Date: Mon, 03.01.00 21:08 +0100 
To: Editor Asep Setiawan <sep@kompas.com>
Subject: Re: Di Penghujung Tahun Irian Jaya Berubah Menjadi Papua

Pak Asep yth.,

dalam berita kunjungan Gus Dur ke Irian Barat dalam sk Kompas 1 Januari (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/01/UTAMA/iria01.htm) diterangkan:

      >  Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, setuju pergantian
      >  nama Irian Jaya menjadi Papua. Persetujuan itu bukan akibat tekanan
      >  siapa-siapa, tetapi karena nama Irian Jaya merupakan manipulasi dari
      >  bahasa Arab yang artinya telanjang.
      > 
      >  "Mulai sekarang, nama Irian Jaya menjadi Papua. Mungkin waktu itu,
      >   penggembala-penggembala Arab melihat teman-teman di sini masih
      >   memakai koteka," kata Gus Dur ketika berdialog dengan tokoh masyarakat
      >   Irian Jaya di Jayapura, Jumat (31/12) malam.
      
 

Terus terang saya mula-mula agak tercengang, kemudian merasa sedih. Ini rupanya masih ekor-ekor dari promosi ignoransi yang bersimaharajalela selama pemerintahan Orde Baru, yang antaranya juga menjebak Habibie kemarin, menganggap _Irian_ itu cuma nama bagian barat pulau itu. Padahal, Irian itu nama seluruh pulau, dan nama propinsi RI ke-26 itu mula-mulanya "Irian Barat", dan baru diubah mendjadi "Irian Jaya" setelah Soeharto menjadi presiden.

Di bawah Orde Baru, asal-usul nama Irian itu dipalsukan, yaitu dinyatakan bahwa itu adalah akronim untuk "Ikut Republik Indonesia Anti Nederland". Apa motifnya mengajarkan keterangan bohong itu saya tidak tahu, tapi yang jelas menjadi senjata yang makan tuan: Habibie turut kebohongi sehingga mengira Irian itu cuma nama bagian barat pulau itu, yaitu bagian yang pernah dijajah Nederland.

Sangat sedih saya, bahwa akibat politik penerangan Orde Baru yang tidak beres itu, masyarakat luas di Indonesia termasuk yang di Irian Barat sendiri, sampai-sampai tokoh-tokoh gerakan reformasi sendiripun, turut menjadi korban. BahkanPresiden Gus Dur yang kita kenal dan kita hormati benar sebagai tokoh yang berpengetahuan luas dan sangat berpikiran modern dan pantas sebagai pemimpin bangsa pun kena desinformasi. Alangkah baiknya jika dapat disampaikan keterangan yang sebenarnya:

Dalam kenyataan, Irian itu dari bahasa Biak, yaitu nama yang dipakai dalam mitologi dan folklore tradisional Biak untuk menyebut daratan besar yang oleh orang Eropa dinamakan "Guinea Baru". Khusus dalam ceritera-ceritera Manarmakeri ada fragment berikut:

<<Bapak Orangkaya Sanawi bangkitlah, kau orang suci, kau menghalangi sinar matahari di Gunung Yamnaibori, gunung gadis dara Pulau Biak, agar kita muatkan segala perkakas ke kapal dan berlepas menujukan haluan kepada daratan Irian. Maka mataku telah melihat bintang Sampari [= Bintang Kejora] menyingsing, tidak berdiam saja di Jumamba ([= di timur].>>

Lihat: Freerk Ch. Kamma, 1972, Koreri: Messianic movements in the Biak-Numfor Culture Area, translated by M.J. van de Vathorst-Smit. The Hague: Martinus Nijhoff, lihat sana halaman 27.

Nama Irian itu dalam sejarah tertulis diberitakan muncul pertama kali dalam satu kabar dari Gubernur Maluku Portugis tahun 1536 yang menyebutnya "Irian", dan baru kemudian, dari tahun 1545, menyebutnya "Nuvea Guinea" (artinya "Guinea Baru"). Keterangan ini terdapat dalam karangan seorang pakar Belanda yang notabene bersikap kritis terhadap pengembalian Irian Barat kepada Indonesia: Kees Lagerberg, "West Irian and Jakarta Imperialism", penerbitan St. Martins Press New York, lihat sana halaman 34.

Setelah Proklamasi 1945, kemudian setelah pihak Nederland mendatangkan tentaranya ke Indonesia dan mulai menduduki kembali sebagian wilayah Indonesia sejak Maret 1946, Indonesia bagian Timur dan Tengah hampir seluruhnya berhasil didudukinya kembali, maka mulailah mereka menarik sebagian politikus setempat untuk mau mendirikan apa yang dinamakan "Negara Indonesia Timur", yaitu pada tiga konperensi pada tahun 1946 itu, di Malino, di Pangkal Pinang, dan di Den Pasar. Pada konperensi Malino itu tercatat juga pernyataan utusan dari Irian Barat yang waktu itu masih dinamakan Guinea Baru Barat, yaitu seorang pribumi yang menjadi pegawai binnenlandsch bestuur (administrasi sipil Belanda), bernama Frans Kasiepo (kalau tak salah belakangan diangkat jadi Gubernur Irian Barat oleh pemerintah RI).

Dalam notulen konperensi Malino yang dipublikasi dengan judul "Kort verslag van de vergadering van de Malino-Conferentie op 18 Juli 1946" yang diterbitkan dalam S.L. van der Wal (ed.), "Offici‘le bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950", deel 5, 16 Juli - 28 Oct. 1946, tercantum:

<<De heer Kasiepo zeide, dat .....
.....
De band van het landschap Tidore met Nieuw-Guinea dient te worden verbroken. De naam Papoea moet worden afgeschaft, omdat dit woord het Tidoreesch "slaaf" beteekent. Het volk wenscht het land "Nieuw-Guinea" te noemen en het volk "Irian".>> 
artinya:
"Tuan Kasiepo mengatakan, bahwa.....
.....
Ikatan kawasan Tidore dengan Guinea Baru hendaknya diputuskan. Nama Papua perlu dibatalkan, karena kata ini adalah kata bahasa Tidore yang berarti "budak". Rakyat menginginkan supaya negerinya dibamakan 'Guinea Baru' dan bangsanya dinamakan 'Irian'."

Keterangan yang senada dengan itu (tapi sangat ringkas) dapat juga dibaca dalam Ensiklopedi Indonesia suntingan Shadily dll. (sub "Irian").

Adalah untuk menuruti keinginan orang pribumi bagian barat pulau tersebut itulah, maka pemerintah RI kemudian memutuskan tidak memakai istilah Papua atuapun Guinea Baru, melainkan memakai nama Irian. Pada tahun 1962, menjelang dikembalikannya wilayah tersebut kepada Indonesia, pemerintah yang dipimpin Bung Karno memutuskan mengangkat status wilayah itu menjadi propinsi tersendiri dengan nama Irian Barat.

Berkenaan dengan kata "Papua", maka dapat diterangkan bahwa nama ini berasal dari pendengaran Portugis akan kata "pepuah" atau "puah-puah" yang berarti "berambut keriting" dalam logat Melayu di Maluku Utara di masa lampau. Lihat misalnya R.J. Wilkinson, "A Malay-English dictionary" (1903):

Dalam ensiklopedi Hindia Belanda suntingan Stibbe, "Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie", 2e druck, met medewerking van W.C.B. Wintgens en E.M. Uhlenbeck, 3e deel (N-Soema), 's-Gravenhage: Nijhoff / Leiden: Brill (1919), lihat sana halaman 298 (sub Papoea's):

    pepuwah -- curly, wooly, or frizzled, as the hair of a Papuan. -
Orang p.: a Papuan.
<<...Papoea's, een woord dat vermoed wordt door samentrekking uit het Maleisch poea-poea of "kroesharig" onstaan te zijn...>> 
artinya:
"...Papua, suatu kata yang kiranya terjadi liwat penyingkatan kata Melayu pua-pua yang berarti 'berambut keriting'."

Pemakaian kata tersebut dalam sumber pemakaian asli yang tertua yang diketahui ialah satu surat dari Sultan di Ternate kepada Gubernur Jendral Belanda tanggal 11 September 1733, yang menyertai pengiriman hadiah Sultan berupa:

<<...empat orang budak2, tiga orang laki-laki seorang perempuan, tiga orang rambutnya betul seorang pepuah...>>

Lihat: A.Gallop, "The legacy of the Malay letter", London: British Library for the National Archives of Malaysia (1994), lihat sana halaman 82-83.

Perlu dicatat, bahwa musafir (pengembara) Arab bernama Ibn Batuta yang konon pernah berkunjung ke Maluku Utara itu tidak selalu tepat memberitakan asal-usul nama tempat. Khususnya, nama Maluku (yang waktu itu masih menunjuk kepada pulau-pulau Maluku Utara tempat tumbuhnya cengkih: Tidore, Ternate, Makian, Mutir, Bacan) menurut Ibn Batuta itu "Muluk" yang diinterpretasi berarti "negeri raja-raja" (karena dihubungkan dengan kata dalam bahasa Arab "malik" yang berarti raja). Padahal, kawasan itu sudah disebut dalam Nagarakrtagama karangan Prapanca dengan nama "Maloko", artinya, nama yang dipakai orang Portugis pun, yaitu "Moluco", itu bukan berasal dari "Muluk" yang diberi akhiran -o sesuai bunyibahasa Portugis, melainkan cukup tepat mencerminkan nama asli yang lama seperti yang tercatat dalam Nagarakrtagama itu. Dan interpretasi arti "negeri raja-raja" itu hanyalah tebakan diletantis Ibn Batuta sendiri.

Salam kepada redaksi dan pembaca Kompas,

Waruno Mahdi



Back to index