This Indonesian text was sent out  Tue, 17 Feb 1998 
It was carried on following 
mailing lists:

SiaR        <SiaR@mole.gn.apc.org> Wed, 18 Feb 1998 
INDONESIA-L <apakabar@clark.net>   Wed, 18 Feb 1998
                               and Sat, 21 Feb 1988
Jaganet     <jaga-net@lava.net>    Wed, 18 Feb 1998
KdP Net     <kdpnet@ACTIVIST.COM>  Thu, 19 Feb 1998
It was published clandestinely in April 1998 in Jakarta

This edition was mounted on Web on Fri, 20 Feb 1998
___________________________________________________


UJIAN PADA AMBANG PINTU DEMOKRASI

oleh Waruno Mahdi
 

1. Kenapa Indonesia Harus Istimewa Sendiri

Dalam masa kesudahan setelah aksi kekerasan penguasa terhadap markas PDI-Mega pada bulan Juli 1996, si penulis ini pernah mencatatkan beberapa buah pikirannya sekitar seluk-beluk perspektif pencalonan Megawati dalam rangka perjuangan penegakan demokrasi di Indonesia (yang kebetulan punya minat masih bisa membacanya pada alamat url http://w3.rz-berlin.mpg.de/~wm/PAP/Mega4Pres.html). Ini disebut kembali, bukan karena si penulis ini mencari kesempatan mengingat-ingatkan lagi tulisan lampau itu, yang notabene terutama ditujukan kepada pembaca luarnegeri. Soalnya, di belakangan waktu orang mudah saja berlagak pintar: "wah, dulu harusnya berbuat begini atau begitu!". Maka dari itu perlulah si penulis ini mengetengahkan bahwa letak perkara yang akan dipermasalahkan berikut ini sudah pernah dikemukakan sebelumnya.

Seperti halnya banyak orang lain, si penulis ini pun waktu itu sudah maklum, bahwa sistem pemerintahan yang dihayati oleh Presiden Soeharto itu, setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang amat mengesankan selama 30 tahun dalam rangka pertumbuhan global seluruh pesisiran Pasifik Barat, kini tengah akan menatap pada ujung jalan buntu. Pilihan kata-kata "menatap pada ujung jalan buntu" ini sekali pun tidak diperhitungkan memburu efek murahan dalam mendramatisasi keadaan sesungguhnya melampau segala batas yang lumrah. Keadaan di Indonesia in sangat beda dengan negeri-negeri Pasifik lainnya yang turut dilanda krisis ekonomi.

Di negeri-negeri lain itu, ini semata-mata merupakan krisis yang sudah sewajarnya terjadi. Nafsu pengejaran rejeki yang menggelora dalam pertumbuhan luarbiasa selama dua dasawarsa terakhir ini pasti menciptakan suatu momentum dalam hal keberanian berisiko sehingga akhirnya lepas-landas sepenuhnya dari segala realita kemampuan yang dapat diandalkan. Cukup lah pasaran ambruk, agar si pelaku-pelaku sadar diri kembali, maka dapat lah mereka melanjutkan perjalanan dengan kepala yang telah tambah arif sedikit. Dalam dua-tiga tahun pun, akan lupa lah mereka pernah dilanda krisis, dan prosesnya akan berulang satu kitaran lebih lanjut. Tak beda halnya seperti pengalaman kemarin negeri-negeri industri Eropa dan Amerika, yang juga pernah mengalami krisis ekonominya yang pertama kali, kemudian yang kedua kali, kemudian .... dst., akhirnya terbiasa pada ayunan berkala silih-bergantinya periode pertumbuhan dengan periode resesi. Jadi, bagi negeri-negeri Asia-Pasifik yang tengah berkrisis itu, perkembangannya samasekali tidak ada ciri-ciri akan menatap ujung jalan buntu, melainkan sekedar harus lulus satu kesempitan sementara untuk kemudian melanjutkan kesibukan "business as usual".

Lain situasinya di Indonesia. Rezim pemerintahan Presiden Soeharto bukannya menjadi peserta, pelaku, apalagi pendorongnya, melainkan puas dengan menumpangi saja gelombang pasang pertumbuhan ekonomi kawasan Pasifik Barat tersebut. Yang berjasa menyumbang ikhtiar dan karsa pengusaha di Indonesia ini bukan warga kulawangsa Cendana, melainkan taipan-taipan atau cukong-cukong peranakan Tionghoa yang mungkin malah meng-"Alibaba"-kan warga-warga kulawangsa itu, dan lapisan luas klas menengah yang mencakup pengusaha-pengusaha besar dan kecil pribumi yang punya atau tidak punya koneksi ke Istana Cendana. Ini belum lagi terhitung sumbangan penting investor-investor asing yang kebanyakannya pasti tak lupa menyetor uang komisi sebagai upeti kepada yang berkuasa.

Begitupun, yang menjadi penggerak moril bagi klas menengah pribumi yang banyak berjasa dalam perkembangan ekonomi Indonesia kemarin ini bukanlah rupa-rupa mistik "Kejawen" gaya-lama yang dijaja oleh beleid rohani dari Istana Cendana, melainkan kebangunan kembali penghayatan agama Islam yang dapat kita alami dalam dua-tiga dasawarsa baru-baru ini. Perkembangan tersebut terakhir ini malah berwatak oposisional ketimbang beleid rohani Presiden. Sedangkan karsa rezim pemerintahan itu sendiri bukan karsa aktif atau pengaruh positif yang menghidupkan produksi dan perdagangan, melainkan karsa pasif dan parasitisme, terutama dengan nepotisme dan koncoismenya, hak monopoli dan kondisi istimewa lainnya, main peras untuk merampas perusahaan swasta yang sukses atau untuk mengeruk uang komisi dan lain sebagainya, ini malah menjadi penghalang kemajuan dan kini bahkan sepenuhnya menyumbat segala saluran untuk jalan keluar dari krisis.

Watak berkelainannya perkembangan ekonomi di Indonesia yang pernah dikemukakan si penulis ini sekarang mendapat kebuktian yang tiada disangka-sangka. Setelah negeri-negeri Asia-Pasifik yang dilanda krisis mendapat bantuan luar, keadaan ekonominya tampak memantap dan di sana-sini (misalnya Korea Selatan) bahkan sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda akan menyembuh kembali. Hanya di Indonesia sendiri, walaupun dengan segala bantuan internasional, keadaannya tetap makin parah saja, dan jalan keluar dengan cara-cara ekonomi belum juga kelihatan.

Kalau pakar-pakar di seluruh dunia tampak masih kebingungan dengan krisis di Asia-Pasifik itu, maka salahnya semata-mata terletak pada belum disadarinya bahwa Indonesia itu lain sendiri keadaannya dan tidak boleh diturutkan dalam pertimbangan. Kalau kasus Indonesia dikesampingkan, krisis di Asia-Pasifik itu sangat lumrah benar, tak beda dengan halnya di Eropa dulu, waktu pertama bangkit sebagai negeri-negeri industri.

Seperti halnya di Eropa itu, maka di Asia-Pasifik pun krisisnya pasti reda kembali, berganti dengan fase pertumbuhan. Hanya penurut-sertaan Indonesia yang kebal terhadap segala usaha perawatan itulah yang memalsukan gambaran umumnya sedemikian rupa sehingga krisisnya secara keseluruhan seakan-akan tiada terpecahkan. Boleh jadi, kasus Indonesia ini bahkan menjadi beban mati yang memperlambat proses penyembuhan di negeri-negeri tetangga. Tapi, inipun sekali lagi berakar pada suatu kekhususan tatanan politik dan ekonomi Indonesia, dan tidak mencerminkan suatu "keanehan" dalam perkembangan di kawasan Asia-Pasifik lainnya.

2. Pujian Tersamar Presiden Soeharto kepada Koalisi Pro-Demokrasi

Makin penting lah jadinya, secepat mungkin menanggulangi krisis di Indonesia yang lain daripada yang lain ini. Selain menimbulkan kemelaratan yang amat sangat kepada rakyat di seluruh tanahair, krisis itu turut mengganggu ketrampilan kehidupan ekonomi kawasan Asia-Pasifik, dan bahkan terasa akibat negatifnya pada pasaran saham di Eropa dan Amerika.

Semua orang pun sudah menyadari, bahwa krisis di Indonesia ini bukan sekedar krisis ekonomi, melainkan krisis sistem pemerintahan. Krisis yang demikian ini tiada terawatkan oleh penunggakan hutang atau gali lobang timbun lobang dengan bantuan dana dari luar. Krisis yang demikian itu jalan keluarnya yang dikenal dalam sejarah dunia pada dasarnya cuma dua: revolusi, dan reformasi. Dengan kata lain, barangsiapa hendak mencegah gejolak revolusioner dengan segala korban-korbannya yang sulit diperkirakan sebelumnya, dia haruslah berupaya agar reformasi seperlunya terjadi secepat mungkin. Kok yang berkuasa malah sepi-sepi saja, bahkan tenang-tenang mempersiapkan pemilihan kembali dirinya sebagai pertanda kelanggengan sistem lama?

Yah, mungkin beliau belum begitu yakin, di Indonesia ada bahaya akut pemberontakan secara kekerasan? Sampai-sampai membolehkan anakbuahnya menghasut-hasut huruhara anti-Cina.

Memang, kesulitan ekonomi dan sistem yang tidak adil itu masih belum merupakan syarat bagi pecahnya pemberontakan. Percobaan-percobaan untuk mencetuskan pemberontakan dalam situasi demikian biasanya gagal. Tetapi kalau rakyat sudah mulai lapar, besarlah kesediaannya untuk berjibaku atau mengamuk tak pandang bahaya, sehingga setiap gerakan massa yang lapar bisa tidak terkendalikan lagi dan menerjang maju seperti tanah longsor. Kekuatan penjaga keamanan yang waktu pemilu 1996 itu saja sudah sering-sering kewalahan membendung gerakan massa setempat akan tidak mampu menghentikannya, biarpun sudah siap-siap dengan segala pertunjukan latihan yang mentereng-mentereng.

Percobaan untuk mengalihkan sasaran gerakan massa itu dengan mengambinghitamkan orang peranakan Tionghoa menunjukkan kesadaran pada pihak penguasa bahwa keadaannya memang sudah amat gawat. Tetapi siasat yang sudah keterlaluan benar curangnya itu saja pun ternyata sudah tidak lagi membawakan hasil yang diharapkan. Demonstrasi-demonstrasi menuntut harga turun (yang, maklum lah, tiada seorang pun dapat memenuhinya) makin meluas di segenap pelosok tanahair, dan kesadaran bahwa tanggungjawab tunggal atas musibah yang menimpa rakyat ini terletak dalam tangannya Sang Panglima itu sendiri ini sudah menjadi umum.

Oleh karena itu, penghasutan huruhara anti-Cina itu sangat berbahaya. Sesungguhnya ini adalah permainan dengan api, dan tidak sekali saja dalam sejarah, kesombongan penguasa macam begini inilah malah memberi sentuhan penyala kepada letusan amuk massa yang meluap-luap, yang kemudian menyapu habis segala tuan-tuan besar yang sombong itu. Apakah presiden terlalu bodoh, sampai main-main dengan api seperti ini? Kiranya tidak.

Sudah sejak semula, bagi setiap orang pun jelas, bahwa kalau di Indonesia sampai mencetus huruhara takterkendali yang sungguh-sungguh, akan berakhirlah riwayat negara Proklamasi 17 Agustus 1945, akan luluh-lantaklah segala hasil yang pernah dibeli dengan penuh korban dan jerih-payah selama 50 tahun. Selama 30 tahun lebih, pemerintahan otoriter yang banyak menggunakan cara-cara tatanan totaliter telah memendamkan semua pertentangan-pertentangan dan kepincangan-kepincangan dan membiarkannya tidak diselesaikan atau dipecahkan dengan wajar, melainkan di-"tutup", dianggap tidak ada. Begitu tangan besi yang menahannya itu melepaskan gegenggamannya, seperti yang akan terjadi kalau huruhara tidak terbendung lagi, maka segala-galanya itu akan timbul ke permukaan.

Sesungguhnya, Megawati, Amien Rais dan Abdurachman Wahid, dalam kondisi sekarang ini dengan sangat mudah saja bisa menggerakkan jutaan rakyat untuk menyerbu Istana Cendana dan menggusurnya rata dengan tanah bersama segala penghuninya. Hanya berkat kesadaran ketiga tokoh besar ini akan akibat-akibatnya itulah, dan berkat rasa tanggungjawabnya kepada negara dan bangsa Indonesia, maka justru sebaliknya, semua pengikutnya diperingati terus-menerus supaya jangan terprovokasi, jangan melakukan huruhara.

Harus takut lah, sebenarnya, Presiden Soeharto setiap saat istananya bisa diserbu rakyat. Sudah lumrah setiap orang dalam situasi kritis begini pasti mencari suatu kompromi, menunjukkan kesediaan bekerjasama dengan koalisi pro-demokrasi untuk menempuh reformasi tertentu. Dari kenyataan bahwa dalam kesungguhannya beliau sedikitpun tidak menunjukkan kecenderungan untuk berbuat begitu, nyatalah betapa kukuhnya kepercayaan beliau akan rasa tanggungjawab yang tinggi ketiga tokoh nasional tersebut tadi. Sampai-sampai nasib nyawa dirinya dan segenap sanak-saudaranya berani digantungkannya pada benang sutera kebijaksanaan negarawan ketiga tokoh oposisi itu. Secara tidak sengaja, dan dalam bentuk yang tersamar begini, Presiden Soeharto telah memberi pujian yang sangat muluk kepada ketiga tokoh itu, dan telah memberi penilaian yang setinggi-tingginya kepada kepantasan mereka sebagai tokoh-tokoh terkemuka bangsa kita untuk membuka tahap baru dalam sejarahya.

Boleh lah orang bertanya: apa pulakah baiknya pujian munafik macam begini? Tak beda halnya seperti dalam penyanderaan pesawat terbang, penyandera itu berkeyakinan teguh bahwa pesawat tidak akan diserbu polisi, karena mereka tidak bakal ambil risiko penumpang-penumpang menjadi korban kalau bom di pesawat diledakkan. Maka Presiden Soeharto telah menyandera pesawat bernama Republik Indonesia beserta segala penumpangnya yang mendekati 200 ribu orang rakyat. Seperti polisi yang prihatin akan nasib para penumpang, rakyat dan pemimpinnya tak bisa berkutik, terpaksa diam saja sambil melihat si-penyandera enak-enak menghembuskan "pujian-pujian" dari istananya.

Sungguh pun demikian, hasil yang begini ini sudahlah merupakan kemenangan, karena berarti bahwa koalisi pro-demokrasi telah lulus satu ujian yang penting. Tapi ini baru ujian pendahuluan. Masih ada satu ujian lebih penting lagi, yang merupakan ujian pokok, yang sekaligus, kalau lulus, membuka jalan untuk melucuti si-penyandera dari "cockpit" pesawat negara tanpa membahayakan penumpang, membuka jalan untuk reformasi pemerintahan kearah demokrasi. Bagaimana ujian pokok itu baru akan dapat dikupas di bawah nanti.

Sementaranya, si penulis ini masih perlu mencatat bahwasanya Presiden Soeharto sampai terperosok kedalam situasi yang seperti ini dalam batas tertentu merupakan salahnya sendiri. Sejak kematian Sang Isteri, almarhum Ny. Tien Soeharto, Istana Cendana tampak kurang lincah menangani tantangan-tantangan yang dihadapinya. Makin tidak jelas, apakah Presiden yang mengatur keluarganya, ataukah keluarganya yang mengatur Presiden RI.

Setelah tiga dasawarsa pembangunan ekonomi yang gencar, sudah wajar lah terjadi perubahan-perubahan tertentu dalam profil masyarakat, yang pasti menuntut penyesuaian tertentu dalam tatanan ekonomi dan politik. Penting sekali dalam hal ini ketumbuhan klas menengah yang makin besar jumlahnya, yang dalam masyarakat negeri industri umumnya merupakan tonggak kestabilan yang penting. Dengan mulainya klas menengah ini lebih tenar mendengarkan suaranya, seharusnya seorang pemimpin negara, kalau benar-benar memiliki kebijaksanaan negarawan, bukannya menentang proses ini yang merupakan hasil langsung pertumbuhan ekonomi Indonesia, melainkan harus meletakkan dirinya di depan gerakan baru itu, menuntunnya maju mengambil kedudukan yang layak dalam pengurusan negara.

Tetapi setelah tiadanya Sang Isteri itu, tampaknya seakan sudah tidak ada budi akal cerdik yang menuntun tampuk kemudi, melainkan perahu negara seakan mata buta saja menempuh haluan lurus ke depan tanpa menghiraukan arah angin, alun ombak atau pun liku jajahan sungai. Bahkan setelah markas PDI-Mega itu diobrak-abrik oleh anakbuahnya, Presiden Soeharto sesungguhnya masih ada kesempatan kecil untuk menyelamatkan kedudukannya. Sebagaimana pernah si penulis ini usulkan dalam tulisan tersebut di muka atas tadi, masih dapat lah beliau waktu itu mengatur sedemikian rupa, sehingga mengajak berkoalisi dengan Megawati dan mencalonkannya untuk menjadi Presiden RI periode 1998-2003. Sekiranya kesempatan itu waktu itu tidak disia-siakan, mustahil lah sampai terperangkap dalam kedudukan yang kelihatannya tidak ada jalan keluar seperti sekarang ini.

3. Arti Penting Kebudayaan Pemerintahan dalam Demokrasi

Negeri bekas jajahan kolonial pada tahun-tahun pertama kemerdekaan menghadapi bermacam-macam kesulitan. Keadaan perkembangan ekonominya biasanya timpang, karena selama masa jajahan terutama ditujukan pengerukan kekayaan oleh pihak penjajah. Segala bagian infrastruktur pun perkembangannya berat sebelah, termasuk juga keadaan pendidikan pelbagai lapisan penduduk pribumi. Ini semua sangat lumrah, tetapi disamping itu masih ada akibat-akibat struktural, misalnya, di Indonesia, yang mendapat kesempatan berpendidikan universitas umumnya dari kalangan ningrat, sehingga elite pribumi lebih condong menghayati cara dan pandangan hidup yang bertendensi feodal, sedangkan lapisan masyarakat yang menghayati moral hidup rajin dan cermat khas kelas menengah itu kurang menentukan dalam taraf nasional.

Dengan makin berkembangnya ekonomi negeri merdeka, makin besar pula pengaruh klas menengah dalam menentukan corak atau wajah rohani bangsa secara keseluruhan. Peralihan dari feodal ke madani atau klas mengengah yang demikian ini tengah sedang kita alami dalam dasawasa terakhir. Adanya perlawanan secara keras-kepala terhadap reformasi untuk menyesuaikan rezim pemerintahan dengan pembaharuan budaya pandangan hidup nasional itulah yang mendasari krisis sistem pemerintahan dewasa ini.

Sehubung dengan permasalahan pemulihan cara pemerintahan demokratis masih ada satu warisan masa penjajahan yang lain yang perlu mendapat perhatian. Setiap bangsa merdeka sekaligus memiliki suatu tata-kenegaraan yang lengkap dengan pemerintahannya, perundang-undangannya, dan kehakimannya. Ini berarti adanya pula satu lapisan masyarakat yang bisa kita sebut kelas politik, yang secara langsung tersangkut dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, perundang-undangan dan, dalam batas-batas tertentu, juga kehakiman. Dalam satu negeri jajahan, bagian elite yang turut terlibat dalam penyelenggaraan tugas-tugas tertentu dalam administrasi itu pada keseluruhannya tidak turut memikul tanggungjawab kenegaraan. Tanggungjawab itu terletak sepenuhnya di tangan pihak penjajah. Dengan berakhirnya rezim penjajahan dan pulih kembalinya pemerintahan merdeka, pindah lah tanggungjawab itu kembali ke tangan satu kelas politik yang tidak berpengalaman memegang tanggungjawab itu.

Ini bukan masalah sepele, dan sudah ada atau belumnya pengalaman itu tidak ada sangkut-pautnya dengan apakah satu negeri jajahan itu sudah "matang" atau belum untuk merdeka. Ini bisa dibandingkan dengan orang yang mau belajar berenang. Sebelum terjun masuk dan menelan air beberapa kali tidak akan bisa-bisa. Hasil pengalaman berkenegaraan merdeka itu maka membentuk lah suatu kebudayaan pemerintahan yang menjamin kemantapan proses pemerintahan. Konsolidasi kebudayaan pemerintahan ini menuntut waktu yang cukup lama. Perlu timbul dulu kesadaran, bahwa setiap kelicikan yang mendatangkan keuntungan sementara sekaligus mengundang balasan kelicikan yang sama yang segera meniadakan kembali keuntungan sementara itu. Dengan demikian bisa terjalin kesepakatan tentang peraturan-peraturan permainan, dimana barang siapa melanggarnya segera dikeroyok ramai-ramai oleh yang lain-lain.

Kehidupan politik ada miripnya dengan kehidupan berdagang. Orang yang tawar-menawar di pasaran, kalau terlalu "jujur" dan polos, akhirnya kalah oleh yang geragasan, dan merajalela lah mula-mulanya segala bentuk kecurangan dan kelicikan. Tetapi setelah di pasaran itu ada pedagang-pedagang yang usahanya agak mantap, mulai lah mencapai mufakat tentang tatatertib pasaran tertentu, karena pencatutan-pencatutan dan penipuan-penipuan sementara rekannya yang masih "liar" itu makin menganggu.

Demikian pun dalam kehidupan politik, ada saja orang berhasil memperdaya saingannya dengan berbagai macam siasat dan akal bulus. Saling gertak-mengertak itupun tak kenal ukuran, karena maklum, yang kurang berani itu malah bisa kalah sendiri. Tidak mengherankan, dalam tahun-tahun pertama kemerdekaan Indonesia, bisa ada aturan menteri diculik, barisan sini cekcok dengan barisan sana, bahkan sampai melakukan proklamasi tandingan yang mengakibatkan bangsa Indonesia perang dengan bangsa Indonesia, dan semua ini di tengah keadaan RI dikepung oleh bekas penjajah.

Jelas lah, bahwa masalah kebudayaan pemerintahan itu mempunyai arti yang vital bagi keberhasilan cara pemerintahan demokratis, dimana tidak ada penguasa otoriter yang mengatur dari atas. Dalam masa pertama setelah berakhirnya penjajahan, kita bisa melihat partai-partai asyik-masyuk sikut-menyikut dalam suasana demokrasi 1950-1957, sehingga dalam tujuh tahun itu ada tujuh kabinet. Sudah terang, pemerintah yang begitu kerap silih berganti itu tidak mungkin sempat menangani problem-problem yang dihadapi negeri ini. Dewan konstituante yang akan merumuskan undang-undang dasar baru itu pun macet pekerjaannya karena pihak-pihak pada ngotot-ngototan.

Pengalaman buruk eksperimen berdemokrasi yang pertama itu telah terus-menerus dipakai oleh pihak penguasa sebagai alasan untuk melakukan cara pemerintahan otoriter. Tetapi, apakah kelas politik Indonesia yang pada tahun-tahun 50-an ternyata belum sempat membentuk suatu kebudayaan pemerintahan yang cukup dewasa itu kini masih tetap demikian? Apakah empat dasawarsa yang berselang sejak periode demokrasi diakhiri tidak cukup bagi kelas politik untuk menarik pelajaran-pelajaran, apalagi setelah mengalami bagaimana konsekuensinya kalau tidak bisa sepakat?

Ini tidak bisa dijawab sekedar dengan memperhatikan jangka waktunya. Apakah 40 tahun itu cukup, atau kurang, untuk yang demikian ini tidak ada yang bisa menjadi ukuran. Tidak ada jalan selain menguji kelas politik itu secara langsung. Nah, justru dilihat dari segi ini lah, maka begitu penting lah kebijaksanaan ketiga tokoh koalisi yang mendapat pujian tersamar dari Presiden Soeharto itu. Berbeda dengan Sang Presiden yang tak segan-segan mempertaruhkan keselamatan bangsa Indonesia demi kemakmuran diri dan keluarganya itu, ketiga tokoh koalisi telah rela mengorbankan perspektif perebutan kekuasaan langsung, dan menomorsatukan kepentingan keamanan dan keselamatan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kenyataan ini boleh membuat kita optimis. Tetapi kebetulan, konstelasi politik Indonesia dewasa ini telah mengajukan satu ujian yang lebih berat bagi kelas politik Indonesia, yang benar-benar merupakan ujian yang secara langsung akan menunjukkan sudah cukup matangkah kebudayaan pemerintahan yang dimilikinya itu untuk dapat suksesnya satu pemerintahan demokratis. Yang menarik yalah bahwa ujian ini, kalau lulus, sekaligus memberi jalan untuk membatalkan situasi remis politik yang sekarang ini, dan membuka jalan untuk menggantikan rejim pemerintahan otokratis dengan yang demokratis yang mantap.

4. Beberapa Ciri Demokrasi Yang Mantap

Orang mungkin menanggap demokrasi itu sebagai suatu kebebasan untuk berbicara dan berbuat dengan seenaknya. Ini tidak benar. Demokrasi itu pertama-tama adalah suatu tanggungjawab bersama, mengingat tidak adanya seorang otokrat yang mengawas dan mengatur. Artinya, walau pun kalau dilihat dari luar, suatu pemerintahan demokratis itu tampaknya seakan suatu persaingan atau pertandingan bebas antara sejumlah partai-partai, maka pada hakekatnya, suatu pemerintahan demokratis itu adalah suatu persekutuan atau "konspirasi" partai-partai tersebut untuk menjunjung dan mempertahankan kelanggengan negara yang berpemerintahan demokratis itu.

Bagaimana mungkin, ada orang mungkin merasa ditipu. Demokrasi yang diharapkannya mendatangkan kebebasan itu kok malah mendatangkan tanggungjawab? Tetapi di sini samasekali tidak ada pertentangan sekecilnya pun, melainkan itu merupakan kesimpulan yang sangat logis. Dalam alam pemerintahan otokratis, kita tidak usah pikir panjang, apa yang harus diperbuat. Itu instruksinya sudah diturunkan dari atas. Apa yang baik dan apa yang jelek itu penguasa lah yang menentukan. Kita cuma tinggal melaksanakan. Dalam keadaan demokrasi, tuntunan itu tidak ada. Kita dianggap dewasa untuk memutuskan sendiri apa yang akan kita perbuat. Tidak bisa cuma tinggal nurut saja, masing-masing turut memikul tanggungjawab. Kalau gagal, kita sendirilah yang salah (tidak bisa enak-enak membebankan tanggungjawab atas kegagalan pada si-penguasa seperti halnya dalam pemerintahan otokratis).

Bukankah kita telah bebas memilih pemimpin-pemimpin kita, dan tidakkah kita telah sama-sama secara demokratis merestui program pemerintahannya? Dan sekiranya pun yang memerintah itu wakil partai tandingan, bukankah salah kita sendiri, tidak mampu meyakinkan kawan-kawan setanahair untuk memenangkan partai pilihan kita sendiri? Maka jikalau Anda kebetulan termasuk orang yang lebih senang berenggeh-enggeh, tahu "nrimo" saja lah bagaimana suruhnya tuan besar, nah pertahankan lah pemerintahan otoriter, dan lawan lah setiap reformasi yang mau menegakkan demokrasi.....

Persekutuan partai-partai yang menjunjung rezim pemerintahan demokratis itu mempunyai beberapa ciri yang perlu kita amati dengan lebih seksama. Pertama-tama, persekutuan ini berkewajiban membela azas-azas demokrasi daripada susunan negara yang dijunjungnya itu. Artinya, mereka harus menentang tanpa ampun baik setiap pihak yang mau memulihkan cara pemerintahan otoriter, maupun setiap pihak yang mencoba mementahkan aturan-aturan permainan sehingga terjadi bebas-lantang takbertanggungjawab yang akhirnya akan berakibatkan kegagalan sistem pemerintahan demokratis.

Kemudian, persekutuan itu perlu menjaga iklim setiakawan antara sesama partai-partai yang menjunjung demokrasi. Biar pun di tengah asyik-asyiknya kampanye pemilihan umum dengan segala saling jatuh-menjatuhkan dan cela-mencela itu, sekali pun tak boleh lupa kepentingan bersama mempertahankan kelanggengan negara yang berpemerintahan demokratis itu. Di sini kita teringat lah kepada gejala-gejala jelek periode 1950-1957, misalnya dimana dengan setiap pergantian kabinet, segala dokumentasi kementerian-kementerian yang berasal dari masa jabatan menteri pendahulu yang dari partai tandingan itu diperlakukan seperti sampah, artinya dibuang. Dengan demikian dokumentasi atau pengarsipan kementerian-kementerian kita serba tidak lengkap.

Ini hanya satu contoh kecil, tetapi contoh kecil ini memberi gambaran yang sangat tuntas tentang suasana demokrasi palsu periode 1950-1957 itu, dimana partai-partai saling memperlakukan seakan-akan musuh bebuyutan, dan bukan sesama sekutu dalam menjunjung negara demokratis. Bahwasanya tatanan pemerintahan yang berdasarkan UUDS 1950 akhirnya dibatalkan sungguh tidak mengherankan lagi, mengingat partai-partai waktu itu praktis dapat dikatakan lebih asyik melumpuhkan demokrasi daripada memperkokohkannya.

Si penulis ini tidak akan mendalami masalah-masalah seperti kebebasan-kebebasan perorangan dan hak-hak azasi manusia yang merupakan ciri-ciri hakiki daripada rezim pemerintahan demokratis. Itu sudah cukup dikenal umum, dan sudah banyak dikupas dan ditelaah orang. Cukup dicatat disini, bahwa kebebasan-kebebasan dan hak-hak tersebut itu hanya bisa terjamin dalam satu suasana demokrasi sejati yang bertanggungjawab, dimana kelancaran fungsi-fungsi demokratis bisa terjamin terus (bagaimana pula itu bisa terjamin, kalau partai-partai tidak sepakat akan menjaminnya?). Sedangkan dalam suasana demokrasi palsu seperti dalam periode 1950-1957 kemarin itu, menteri-menteri yang terlalu sering silih berganti itu mudah sekali cucitangan dari segala tanggungjawab, maka kepentingan-kepentingan penduduk terlantar lah. Akhirnya, dengan adanya konstelasi saling memblokir maka lumpuhlah proses demokrasi, dan bersama itu pun lumpuhlah jaminan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Tak ada lagi barang siapapun yang masih kuasa untuk menjaminnya.

5. Ujian Pokok yang Sekaligus Merupakan Pintu Keluar dari Krisis

Setelah sedikit berteori tentang perihal demokrasi pada umumnya, mari lah kita kembali kepada keadaan kongkret yang kita hadapi pada saat dewasa ini di Indonesia. Masalah peralihan dari pemerintahan otokratis ke pemerintahan demokrasi ini akan ditempuh bukan sebagai suatu evolusi alamiah dalam rangka sekedar pemugaran gedung negara RI. Yang ditujui pada saat ini bukan sekedar meperbaiki sementara kekurangan. Ini bukan satu eksperimen yang diilhami oleh renungan iseng ibarat "wah, alangkah baiknya kalau ....".

Masalah peralihan tersebut itu pada saat ini merupakan masalah eksistensiel bagi negara RI, adalah suatu pekerjaan darurat demi menyelamatkan tanahair dari musibah ekonomi. Ini bukan saatnya main adu kuat antara kelompok pro-demokrasi dengan kelompok kontra, melainkan segenap tenaga dan bakat-bakat yang terdapat di kalangan putra-putri bangsa wajiblah dikerahkan tanpa kecuali, akan membela pertiwi.

Dalam hal ini, perlulah kita ingat bahwa dalam suasana kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun itu, tiada jalan lain untuk memajukan karier selain kalau menyelaraskan diri dengan pihak penguasa serta cara pemerintahannya itu. Artinya, akan terbengkelai lah setiap bakat, kalau waktu itu tidak tunduk kepada syarat-syarat yang didikte oleh Istana Cendana. Sekarang, sekiranya mereka itu merasa terpencil kalau ada kemenangan demokrasi, akan tersia-sialah bakat-bakatnya. Dalam suasana demikian ini, penting sekali adanya kejelasan yang mengikat, bahwa peralihan ke pemerintahan demokratis bukan ancaman kehancuran karier mereka-mereka yang sampai sekarang mengabdi rezim Cendana atau pada satu saat pernah memegang peran dalam sistim kekuasaannnya. Perlu lah mereka itu merasa turut diajak, untuk turut menang kalau pembaharuan cara pemerintahan negeri kita itu berhasil, untuk turut serta dalam persekutuan partai-partai yang menjunjung tatanan demokrasi kelak.

Ini tidak saja berarti menarik tokoh-tokoh yang mungkin tampak lebih simpatik, seperti misalnya Emil Salim yang kemarin ini bahkan mendapat dukungan dari mantan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan lampau. Tak lepas juga tokoh-tokoh teknokrat yang, seperti halnya Mar'ie Mohammad, tidak saja membawa pengetahuan dan keahliannya yang tinggi, tetapi juga mendapat kepercayaan besar pihak-pihak perbankan dan keuangan luarnegeri yang penting bagi pemulihan kemantapan ekonomi di Indonesia. Bahkan segenap kelompok apa yang dijuluk "Berkeley Mafia" sajapun tak boleh dianak-tirikan. Sampai-sampai tokoh seperti Jusuf Habibie yang pada saat ini banyak mendapat serangan baik di dalam negeri maupun dari luarnya, tak bisa tidak, merupakan aset yang tidak seyogyanya lah disia-siakan.

Sesungguhnya, tokoh-tokoh dan ahli-ahli tersebut ini tidak akan terlalu sulit lah untuk "menyeberang" ke pihak demokrasi kalau mereka bisa yakin mendapat penerimaan yang sewajarnya. Tak soal, apakah Jusuf Habibie ataukah Emil Salim, pasti menyadari bahwa barang siapa diangkat jadi wakil presiden itu, nantinya setelah dapat menggantikan Presiden Soeharto paling-paling cuma akan jadi "raja sehari". Kalau rezim sekarang ini dengan Soeharto saja sudah kembang-kempis seperti ini, bagaimana nantinya setelah Soeharto mengundurkan diri atau "diundurkan" oleh kekuasaan lebih tinggi ke dunia lain. Siapa yang rela dicatatkan untuk selama-lamanya dalam sejarah RI sebagai presiden yang berjabat pada saat negara ambruk? Sedangkan bagi teknokrat-teknokrat dan pejabat-pejabat ahli lain, jelas akan lebih leluasa melaksanakan pekerjaannya dalam suasana tatanan demokratis daripada dalam sistem otokratis.

Tak jauh bedanya kedudukan panglima-panglima ABRI. Kekayaan yang telah terhimpun, dan pengaruh yang telah dimiliki itu akan lebih mantap dalam suasana tatanan negara hukum yang bersistem pemerintahan demokratis, ketimbang dalam suasana kekuasaan otokratis dimana kedudukannya tanpa diketahui sebab-musebabnya tiba-tiba bisa jatuh karena kemauan Sang Penguasa, atau bisa menjadi korban ambisi rekan lebih muda yang kebetulan justru sedang aktif-aktifnya menggunakan kesempatan untuk menyalahgunakan posisinya dalam ABRI. Bahkan Mayjen Prabowo Subianto, menantu Soeharto yang dikabarkan giat membakar-bakar huruhara itu, moga-moga jika dapat jeweran dari ayahanda mungkin dapat sadar sehingga bisa menjadi pelindung harta-karun keluarga dalam periode pasca-Soeharto.

Adalah suatu ujian yang amat berat, yang dihadapi baik oleh koalisi pro-demokrasi, maupun oleh bagian kelas politik yang bernaung dalam sistem pemerintahan otokratis ini. Di sinilah baru benar-benar teruji, sudahkah kelas politik Indonesia cukup dewasa untuk berdemokrasi secara mantap seperti yang telah diterangkan di atas syarat-syaratnya. Dengan demikian terjadilah satu konstelasi yang sungguh jarang terjadi, di mana, sekiranya kelas politik kita berhasil menggalang basis kekuatan yang cukup luas untuk menegakkan pemerintahan demokratis, maka bersamaan dengan itu akan sekaligus terbukti pula bahwa syarat-syarat untuk mantapnya pemerintahan demokratis itu telah dipenuhi. Atau, dengan kata-kata lain, kalau syarat itu belum dapat dipenuhi, tak akan pula terkumpul cukup kekuatan untuk menegakkan demokrasi.

Yang juga menarik yalah satu perspektif lebih lanjut, jikalau penggalangan persekutuan untuk demokrasi itu berhasil. Dengan diprotolinya personalia penjunjung pemerintahan otokratis yang sekarang ini, akhirnya Presiden Soeharto sendiri bisa membebaskan diri dari dikte keluarganya. Dengan alasan bahwa kekuatan persekutuan untuk demokrasi sudah terlalu kuat untuk dicegah kemenangannya, akan bisalah beliau mencari cara untuk turut memenangkannya dengan jalan turut meresmikan calon-calonnya.

Yang kiranya perlu diperhatikan, masalahnya bukan mencari keadilan, bukan membuktikan mana yang benar dan mana yang sesat, bukan menghukum yang salah dan menganugerahi yang jujur dan alim. Di luar sana, rakyat sudah mulai menderita kelaparan. Setiap hari tambah lamanya krisis dibiarkan terus, berarti satu hari lagi rakyat lapar, dan kian banyaknya jumlah rakyat yang turut lapar. Ini sekaligus juga berarti semakin tingginya potensial kemarahan rakyat mengalami peletusan yang destruktif.

Insyaallah tokoh-tokoh yang ikut berperan tidak terlalu lama lah memaksa rakyat lapar terus.

 

© Waruno Mahdi, 1998.

Tulisan ini boleh diperbanyak dan disebarluaskan secara non-profit.
This text may be freely copied and multiplied on a non-profit basis.

return index