These are two inputs on the issue of abolishing 
the legal case against Soeharto, broadcasted on 
Wahana list <wahana@mail.centrin.net.id>: 
                    (1) December 30, 2001; 
                    (2) January 1, 2002.
______________________________________________

Date: Sun, 30 Dec 2001 07:12:51 +0700
From: Waruno Mahdi <mahdi@FHI-Berlin.mpg.de> (by way of WAHANA <wahana@centrin.net.id>)
Subject: Re: ABOLISI SOEHARTO LONCENG KEMATIAN HUKUM

Teman-teman yang budiman,

Terdahulu saya minta maaf, sudah beberapa lama bungkam saja. Saya beberapa waktu tidak di tempat, dan barusan kembali. Sebelum pergi pun tertimbun banyak pekerjaan sehingga terpaksa menon-aktifkan beberapa milis (tidak termasuk WAHANA) dan sementara belum akan bisa mengaktifkannnya kembali untuk beberapa bulan lagi.

Walaupun demikian, pencegahan "abolisi" dosa-dosa Soeharto itu saya juga turut menganggap sedemikian pentingnya, maka terpaksa juga sedikit beri suara. Terlepas dari itu, dengan kesempatan ini bolehlah mengucapkan selamat lebaran dan hari natal kepada teman- teman TRW disertai terimakasih besar sebesar besarnya atas upayanya yang tak kenal lelah untuk menyegarkan taraf pengetahuan kami-kami yang kelayaban ini tentang bunga rampai perkembangan di tanahair. Moga-moga tahun baru y.a.d. membawa rejeki baru dan banyak lagi hal baik lainnya untuk teman-teman TRW.

Nah, sekarang soal "abolisi" itu.

Sesungguhnya, kita sudah cukup maklum, bahwa berapa pun panjangnya daftar dosa-dosa Soeharto yang sudah terlalu amat sangat itu, pasti juga masih jauh dari lengkap. Daftar dosa-dosa itu sudah sarat benar dengan jenis-jenis perbuatan yang menjadi pantangan maut dalam segala ragam adat, agama, dan perundang-undangan, baik tentang pidana pembunuhan "konvensional", begitupun yang tingkatan penggulingan kekuasaan yang sah dalam taraf nasional, dan kejahatan terhadap peri-kemanusiaan dalam taraf internasional. Artinya, ini belum lagi mengusut keserakahan mengeruk kekayaan bangsa, apalagi kalau disertai dengan dosa-dosa sanak-saudara serta kroni, yang semuanya hanya bisa terjadi "berkat" proteksi ataupun motivasi langsung oleh "bokap"-nya itu. Padahal, keserakahan korup itu telah membuat bangsa 210 juta manusia Indonesia bertanggungan beban hutang nasional yang itu saja sudah bagaikan lonceng kematian bagi segala aspirasi yang pernah memotivasi bangsa untuk bangkit merebut kemerdekaan pada tahun 1945!

Maka, baik kalau dinilai dari sudut moral, begitupun kalau dari segi mempertahankan asas kehukuman yang layak, Soeharto itu mestinya sudah lama diciduk dan divonis untuk meringkuk dalam penjara selama-lamanya (kebetulan saya anti hukuman mati, bahkanpun kalau penjahatnya seperti kelas Soeharto).

Namun sayang, pengertian "abolisi" tidak berhubungan langsung dengan masalah berat atau ringannya kejahatan narapidana yang bersangkutan. "Abolisi" itu memang ditujukan untuk kasus kejahatan yang relatif berat, dan tidak berarti menyatakan narapidana itu tidak bersalah, melainkan semata-mata berarti negara oleh sebab tertentu membatalkan hak dan kewajibannya untuk menindaki kejahatan si narapidana itu. Motif untuk menjalankan "abolisi" itu bisa macam-macam, tapi pada dasarnya biasanya didasari pertimbangan untung-rugi dalam skala besar bagi pihak korban (negara, masyarakat, kelompok). Satu contoh kongkret, Jenderal Wiranto pada waktu kepresidenen Gus Dur itu secara de facto mengalami "abolisi", dirinya tidak masuk daftar terdakwa yang diusut oleh kejaksaan agung. Mungkin perhitungannya, Wiranto secara de facto terlalu kuat untuk diusut, sehingga bisa terprovokasi untuk kudeta. Entah apakah demikian atau tidak, kenyataannya waktu itu tidak diusut, apalagi setelah ada bom di kejaksaan agung. Satu penyakit TNI sejak tahun 1950-an, di kalangan atasannya tidak ada pengertian meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi. Sedangkan oknum yang sampai berkesadaran demikian di kalangannya itu malah tersisihkan dengan berbagai cara.

Maka kini, timbullah pertanyaan dapat, boleh, perlukah kejahatan-kejahatan Soeharto itu di-"abolisi"? Ini tidak menanyakan apakah dia bersalah, atau pun apakah kejahatannya itu berat atau ringan, ataupun apakah kita kasihan dengan orangnya yang sudah tua-tua, katanya bahkan sakit-sakit. Segala sesuatu itu tidak ada kaitannya dengan masalah "abolisi". Melainkan yang menjadi soal hanyalah masalah hikmat kenegaraan dengan perhitungan untung rugi blak seperti dinyatakan di atas.

Dan dari satu-satunya segi penglihatan yang relevan inilah, kesimpulan yang saya dapati hanya satu: TIDAK BOLEH SEKALI-KALI PUN DI-"ABOLISI"!

Ini karena dalam kasus Soeharto ada satu kekhususan yang berkaitan dengan aturan permainan asasi dalam politik. Kalau orang awam memperhatikannya, mungkin akan muak, tetapi hukum permainan dalam politik itu ada beberapa aspek yang seperti dalam perjudian: yaitu bahwa berbagai transaksi give-and-take itu berkonsekuensi mutlak, kalau sudah disepakati, dan berjalan sampai mengakibatkan untung atau rugi pada salah satu pihak, maka tidak dapat lagi dibatalkan, ditinjau kembali oleh pihak yang kalah.

Disinilah, Soeharto sudah keliwat membuat taruhan yang ternyata tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Maka setelah permainan keliwat "berjalan", tak dapat mundur kembali. Bayangkanlah, kita beli karcis lotre, kemudian setelah pemenang diketahui dan kita ternyata tidak mendapat apa-apa, bolehkah mengembalikan karcis lotre itu dan minta dikembalikan duitnya?

Berbulan-bulan lamanya, sebelum Soeharto akhirnya terpaksa "lengser", orang dari berbagai pihak sudah menawarkan kepadanya supaya berdamai dengan pihak reformasi, demi terhalaunya satu krisis nasional. Baik dari pihak Megawati, begitupun dari pihak Abdurahman Wahid, dan dari pihak Amien Rais, sampai pun misalnya dari Emil Salim dll., datang himbauan dan macam-macam saran, yang semuanya membuka jalan keluar yang konsilian, mendamaikan antara Soeharto dengan pihak reformasi. Jika khususnya waktu itu Soeharto membuka jalan untuk peralihan kepada kepresidenan Megawati, akan bisalah dia "turun tahta" dengan "terhormat", maka dalam perhitungan timbang-terima itu sudah pastilah termasuk soal "abolisi" itu. Maka waktu itupun, para korban kelaliman Soeharto itu semuanya bisa sedih karena penjahatnya tidak kena hukum, tapi mungkin pasrah juga karena berkat give-and-take itu masyarakat secara keseluruhan selamat dari bencana yang kemudian malah menimpanya karena Soeharto menolak dan bersikeras bertahan sampai saat terakhir.

Nah sekarang, bencana musibah itu telah menimpa bangsa Indonesia secara bertubi-tubi, maka segala kerugian yang telah diderita berupa korban mati di Maluku, Posso, Lampung, Aceh, Irian Barat, belum lagi kesengsaraan yang tiada terukurkan lagi jutaan rakyat yang kehilangan mata pencaharian, jutaan anak-anak terlantar, ekonomi hancur, hutang nasional tidak terbayarkan, semua ini menjadi tumbal yang memalang setiap peluang untuk "abolisi". Artinya, bukan kejahatan-kejahatan Soeharto yang dari dulu-dulu itu yang menutup kemungkinan "abolisi", melainkan adalah bencana yang menimpa Indonesia sejak Soeharto bersikeras untuk tidak berkompromi dengan pihak reformasi itulah yang melarang untuk memberi dia "abolisi". Apakah Soeharto sadar atau tidak akan konsekuensi kepala-batunya itu tidak jadi soal. Boleh jadi dia masih berlagak dungu juga, menganggap reformasi itu yang mendatangkan musibah. Itu tidak penting. Maaf, sekali lagi orang awam bisa mual mendengarnya. Tapi yang penting hukum politik: Sekiranya kemarin dia setuju menyerahkan kekuasaan kepada pihak reformasi, tapi tetap krisis, maka tanggung jawab politik di pihak reformasi. Maka kalau sudah menjanjikan "abolisi", terpaksa memberikan. Tapi Soeharto kemarin menolak, maka tanggung jawab di tangan dia. Artinya, biar mau pasang ignoransi, hasilnya tetap sama. Begitulah politik......

Dalam hal ini, soal "untung-rugi" materiel sudah tidak berperan, karena hukum asasi peraturan permainan politiklah yang mendahulu. Soeharto waktu itu telah pasang set. Dia mendapat peluang untuk memperoleh "abolisi" sebagai ganjaran untuk kompromi dengan pihak reformasi yang kalau waktu itu dia terima, bisa menyelamatkan Indonesia dari musibah yang kemudian menimpanya akibat Soeharto menolak. Artinya, Soeharto dalam permainan politiknya waktu itu salah set! maka kini tidak bisa merengek-rengek seperti bocah kecil, minta ganjaran yang kemarin telah ditolaknya itu. Demikianlah peraturan permainan, siapa pun tidak boleh melanggarnya. Pun Presiden Megawati, kalau sampai melanggarnya, akan lebih berat konsekuensinya ketimbang kalau sampai melanggar hukum perdata, ataupun kalau sampai melanggar hukum moral. Dalam politik, pelanggaran hukum asas peraturan permainan politik itu amat parah konsekuensinya yang tiada teperkirakan sebelumnya segala penjelmaannya kelak, khusus bagi pihak pelanggar (artinya dalam hal ini: BUKAN buat yang mendapat "abolisi", melainkan bagi yang MEMBERIKAN "abolisi" yang tidak boleh diberikan itu).

Saya cukup yakin, Presiden Megawati sadar benar akan letak persoalan, dan mustahil sampai terperosok untuk memberi "abolisi" kepada Soeharto setelah yang ini dulu menolaknya dan lalu kalah set. Hukum politik itu tidak boleh diajak main-main. Biasanya kejam sekali, terutama kepada rakyat kecil. Tapi sekali-kali ada kalanya lumayan kejamnya juga untuk sementara gembong. Syukur alhamdulilah.......

Salam, Waruno

 

 
Date: Wed, 02 Jan 2002 06:55:36 +0700
From: Waruno Mahdi <mahdi@FHI-Berlin.mpg.de> (by way of WAHANA <wahana@centrin.net.id>)
Subject: Re: ABOLISI SOEHARTO LONCENG KEMATIAN HUKUM (2)

Teman-teman TRW yang baik,

terimakasih untuk disebar lanjutnya wawancara Dan Lev dan Paul Moedigdo yang sangat bermutu itu. Menurut tanggapan saya pun, jawaban-jawaban kedua pakar tersebut sangat cerah dan tepat. Pikiran saya sejak beberapa hari tidak bisa reda dengan masalah "abolisi" itu. Di bawah ini ada beberapa tinjauan tambahan yang mungkin dapat menyumbang kepada pertukaran pikiran umum dalam kasus ini.

Setelah pada masukan yang lalu mengkhususkan tinjauan pada segi tehnikal sempit peraturan permainan politik, yang memang asasi kalau persoalannya nanti ditangani oleh Presiden Megawati, maka sekarang ini saya ingin memperhatikan beberapa soal jalan keluar praktis. 

1. "Penebusan dosa" elite yang tersangkut.

Ada pendapat, bahwa untuk menanggulangi kemacetan politik perlu kesediaan sisa-sisa Orde Baru untuk menghentikan blokadenya, maka diharapkan hal tersebut dapat dicapai dengan "abolisi" itu. Ini sesungguhnya sekadar "wishful thinking", sebagaimana tepat sekali dijelaskan oleh kedua pakar tersebut di atas. Tetapi "wishful thinking" ini amat simptomatik, dan kiranya memang mendasari sikap "ogah-ogahan" lapisan elite yang masih tetap memacetkan kemajuan reformasi.

Perlu kita sadari, bahwa sebagian besar elite itu "tersangkut" Orde Baru, apalagi dalam hal KKN. Maka yang sesungguhnya menjadi perhitungan mereka itu bukan abolisi untuk Soeharto, melainkan abolisi untuk diri masing-masing mereka sendiri. Dikiranya, kalau tuntutan terhadap Soeharto diabolisi, dosa-dosa diri mereka pun batal. Tetapi, disini sesungguhnya mereka salah tafsir.

(a) Cara yang dipraktekkan oleh Orde Baru selama-lamanya yalah, bilamana perlu, mengorbankan anak buah demi selamatnya biang keladinya. Maka dalam pengusutan kejahatan aparat terhadap penduduk di Aceh atau terhadap mahasiswa di Jakarta, kemarin, waktu sampai terpaksa membuka perkara, yang kena proses ya prajurit, tamtama atau perwira pangkat bawahan. Perwira tinggi yang sebenarnya bertanggung jawab tidak sampai diganggu-gugat. Maka, kalau tuntutan terhadap Soeharto sampai diabolisi, akan terpaksa mengorbankan beberapa anak buah atau kroni bawahan demi memenuhi kebutuhan rakyat akan dihukumnya koruptor-koruptor.

Untuk dapat memberi abolisi kepada khalayak ramai Orde Baru seperti yang mereka harapkan itu, maka segala dosanya itu harus dipusatkan secara simbolik pada "bokap"nya yang lalu harus dikenakan hukuman yang sedemikian kerasnya, sehingga untuk masyarakat umum dirasakan "setimpal" dan "memuaskan". Jadi, dengan pandangan pragmatis seperti ini pun, sekali-kali jua tidak boleh memberi abolisi untuk Soeharto.

(b) Memang, tanggung jawab atas segala kejahatan itu berada di tangan Soeharto. Ini bukan sekadar kesimpulan formal. Memang yang secara moral bisa dinilai "jahat" dalam hal ini praktis cuma Soeharto. Selama Orde Baru itu, orang tidak punya pilihan, terpaksa hidup dalam syarat-syarat kongkrit rezim itu. Maka barang siapa tidak menyogok tidak memperoleh apa yang menjadi haknya; pegawai yang "senin-kamis" kalau tidak mencari pungutan liar dsb. terpaksa melihat anaknya kelaparan; pengusaha yang "jujur" kalah saingan dengan yang gragasan menyalahgunakan setiap peluang KKN yang disediakan oleh rezim Orde Baru. Sudah dengan sendirinya, di antaranya ada yang cuma berbuat karena terpaksa, dan ada yang mungkin malah senang begitu; ada yang berusaha mengimbangi kejahatan yang "terpaksa" dengan bantuan tertentu kepada masyarakat lingkungan, sedangkan ada juga yang malah makin angkuh saja menginjak-injak orang lain. Tetapi dalam rangka negara hukum, kita tidak berhak untuk mengadili sekadar iktikad orang seperti itu, karena hal demikian itu memang secara obyektif tidak bisa diusut tuntas.

Jadi, kalau sampai memberi abolisi pada oknum-oknum Orde Baru yang di bawah Soeharto, itu tidak melanggar satu moral atau rasa keadilan, kalau Soehartonya sendiri malah ditindak dengan keras. Melainkan, demi untuk dapat mengabulkan abolisi yang diharapkan oleh elite ex-Orde Baru itu, justru sangat penting bahwa tidak sekali-kali pun memberi abolisi kepada Soeharto.

Saya teringat pengalaman Italia seusai Perang dunia II. Praktis dengan dihukum matinya diktator Mussolini, dendam rakyat Italia terhadap fasis lainnya mereda, sehingga praktis tidak terjadi tindakan-tindakan kekerasan rakyat terhadap oknum-oknumnya. Hal mana tidak berarti bahwa Soeharto boleh dihukum mati. Adat jahiliah pembunuh-bunuhan yang masih merajalela terus di Indonesia ini sangat merusak terhadap segala harapan suatu perbaikan, bahkan sebagian dengan mungkin tersangkutnya sementara oknum aparat, itu sangat merusak untuk perspektif pembangunan kembali nasional. 

2. Penanggulangan "hindaran juridis" kesehatan Soeharto

Sungguhpun Presiden Megawati rupanya memang tidak bermaksud mengabolisi tuntutan terhadap Soeharto, masih bisa terjadi abolisi de facto karena Soeharto yang dikatakan sakit-sakit itu tidak dapat dibawa ke muka pengadilan karena alasan kesehatan, dan sekiranya pun dapat dicarikan jalan mengabaikan formalitas itu, bisa mati lebih dulu sebelum ada vonis. Jangan-jangan, oleh sementara ahli warisnya bisa "dipercepat" supaya warisannya tidak bisa lagi disita dengan vonis pengadilan.

Sesungguhnya, adalah satu keuntungan bagi pemerintah, bahwa sampai "terpaksa" mengabaikan jalan pengadilan. Dalam hal ini, pemerintah sudah menunjukkan niat baik, yaitu memulai segala-galanya dengan proses pengadilan, yang kemudian digagalkan oleh Soeharto sendiri dengan sandiwara kesehatan.

Kita ingat, mantan Presiden Abdurahman Wahid kemarin hampir dikenai impeachment liwat parlemen karena ternyata, pemeriksaan kejaksaan agung menunjukkan tidak ada bukti kesalahan beliau yang dapat diajukan ke pengadilan. Maka "poros" menempuh jalan konyol, mau memakai mayoritas di MPR untuk "memvonis" Gus Dur yang kalau diadali di muka hakim terpaksa dinyatakan tidak bersalah.

Maka dalam kasus Soeharto pun, Presiden Megawati sebaiknya membentuk komisi penyelidik yang akhirnya memberi rekomendasi kepada Presiden, dan berdasarkan itu Soeharto bisa ditindaki dengan dekrit Presiden yang dipertanggungjawabkan kepada MPR (formulasi yang juridis tepat tentu saja perlu dicari dengan berkonsultasi pada ahli-ahli hukum). Persetujuan MPR diharapkan dapat dicapai dengan perpektif abolisi kepada sisa-sisa Orde Baru lainnya. Dalam hal ini, tidak menjadi soal lagi, apakah Soeharto sehat, ataupun apakah masih hidup. Setelah meninggal pun, masih bisa disita milik sekeluarganya itu. Lain halnya dengan tindakan terhadap Gus Dur yang bertujuan mengabaikan ketiadaan bukti nyata untuk diajukan ke pengadilan, maka dalam penindakan Soeharto, pengabaian pengadilan itu justru karena ada banyak bukti yang tidak boleh ditiadakan, dan ada kepentingan nasional yang amat besar untuk menindaki perorangan yang demikian berat segala kejahatannya terhadap negara RI dan bangsa Indonesia.

Yang perlu diselidiki oleh komisi itu 
(a) tanggung jawab Soeharto dalam kudeta terhadap Presiden Sukarno, antara lain dengan dokumen negara "Surat Perintah 11 Maret" yang mungkin dipalsukan dan memang tidak ada buktinya itu, penghadangan atau penculikan terhadap diri Presiden Sukarno yang dengan paksa atau ancaman dibawa ke istana Bogor yang dikepung satuan-satuan militer; 
(b) peran Soeharto sewenang-wenang memecat dan mengangkat anggota MPRS untuk menciptakan keputusan MPRS palsu dalam rangka kudeta tersebut;
(c) peran Soeharto dalam memerintahkan, atau mengarahkan pembantaian 1965-67 dengan segala bentuk-bentuk biadab pembuhunan disertai penyiksaan, begitupun peristiwa Malari, Tanjung Priok dll.; 
(d) peran Soeharto dalam penahanan ribuan warganegara tanpa pengadilan selama bertahun-tahun, di antaranya dalam kondisi-kondisi yang membahayakan nyawa atau merusak kesehatan, begitupun penyitaan tidak sah terhadap milik (sampaipun rumah tinggal) dan perbendaharaan lain (perpustakaan, barang kesenian bernilai, dll) tanpa pengadilan; 
(e) penyalahgunaan kedudukan Presiden untuk menagih pungutan liar dari perorangan-perorangan dan perusahaan-perusahaan secara besar-besaran dan untuk menuntut disertakan dalam perusahaan bersero tanpa membayar harga perseroan yang diperoleh, begitupun pengerukan keuntungan-keuntungan material lainnya, khususnya peran Soeharto dalam pengorupan antara 20 dan 40% nilai kredit bank dunia atau dana moneter internasional.

Ini baru garis-garis besarnya. Kalau diperinci lebih lanjut ini masih banyak lagi yang dapat ditambah. Khususnya dalam kompleks masalah Timor Timur pasti ada hal-hal yang malah ada implikasi kejahatan terhadap perikemanusiaan dalam taraf internasional.

Hasil dari penelitian komisi itu dapatlah kiranya mendasari dekrit untuk menyita segenap kekayaan yang telah dikeruk oleh Soeharto dengan keluarga Cendana itu, yang lumayan untuk agak meringani hutang nasional. Maka persoalannya praktis hanya menggalang satu mayoritas di MPR untuk mensahkan dekrit Presiden demikian itu, dan membongkar seluk beluk penyembunyian kekayaan keluarga Cendana itu. Dalam hal ini, kebodohan Tommy yang mungkin mendalangi pembunuhan hakim itu memberi alat untuk memaksa keluarga Cendana untuk membuka segala hartanya, kalau Tommy mau dapat grasi, hukumannya kelak agak diringankan.

Mengingat ada negeri-negeri industri yang di zaman perang dingin masih merasa terpaksa memberi dukungan material kepada rezim-rezim seperti Orde Barunya Soeharto dulu, tapi setelah selesai perang dingin itu meninjau kembali segala sesuatu itu, dan kini bahkan berkepentingan menggalang persekutuan anti-teror, pasti ada yang dinas rahasianya punya data lebih lengkap tentang peran Soeharto dalam macam-macam kasus tersebut di atas, dan mungkin senang bekerjasama kalau diminta oleh komisi penyelidik Indonesia.

Kalau segala sesuatu itu berhasil, bahkan pun tidak sampai 100%, maka menurut saya, akan sangat membantu menanggulangi krisis politik, kebudayaan dan ekonomi di Indonesia. Semoga bukan idaman terlalu optimis....

Salam hangat, Waruno


Back to Index