Rabu, 31 Agustus 2005
Wawancara

32 Tahun tanpa Warga Negara Membela Satu Nusa dari Jauh

WARUNO MAHDI lahir di Bogor, 1943. Kini ia bermukim di Berlin, Jerman. Setahun setelah Indonesia merdeka, Waruno kecil mengikuti orang tuanya ke Singapura, kemudian Bangkok, Beijing, dan Moskow. Ayahnya, Izak Mahdi, seorang diplomat.
    Ia lulus insinyur kimia di Institut Teknologi Kimia Mendeleyev, Moskow, pertengahan 1965. Ketika terjadi pergolakan politik di Tanah Air pada 1965-1966, Waruno sedang menunggu promosi gelar doktor. Perubahan konstelasi politik di Tanah Air membawa petaka bagi Waruno muda. Apalagi, ia tidak bersedia menandatangani pernyataan kesetiaan kepada Presiden Soeharto. Konsekuensinya, pada 1967 paspor Indonesianya dicabut oleh KBRI.
    Sejak 1967 itulah Waruno hidup tanpa kewarganegaraan. Penguasa Uni Soviet mengasingkannya ke kota kecil Voronezh. Dari sana ia mengungsi ke Berlin Barat pada 1977, tanpa paspor. Baru pada tahun 2000 ia menjadi warga negara Jerman. Berbekal paspor Jerman itulah Waruno kembali ke Indonesia pada tahun 2000, terakhir kali ia pulang tahun 1963.
    Untuk menggali pengalamannya selama 'mengembara' tanpa bukti kewarganegaraan, Gaudensius Suhardi dari Media mewawancarai Waruno pekan lalu. Petikannya:

    Ceritakan pengalaman Anda selama menjadi warga negara Indonesia, kemudian paspor dicabut untuk kemudian menjadi warga negara Jerman?
    Terima kasih untuk perhatian Media kepada nasib kawan sebangsa yang dicabut paspornya di kejauhan dari Tanah Air. Paspor saya dicabut pada tahun 1967 karena saya tetap setia kepada Presiden (Sukarno) dan pemerintah yang menugaskan saya menuntut ilmu pengetahuan di luar negeri. Waktu itu saya berusia 24 tahun, berarti saat status saya sebagai WNI otomatis batal setahun sesudah itu, saya baru berumur 25.
    Persis 32 tahun kemudian, ketika mantan Menkumdang Yusril Ihza Mahendra ditugaskan datang ke negeri Belanda awal tahun 2000 untuk mempersiapkan pemulihan status WNI bagi kami-kami ini, saya pribadi pun datang ke Belanda untuk hadir pada pertemuan dengan beliau. Baru kemudian, setelah menjadi jelas bahwa tidak ada maksud menindaklanjuti pertemuan tersebut, dan status WNI saya sudah batal 32 tahun lamanya, baru saya seumur 57 tahun menjadi warga negara Jerman, negeri yang telah memberi tampungan kepada saya selama 23 tahun (kini 28).
    Berkat memiliki paspor Jerman itu pun, maka dalam lima tahun yang silam sejak itu saya sempat dua kali berkunjung ke Indonesia (sebelum jadi WN Jerman itu tidak boleh).
    Anda sempat diasingkan ke Voronezh, Uni Soviet. Bagaimana suka duka Anda berada di pengasingan, apalagi hanya Anda sendiri orang Indonesia di sana?
    Tentu ruang ini sangat kurang untuk menceritakan segalanya. Yang pokok, waktu kami bersama teman-teman ditelantarkan di balik tirai besi oleh aparat Orde Baru, tidak berarti kami terus melepaskan rasa kebangsaan. Demi mempertahankan kepribadian nasional, kami menolak masuk wadah organisasi yang disediakan oleh Uni Soviet untuk orang Indonesia seperti kami. Akibatnya, kami dipencilkan di beberapa kota berjauhan. Saya terpaksa hidup sendirian di Voronezh. Saya mendekati mahasiswa Vietnam yang banyak membantu saya.
    Lebih penting lagi, di tempat kerja saya berusaha telaten dan rajin sehingga mendapat simpati rekan sekerja Rusia, yang juga banyak membantu saya mengatasi pelbagai problem yang lumrah bagi seseorang dalam pengasingan. Kadang-kadang, beban kerja itu terasa berlebihan, misalnya waktu pernah bekerja kuli menurunkan semen dari gerbong Kereta api. Tapi kami selalu sadar, seberat apa pun rasanya yang kami alami, masih jauh dari penderitaan mereka yang jadi korban Orde Baru di Tanah Air. Pikiran itu memberi kami kekuatan untuk tetap tabah.
    Apakah Anda pernah berkeinginan untuk kembali menjadi warga negara Indonesia dan menetap di Bogor, daerah kelahiran Anda?
    Tadinya memang hanya itu yang saya harapkan. Baru setelah menderita penyakit borreliosis (semacam infeksi yang ada pengaruh terhadap urat saraf dan daya ingatan), saya sulit untuk gonta-ganti lingkungan hidup.
    Selain itu, masalah warga negara itu bagi saya bukan soal sepele. Tidak kebetulan, selama 30 tahun status WNI saya batal, tetap juga tidak mengurus kewargaan negeri lain. Tetapi setelah mendapat kewarganegaraan Jerman, berarti saya juga berikatan kepada negeri Jerman yang sedemikian lama menampung saya dan menyediakan ruangan untuk menyambung kehidupan yang layak.
    Itu tidak berarti bahwa saya sudah melepaskan keindonesiaan saya. Yang ideal sekiranya bisa berdwikewarganegaraan, tapi itu kelihatannya tidak bisa terkabulkan.
    Apakah Anda masih mengikuti perkembangan di Tanah Air? Apa komentar Anda terhadap rencana pemerintah Indonesia untuk memberi amnesti terhadap anggota Gerakan Aceh Merdeka? Apakah Anda setuju jika pemerintah Indonesia juga memberi amnesti terhadap mereka yang sudah menanggalkan kewarganegaraan Indonesia lantaran persoalan politik?
    Berita tetap saya ikuti, sampai sekarang juga. Dalam hal amnesti, saya ambil patokan pada sikap bagaimana Bung Karno dulu. Bekas anggota separatis PRRI-Permesta itu dulu juga diberi amnesti. Yang didahulukan oleh Bung Karno itu konsiliasi demi kerukunan bersama Bhinneka Tunggal Ika yang mendasari kesatuan RI.
    Di Aceh pun harus begitu. Dan penting lagi ialah melindungi rakyat Aceh jangan lagi sampai jadi korban dendam dari sementara oknum kambing hitam di kalangan aparat yang mungkin menyalahgunakan situasi. Perlu disadari bahwa kesewenang-wenangan terhadap penduduk itu lebih merusak kesatuan RI ketimbang segala subversi kelompok separatis.
    Sedangkan mengenai kami, tidak perlu diamnesti karena memang tidak merasa bersalah. Kami tidak menanggalkan kewarganegaraan Indonesia kami. Melainkan Orde Baru yang secara sewenang-wenang melanggar kewajibannya terhadap WNI yang di rantau, menelantarkan kami sampai tidak berkewarganegaraan. Setelah telantar begitu pun, kami tetap sadar membela kesatuan nusa dan bangsa dari jauh, dengan sekadar alat yang kami miliki. Dengan makin berhasilnya upaya mengembalikan negara Indonesia ke jalur negara hukum, maka saya yakin masalah status orang-orang yang seperti kami pun kelak mendapat penyelesaian tuntas.
    Yang menurut saya lebih perlu didahului itu mantan tahanan politik serta sanak saudaranya yang sampai sekarang belum dipulihkan hak-haknya, dan dikembalikan segala milik yang pernah dirampas atau disita secara tidak sah.   (P-3)


 
Index