grup kami sudah di Barat.
   Pekerjaan pertama di Berlin?
   Penjaga malam! Satu bulan lamanya. Sebelum punya flat kami menginap di rumah orang Indonesia. Dia meminta kami membawa buku-buku karena pernah belajar di Uni Soviet. Kami bawakanlah buku-buku kedokteran yang diminatnya. Sebagai ganti kami menginap di rumahnya.
   Kami mencari pekerjaan terus. Dalam waktu dekat, kami dapat flat. Saya dapat pekerjaan di pabrik kimia. Menjadi buruh selama 10 bulan. Pekerjaan yang ketiga di institut tempat saya bekerja sekarang, Institut Fritz Haber yang masuk Max Planck Gesellschaft.
   Bagaimana Bung mendapat pekerjaan di Max Planck?
   Latar belakang penidikan saya di Uni Soviet adalah kimia. Saya insinyur kimia. Mula-mula, kemahiran saya itu tidak diakui di sini. Namun, ketika saya ditetapkan pensiun, mereka mengakui ijazah saya. Saya dapat pekerjaan di institut dari Max Planck Gesellschaft karena institut perlu asisten dengan jenis pekerjaan khusus, yaitu bekerdja             
  dengan zat-zat yang tak boleh bersentuhan dengan oksigen. Di Uni Soviet saya bekerja di bidang tersebut.
   Untuk mengisi lowongan ada 20 pelamar, kebanyakan orang Jerman. Hanya ada dua orang asing, termasuk saya. Dalam wawancara saya tunjukkan bahwa saya banyak pengalaman dalam bidang yang ditawarkan. Senanglah yang mewawancarai.
   Ada kritik yang menyebutkan social security corrupts (jaminan sosial) itu korup. Membuat orang terlena, puas diri, tidak mengembangkan diri secara maksimal. Sebagian dari eksil di Belanda, misalnya, tidak menggunakannya untuk menggembangkan diri. Mereka memilih menerima jaminan sosial.
   Saya setuju dengan kritik itu. Saya bukan komunis. Kelompok saya yang di Uni Soviet bukan komunis. Saya tidak setuju dengan mereka yang di Belanda. Kelompok kami lain. Begitu kami sampai di sini, kami langsung cari kerja dan mau bekerja apa saja. Duit yang kami dapat bukan hasil meminta-minta.
   Minat Bung di bidang bahasa?
   Saya tidak belajar atau mengajar bahasa, tetapi memahami bahasa dalam pengertian teori. Publikasi saya banyak mengenai bahasa. Saya belajar sejarah bahasa dan kultur. Bahasa Indonesia misalnya, berhubungan erat dengan budaya Indonesia dan Asia Tenggara.
   Minat saya sudah mulai muncul ketika saya masih di Uni Soviet. Waktu menjalani pembuangan di Voronezh, saya pikir, apa yang bisa dikerjakan. Saya punya kamus bahasa Madagaskar, yang masih serumpun dengan bahasa Indonesia. Berdasarkan kamus itu saya mendalami dan menemukan kekhususan-kekhususan bahasa Madagaskar. Sampai di Jerman, penelitian saya publikasikan dalam bahasa Jerman, tahun 1988.
   Maaf, jangan terusik dengan pertanyaan ini. Bung berkeluarga?
   Tidak. Saya tak bisa. Bagaimana mengatakannya... Saya tidak bisa             
  bergaul dengan orang. Gara-gara latar belakang saya yang pernah tinggal lama di Uni Soviet. Kebanyakan orang tidak tahu. Tetapi, saya tahu karena saya anak diplomat. Bahwa setiap gerak kami dimata-matai. Malam, siang, pagi. Punya cewek pun di mata-matai.
   Ketika saya dibuang ke Voronezh pun ada orang yang memata-matai saya. Jadi, kalau ada wanita yang mendekat, otomatis saya jadi enggan. Begitulah. Sudah di luar logika yang sehat.
   Suatu waktu, ketika saya ditugaskan ke suatu tempat untuk penelitian, saya ditemani seseorang. Saya ditanya, bagaimana dengan wanita yang menemani itu. Saya katakan, terlalu kurus. Setelah itu, saya dicarikan wanita yang gemuk-gemuk he-he...
   Di Jerman juga ada wanita yang berusaha memperkenalkan saya kepada seseorang yang persis seperti tipe wanita yang saya katakan (gemuk). Jadi, jelas wanita itu diberi tahu oleh KGB atau oleh siapa bahwa si Waruno senang wanita seperti ini.
   Sejak itu saya masih pernah berhubungan dengan satu-dua wanita, tetapi tidak berdasarkan saling percaya. Untuk mempercayakan rumah saya kepada dia, tak mungkin. Kalau sudah tak percaya, saya jadi tak bisa tidur. Jadi, sudah di luar logika. Saya menderita semacam penyakit psikologis, paranoia. Biarlah, yang penting saya hidup.
   Saya punya lima adik perempuan. Empat di Belanda, satu di Kuba. Yang di Kuba menikah dengan orang Kuba. Bertemu ketika sama-sama belajar di Republik Demokrasi Jerman. Mereka menikah di Leipzig, Jerman Timur. Punya anak. Anak itu sekarang di Amsterdam. Yang di Bogor dan Jakarta hanya saudara sepupu saya.
   Sudah pernah kembali ke Indonesia?
   Baru dua kali. Sesudah saya menjadi warganegara Jerman, tahun 2000, saya pulang. Saya tadinya berharap bisa kembali menjadi warga Indonesia. Ketika utusan Gus Dur, Yusril Ihza Mahendra, menemui orang-orang yang dikatakan klayaban, saya juga datang ke kedutaan Indonesia di Belanda. Namun, karena tak ada kelanjutan, saya putuskan jadi warga negara Jerman.
   Tiga bulan setelah dapat paspor Jerman, bapak saya meninggal di Belanda. Karena dia memegang Bintang Gerilya, jenazahnya diongkosi untuk dibawa pulang ke Indonesia bersama keluarga, termasuk saya. Itulah kali pertama saya pulang ke Indonesia.
   Kedua kali ketika saya diundang sebagai peserta workshop yang diselenggarakan Universitas Indo- nesia, 2004. Waktu itu, dibahas satu             
  naskah kuno, dalam bahasa Melayu, dari tahun 1400-an. Ditemukan di Kerinci oleh Uli Kozok. Saya ikut membaca, menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Naskah itu belum menggunakan huruf Arab. Belum huruf Jawi, masih kuno sekali. Naskah terbit di Singapura. Redakturnya Uli Kozok, tinggal di Honolulu. Mengajar bahasa Indonesia di sana.
   “…sejak Ibu saya harus pindah dari apartemennya ke panti jompo, saya tak bisa lagi mengatakan di mana rumah untuk pulang. Sampai Februari 1967, paspor saya menyebutkan bahwa rumah saya di Indonesia. Sejak April 2000 rumah saya di Jerman. Tetapi, di antara dua kurun waktu itu, pasporku sekalipun tak bisa mengatakan kepadaku.” Begitu Bung menulis di blog. Jadi kalau ke Indonesia, Bung lukiskan sebagai apa?
   Tidak pulang lagi, tetapi sebagai kunjungan. Saya tak punya tempat ke mana saya pulang. Di sini juga begitu… Berangkat, ya, ke mana-mana...
   Menyesal menjalani hidup begitu?
   Saya seorang realis. Saya senang dengan apa yang ada. Dan saya sudah terbiasa demikian.
   Bung merasa kehilangan Tanah Air?
   Ah… tadinya ya … Tetapi, setelah dua kali saya ke Indonesia, suasana di sana sudah tidak sama seperti yang saya kenal dulu. Saya memang lama berada di luar negeri. Seluruh waktu saya di Indonesia hanya lima setengah tahun
   Gaya hidup yang Bung tempuh?
   Dalam hal makanan, saya hati-hati sekali. Minum kopi atau teh tak pakai gula. Untuk mencegah diabetes. Makanan yang mengandung banyak lemak saya hindari. Semua saya lakukan untuk mempertahankan profesi saya sebagai seorang ahli. Saya tidak naik mobil. Saya bersepeda. Musim dingin, musim panas, saya naik sepeda. Kalau hujan, ya, saya ingat saya orang Bogor. Musim salju, saya ingat saya orang Rusia ha-ha-ha… Begitulah selama 20 tahun.
Epilog  
   Berlin bukan Bogor si “Kota Hujan”. Namun, di luar apartemen dua sejoli Toraja-Jerman ini gerimis terus membasuh kota. Sudah saatnya berpisah. Saya ikuti langkah Waruno menuruni tangga. Dia menenggelam- kan kepalanya ke dalam topi dan mengayuh pedal, menerabas angin dan rintik hujan.
   “Hati-hati. Jumpa lagi,” katanya melintas sambil menoleh.
 MARTIN ALEIDA
 Menulis Sejumlah Cerita Pendek, Akhir Februari-Mei 2016 Meriset Eksil Indonesia di Lima Negara Eropa
 
printable page image (DIN A3)
 
Index