This is an input broadcasted 13 Oct 1998 on 
Maluku-Net <maluku-ne@lava.net> and Jaga-
Net <jaga-net@lava.net>, commenting on some 
points in a contribution by G.J. Aditjondro
on KABAR-IRIAN. It is in Indonesian.
___________________________________________

Waruno Mahdi

 

Beberapa Catatan terhadap makalah:

Analisis: Evolusi Nasionalisme Papua Barat!

tulisan Dr. George J. Aditjondro

 
.   Bung George Aditjondro sudah banyak jasanya dalam penelitian ilmiah terhadap berbagai segi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan tindakan-tindakan lalim terhadap penduduk oleh rezim Orde Baru. Salah satu di antara jasa-jasanya ini adalah penelitian perkembangan kesadaran umum rakyat di Irian Barat, seperti misalnya yang dapat di baca dalam makalah Bintang Kejora di tengah Kegelapan Malam (Salatiga, 4 Juni 1993). Catatan kritis yang berikut ini, yang ditujukan terhadap beberapa pokok dalam makalah lain berjudul "Analisis: Evolusi Nasionalisme Papua Barat!" ini samasekali tidak bermaksud mengecilkan prestasi Bung Aditjondro, melainkan sekadar bergerak dalam rangka pertukaran pendapat yang ikhlas dan kolegial.
> Ketika para pendiri Republik ini bersepakat menganggap
> negara-bangsa yang akan didirikannya merupakan pewaris
> koloni Hindia Belanda, dan dengan demikian akan mematuhi
> batas-batas wilayahnya, sesungguhnya mereka memaksa bangsa
> ini mewarisi kerakusan Belanda.
Ini mungkin ada sedikit keliru mengerti, karena mungkin menganggap bahwa konsep negeri kesatuan "Indonesia" dalam batas-batas Hindia Belanda itu baru lahir 1945 kemudian "dipaksakan" terhadap segenap penghuni wilayah tersebut.

Dalam kenyataan, konsep itu diajukan dan didasari untuk pertama kalinya pada tahun 1918, oleh Suwardi Suryaningrat (yang belakangan mengambil nama Ki Hadjar Dewantara), yaitu dalam satu makalah yang disampaikan pada sidang perayaan hari ulang tahun ke-10 Boedi Oetomo. Waktu itu, Suwardi Suryaningrat sekaligus menolak gagasan yang menginginkan negeri Indonesia itu dibatasi pada sukubangsa Melayu-Polinesia, dan menandaskan bahwa batasnya harus sesuai dengan batas Hindia Belanda.

Pendasarannya waktu itu: negara itu tidaklah harus berdasarkan kenyataan kebudayaan, melainkan harus berdasarkan kenyataan politik (di dunia ini banyak negara poli-etnik, dan banyak pula sukubangsa yang terbagi atas beberapa negara). Maksudnya, bagaimana terjadinya perbatasan-perbatasan antara negara-negara di dunia ini adalah hasil proses adu-kekuatan politik sepanjang zaman. Kalau kita lihat di Eropa saja, batas itu bisa geser kian-kemari sepanjang kurun jaman, misalnya wilayah Elsas itu bertukaran terus antara Perancis dan Jerman. Di Belgia penduduk Selatannya berbahasa Perancis, yang di Utara berbahasa Flams yang merupakan logat bahasa Belanda. Di Suiss lebih rumit lagi, ada yang bahasa Jerman, Perancis , Itali...., sedangkan orang Tirol di Utara negeri Italia itu bahasanya satu logat Jerman yang mirip dengan logat Jerman di Ustria yang bertetanggaan. Di Utara Nederland dan di pesisir Barat-Laut Jerman terdapat orang Fries yang bahasanya lain sendiri, sedangkan di Utara negeri Jerman ada orang berbahasa Denmark. Di Utara negeri Sepanyol dan Barat-Daya negeri Perancis berdiam orang bangsa Baskia yang juga punya bahasa tersendiri. Ini belum semua contoh kekacauan perbatasan etnik dan perbatasan nasional di Eropa yang masih banyak lagi. Kenapa sampai jadi begitu? Karena sepanjang jaman terjadi peperangan dan perjanjian antar negara, sehingga letak perbatasan itu ditentukan oleh bergonta-gantinya neraca kekuasaan politik antara negara-negara yang ada di Eropa. Demikianlah realitas di dunia ini, yang sangat beda dengan idam-idam ideal kita.

Khususnya dalam hal pemasukan wilayah Irian Barat kedalam Hindia Belanda dulu, maka ini bukan hasil agresi Belanda terhadap wilayah Irian Barat. Melainkan, adalah hasil perjanjian damai setelah perang pertama antara VOC dan Sultan Tidore, di mana VOC mengakui kedaulatan Sultan Tidore atas beberapa wilayah, termasuk juga wilayah pesisir pantai Utara Irian Barat ke timur dari Kepala Burung (Vogelkop). Perlu diterangkan bahwa orang Tidore dan Ternate itu bukan ras Melayu, melainkan orang berkulit hitam yang bahasanya termasuk rumpun bahasa Halmahera Utara yang BUKAN Melayu-Polinesia, melainkan kabarnya lebih kerabat dengan satu rumpun bahasa pribumi di Irian Barat. Belakangan, waktu terjadi perang berulang antara VOC dengan Tidore, akhirnya VOC toh unggul, dan berhasil mengalahkan Tidore, sehingga segala wilayahnya, termasuk yang di Irian, jatuh ke tangan Belanda. Artinya, ini bukan akibat serangan militer Belanda terhadap Irian, melainkan terhadap Tidore. Belakangan lagi, pihak Nederland memperluas wilayah yurisdiksinya di Irian sampai meliputi seluruh bagian Barat pulau itu (inipun setahu saya tanpa satu ekspedisi militer terkhusus).

Tetapi, kembali ke gagasan Suwardi Suryaningrat tahun 1918 tadi, maka itu waktu itu baru konsep. Tentu, realisasinya tergantung sepenuhnya dari penghayatan konsep itu oleh penduduk di wilayah itu. Khususnya, seruan Suwardi Suryaningrat semula ditujukan kepada sukubangsa Jawa, supaya jangan menyendiri dari sukubangsa lain, melainkan supaya bersatu dengan perjuangan sukubangsa lain di Hindia Belanda (dan akhirnya menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, walaupun ada juga bahasa Jawa yang pemakainya lebih banyak daripada bahasa Melayu, dan pustaka serta susastranya mungkin juga melebihi yang berbahasa Melayu). Perkaitan gagasan negara kesatuan Indonesia dengan bahasa Melayu itu tidak kebetulan. Di seluruh wilayah Hindia Belanda telah ada logat-logat bahasa Melayu setempat yang dikembangkan oleh penduduk setempat demi kelancaran perdagangan antar-pulau. Menjelang awal Perang Dunia II, di Irian Barat sendiri pun sudah ada satu logat Melayu setempat. Jadi, timbulnya satu logat Melayu di Irian Barat itu bukan hasil rekayasa pemerintah pusat Republik Indonesia.

Nah, bagaimana kelanjutan daripada penghayatan konsep Suwardi Suryaningrat itu? Dalam periode dua dasawarsa antara 1918 dan 1939 telah terjadi satu proses konsolidasi, dimana berbagai organisasi sukubangsa daerah di Sumatera, Sulawesi, Maluku dsb. bersekutu satu sama lain. Maka pada tahun 1939 terjadilah di Jakarta (yang nama resminya waktu itu masih Batavia) apa yang dinamakan Congress Ra'jat Indonesia (artinya: Kongres Rakyat Indonesia) yang disertai seluruh organisasi masyarakat dan Partai Politik penduduk pribumi berbagai sukubangsa yang seluas-luasnya, termasuk pun perwakilan sukubangsa non-pribumi (Arab, Tionghoa, dll). Pendek-kata, Kongres 1939 itu merupakan badan perwakilan penduduk Hindia Belanda yang paling representatif ketimbang segala apa yang pernah ada sepanjang periode penjajahan. Resolusi Kongres itu satu: Atas nama penduduk Indonesia, kongres itu menyatakan tekat bulatnya untuk mengerahkan seluruh penduduk untuk membela wilayah Hindia Belanda kalau ada serangan dari Jepang, asalkan pihak Nederland memperbolehkan adanya parlemen hasil pemilihan umum di Indonesia di bawah naungan ratu Belanda. Perlu ditegaskan, kongres yang digalang oleh GAPI itu berlangsung dengan menggunakan nama-diri nasional "Indonesia", dengan berbenderakan Sang Merah-Putih, dengan berlagu kebangsaan "Indonesia Raya", dan bahkan dengan menggunakan nama "Djakarta" untuk ibukota yang resminya masih Batavia itu.

Jadi, Indonesia dalam batas Hindia Belanda itu bukan hasil rekayasa proklamator kemerdekaan 1945 ataupun paksaan politik belakangan. Bukan satu kekuasaan pusat yang memaksa penduduk daerah masuk wilayah kesatuan Indonesia, melainkan adalah masing-masing sukubangsa yang sudah berorganisasi politik itu sendiri yang memasukkan diri kedalam Indonesia itu, tanpa paksaan dari pemerintahan pusat, melainkan justru membangkang terhadap pemerintahan pusat yang waktu itu masih ditangani oleh administrasi penjajahan. Walaupun kemasukan mereka ke dalam wilayah Hindia Belanda itu masih bisa dilihat sebagai rekayasa kolonial pihak penjajah, tetapi kesatuan Indonesia itu bukan hasil rekayasa langsung satu kekuasaan politik, melainkan hasil satu gerakan spontan penduduk setempat di masing-masing daerah dimana sudah berkembang organisasi masyarakat dan politik.

Di Irian Barat sendiri, sebagaimana kita ketahui, oleh karena letaknya yang terpencil, dan situasi perkembangan ekonominya, gerakan spontan dari dalam itu agak terlambat dan tidak begitu massal seperti di wilayah lainnya. Walaupun demikian ada gejala penaikan Sang Merah-Putih oleh Lukas Rumkorem (bapaknya Bung Seth Jafeth Rumkorem) pada tahun 1949. Jadi, sebelum periode teror negara (state terrorism) biadab terhadap rakyat Irian Barat oleh aparat rezim "Orde Baru" Soeharto, adanya gejala nasionalisme di bumi Irian Barat itupun dalam garisbesarnya kongruen atau selaras dengan perkembangan nasionalisme di Indonesia lainnya (di Indonesia lainnya pun, dulu ada terus unsur yang lebih senang dikuasai oleh Belanda atau pisah ketimbang masuk Indonesia merdeka).

Memang, keunggulan daripada nasionalisme Indonesia kesatuan dulu itu bersumber pada kesadaran masing-masing, bahwa kemerdekaan tidak mungkin tercapai dengan berjuang setiap sukubangsa sendiri-sendiri, di mana pihak penjajah mudah saja mengadu-domba satu dengan yang lain. Jadi, tidak diperlukan satu organ sentral untuk memaksa mereka bersatu. Malah, organ sentral daripada kekuasaan penjajah itu berusaha mencegah kesatuan itu.

> Kesepakatan pada 1945 itu kini kita anggap sebagai sesuatu
> yang niscaya. Sampai-sampai banyak aktivis pro-demokrasi
> yang membela hak menentukan nasib sendiri bangsa Maubere
> (Timor Lorosae), merasa hak yang sama tidak
> berlaku bagi orang Papua, Aceh, dan bangsa-bangsa lain penghuni
> kepulauan Nusantara.
Perlu diketengahkan, bahwa antara Timor Timur di satu pihak, dengan Irian Barat dan Aceh di pihak lain, ada perbedaan prinsipiel.

Irian Barat dan Aceh termasuk dalam lingkungan kebudayaan yang dikhasiati oleh sejumlah ciri-ciri bersama sebagai berikut:

  1. Pernah mengembangkan satu logat Melayu setempat;
  2. Pernah mengalami kehidupan ekonomi didalam naungan tatanan ekonomi, hukum, dan politik khas Hindia Belanda;
  3. Pernah mengalami pengajaran sekolah dalam sistem pendidikan Hindia Belanda yang memakai bahasa Melayu dan/atau bahasa Belanda (selain disana-sini, juga dengan bahasa daerah setempat);
  4. Bagi yang beragama Kristen, mengalami Kristianisasi hasil kegiatan misi/zending Belanda (dan Jerman).
Berkenaan dengan kegiatan misi ini, perlu diingatkan bahwa tradisi sastra bahasa Melayu berabjad Latin itu sepenuhnya berasal dari kegiatan misi, dan buku-buku pelajaran dalam bahasa tersebut dalam abad ke-17 sampai abad ke 19 itu berikatan langsung dengan pekerjaan misi itu, dimana murid-muridnya banyak yang bukan Kristen, khususnya banyak juga yang Islam. Jadi, penduduk Islam dan Hindu dst. itupun tidak lepas dari akibat perihal nomor 4 itu.

Timor Timur tidak masuk lingkungan kebudayaan tersebut. Di Indonesia, apakah itu orang Batak, atau orang Jawa, atau orang Menado, atau Maluku, atau Irian Barat, orang intelektual semua berpengalaman menggunakan istilah Belanda. Lain halnya di Timor Timur yang mengenal peristilahan bahasa Portugis yang asing bagi orang Indonesia.

Walaupun dengan segala aneka ragam budaya bhineka tunggal ika Indonesia, tetap ada kesamaan hakiki yang mengikat satu sama lain, yaitu pengalaman dijajah oleh Nederland dengan segala akibatnya terhadap kebudayaan kita, di mana Timor Timur tidak turut dan belum pernah turut dalam ikatan itu. Jadi, pemasukan wilayah itu kedalam wilayah RI, terlepas dari segala segi yuridisnya yang ilegal itu, merupakan suatu paksaan artifisial. Apalagi dilihat dari segi legalitas, dimana pemasukan wilayah itu bertentangan dengan segala konsep nasional tentang cakupan wilayah Indonesia itu, sehingga untuk memasukkanya akhirnya terpaksalah pemerintah Soeharto merekayasai Undang-undang Dasar 1945, setelah sebelumnya mementaskan "manifesto" palsu "permintaan" Timor Timur masuk Indonesia itu (sambil terpaksa membunuh lima wartawan asing yang menjadi saksi kepalsuan manifesto tersebut).

Lain halnya dengan penduduk wilayah negara proklamasi Indonesia yang (a) menyatu kedalam satu Indonesia kesatuan itu secara spontan sebelum 1945, dan/atau (b) turut memperjuangkan kemerdekaan dan kesatuan negara tersebut setelah diproklamasi dalam periode 1945-1950.

> Padahal, pernahkah mereka bertanya, apakah semua bangsa
> penghuni kepulauan ini sudah sama-sama mengaku tunduk pada
> Belanda, sehingga mereka berhak diserahkan bulat-bulat oleh si
> bekas penjajah kepada negara-bangsa (nation-state) pewaris
> wilayah jajahan itu?
Saya pikir, syaratnya bukan ketundukan kepada Belanda. Itu hanya syarat formal. Syarat yang jauh lebih hakiki adalah kerelaan spontan persekutuan bersama memperjuangkan kemerdekaan bersama dari kekuasaan penjajah yang sama, dalam suasana ekonomi, politik dan hukum yang sama ciptaan penjajah yang sama itu.
> Nusantara. Para aktivis Aceh Merdeka yang saya wawancarai
> di Sydney menegaskan, sampai dengan 1942, Kesultanan Aceh
> belum pernah tunduk kepada Belanda, yang angkat kaki dari
> Aceh setelah terpaksa kalah perang melawan Jepang.
> Dengan demikian, penyerahan kedaulatan atas seluruh bekas
> wilayah Hindia Belanda kepada pemerintahan Sukarno-Hatta
> lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 27 Desember
> 1949, oleh para nasionalis Aceh, dianggap sebagai suatu
> tindakan yang tidak bertanggungjawab dan tidak sah.
Ini mengandung dua kesilapan. Yang pertama: keterangan rekan Aceh di Sydney itu tidak tepat, dan peristiwa pendudukan daerah Kesultanan Aceh oleh tentara Hindia Belanda, dengan segala tragedinya, ketewasan Sang Sultan, kemudian penawanan Permaisurinya yang gigih melanjutkan perlawanan, kemudian penggusuran sisa-sisa perlawanan gerilya itu bukan peristiwa jaman pra-sejarah yang tak ada dokumentasinya. Proses itu, sebagaimana kita semua tahu, berakhir menjelang Perang Dunia Pertama (1914-1918).

Yang kedua, orang Aceh itu termasuk yang paling duluan, paling gencar, dan paling gigih membela negara proklamasi. Akibatnya, walaupun pihak penjajah berhasil menduduki sebagian besar wilayah Indonesia dan membentukkan negara-negara bonekanya disana (bahkan di Pulau Jawa pun, dengan didirikannya "Negara Jawa Timur" dan "Negara Pasundan"), tetapi, kalau saya tidak keliru ingat, mereka tidak berhasil menduduki Aceh (sekurang-kurangnya tidak mendudukinya sepenuhnya), sehingga pada saat perpindahan kedaulatan itu, Aceh de facto masih tetap wilayah Republik yang tidak perlu "ditimbang-terimakan" oleh pihak Nederland kepada Indonesia. Bukan orang Belanda yang "menyerahkan" Aceh kepada RI, melainkan orang Aceh itu sendiri yang telah dengan gagah perkasa mempertahankan kedaulatan Indonesia hasil proklamasi.

>       Sebab
>keinginan rakyat Aceh tidak pernah ditanyakan baik oleh Belanda
>maupun Indonesia.
Memang tidak perlu ditanya, karena belum ditanyapun sudah menjawab sendiri secara spontan membela Republik Proklamasi! Yang paling mengharukan adalah spontanitas penduduk Aceh yang sekarang, yang walaupun sudah menderita kebengisan dan kebiadaban aparat rezim "Orde Baru" yang di luar segala batas peri-kemanusiaan itu, tetap saja dalam wawancara tetap menyatakan dirinya merasa orang Indonesia, dan umumnya tidak menuntut lepas dari Republik Indonesia, melainkan perlakuan yang layak dan pembagian penghasilan setempat secara lebih adil. Dan memang sudahlah menjadi kewajiban azasi setiap pemerintahan negara hukum untuk memenuhi kehendak demikian ini tanpa harus diminta lebih dulu!

Disini ada satu kelainan antara Aceh dan Irian Barat yang perlu diperhatikan oleh semua pihak: Irian Barat selama 13 tahun terpisah dari masyarakat Indonesia lainnya, dan tidak mengalami kehidupan bersama dalam negara RI periode 1950-1962 (begitupun periode 1945-1949 yang mendahuluinya). Akibatnya, ada satu perbedaan hakiki antara tanggapan penduduk Irian Barat terhadap ekses-ekses kelaliman aparat rezim "Orde Baru", ketimbangan penduduk daerah lain. Di Jawa yang penduduknya berkali-kali mengalami ekses-ekses demikian, begitupun di Aceh, gejala itu tidak ditanggap sebagai perbuatan agresif "bangsa Indonesia", melainkan jelas dikenal penjahatnya, yaitu aparat Orde tersebut. Lain halnya penduduk di Irian Barat, setelah mengalami perekayasaan pihak kolonial untuk membangkitkan identitas nasional yang lain daripada identitas Indonesia, kemudian mendadak dihadapkan kepada kebiadaban aparat rezim yang begitu mengejutkan dan melanggar segala azas-azas susila dan peri-kemanusiaan. Tidak mengherankan kalau merasakan bahwa penindas atau pelaksana kekerasan itu "orang Indonesia".

> KMB juga merupakan awal sejarah lahirnya nasionalisme
> Papua. Tapi sebelumnya, kita perlu fahami lebih dahulu dasar
> historis nasionalisme itu. Menurut para nasionalis Papua,
> kampung halaman mereka begitu saja diklaim sebagai wilayah
> Hindia Belanda hanya karena sebelumnya diklaim sebagai
> wilayah jajahan Sultan Tidore. Jadinya, ketika Sultan Tidore
> menyatakan tunduk pada kekuasaan Belanda, otomatis seluruh
> daerah yang diklaim sebagai wilayah jajahan Sultan Tidore,
> dinyatakan sebagai daerah Hindia Belanda. Tentu saja itu
> terjadi, tanpa meminta persetujuan rakyat Papua Barat itu
> sendiri.
Bagaimana berkembangnya presensi politik Kesultanan Tidore di bagian pesisir Utara Irian Barat itu belum jelas sepenuhnya, tetapi pada garisbesarnya kiranya tidak boleh diperiksa dengan ukuran simplistis sudah "minta persetujuan" atau belum. Apakah kalau raja feodal menjadi raja itu harus "minta persetujuan" anak negeri? Saya pikir ini jarang terjadi dalam sejarah. Kalau presiden, memang di pilih. Raja biasanya tidak. Kita tidak punya dokumentasi historiografis yang cukup lengkap tentang jalannya peluasan wilayah Tidore. Tetapi kalau kita pakai analogi dengan perkembangan kebudayaan di Nusantara pada umumnya, kemungkinan bahwa peluasan kedaulatan Sultan Tidore di Irian Barat itu dilakukan secara kekerasan itu sangat kecil. Ini tidak berarti disana sini tidak terjadi bentrokan senjata, tapi pada umumnya, jauh lebih besar kemungkinan adanya "penarikan hati" penghulu setempat liwat perdagangan, kemudian proteksi terhadap penghulu ini atau itu, dengan pemberian gelar dan tanda kebesaran berupa barang mewah tertentu, dsb. Bagaimanapun juga, sulitlah presensi Tidore ini dikhasiati sebagai "tidak diminta" atau bahkan "agresi", lebih-lebih lagi karena antara penduduk Halmahera Utara, Kepulauan Raja Ampat, daerah Teluk Cendrawasih dan pantai Sarmi itu ada satu kesinambungan dalam banyak ciri, sehingga orang Tidore itu tidak lebih "asing" bagi orang Numfor atau orang Biak, ketimbang "asing"nya orang Jawa Tengah bagi orang Jawa Timur periode Raja Sanjaya.

Bahwa pendudukan Belanda itu terjadi "tanpa diminta" itu bagi Irian Barat benar, sebagaimanapun juga benar bagi sebagian besar wilayah Hindia Belanda lainnya. Dalam hal ini seluruh penduduk Indonesia itu senasib, itulah salah satu dasar daripada kesatuan Indonesia. Bukan karena bahasa atau kebudayaannya seragam. Yang itu malah "bhineka tunggal ika", artinya serba aneka-ragam.

> wilayah Hindia Belanda, otomatis rakyat Papua Barat dialihkan
> status hukumnya dari onderdaan (bawahan) Kerajaan Belanda
> menjadi warganegara Indonesia.
Jangan lupa satu perbedaan esensiel, Bung. Menjadi anak negeri wilayah jajahan Belanda tidak sama dengan menjadi warganegara Nederland, begitupun tidak sama dengan menjadi warganegara RI kalau Indonesia tidak dikuasai rezim seperti yang "Orde Baru". Sepanjang abad, pihak kolonial memandang wilayah Irian Barat itu sebagai embel-embel geopolitik, sehingga pada saat proklamasi masih menjadi bagian daripada propinsi Maluku (sesuai pembagian pada zaman penjajahan), dan setelah diduduki kembali oleh Nederland pun, diembel-embelkan sebagai bagian daripada "Negara Indonesia Timur". Setelah ditahan oleh Nederland setelah 1950 itupun, wilayah tersebut mulanya tidak dikembangkan. melainkan paling-paling dipersediakan untuk menampung penduduk Belanda Indo dari Indonesia lainnya (yang lalu lebih suka pulang ke Belanda ketimbang bermukim di Irian Barat). Baru setelah ada bahaya riel bisa terpaksa mengembalikan wilayah itu ke Indonesia, baru dibuat langkah seperti pembentukan "Dewan Guinea Baru" pada 1961 (setahun sebelum peralihan kepada UNTEA). Adalah pihak Indonesia, yang secara langsung mengupgradekan tingkatan geopolitis Irian Barat sebagai propinsi tersendiri (bukan pada tahun 1969, melainkan pada tahun 1962. Adalah pihak Indonesia pula, yang salah satu tindakan pertama setelah kembalinya Irian Barat itu menegakkan universitas di wilayah ini, Universitas Cendrawasih yang sampai sekarang, walaupun dengan segala penindasan kebudayaan oleh rezim, merupakan pusat perkembangan kebudayaan penduduk Irian Barat dalam konteks dunia modern.
> diberi nama "Irian Barat", pada 1 Mei 1963 dinyatakan "kembali
> ke pangkuan Ibu Pertiwi". Retorika yang sengaja
> dikembangkan untuk membuat sesuatu yang tidak alamiah, terasa
> alamiah.
Kenapa tidak alamiah Bung? Bukankah yang tidak alamiah itu kekuasaan teror rezim "Orde Baru", yang "tidak alamiah" baik untuk orang Irian Barat, begitupun untuk orang Aceh dan orang Jawa dan orang sukubangsa Indonesia lain.
> Sukarnapura, kemudian Jayapura, dalam kurun waktu 12 tahun,
> suatu faham kebangsaan yang lain telah dipupuk Belanda di
> sana. Suatu nasionalisme, yang tidak berkiblat ke Jakarta
> maupun ke Den Haag, melainkan ke dalam. Bukan ke Asia atau
> ke Eropa, melainkan ke Pasifik Selatan, mengingat Papua Barat
> di bawah penjajahan Belanda menjadi anggota Forum Pasifik
> Selatan bersama Australia, Aotearoa (Selandia Baru), Papua
> New Guinea, dan semua negara dan koloni di kawasan Pasifik
> Selatan.
Boleh jadi bahwa pihak Nederland secara "formal" membuat penyelarasan politik kearah Pasifik Selatan, tapi ini belum berarti bahwa itu berhasil. Apalagi mengingat bahwa penurut-sertaan penduduk pribumi dalam politik itu agak terhambat oleh pihak kolonial itu sendiri. Tapi dasar-dasar untuk satu penjurusan Irian Barat kedalam dunia kebudayaan Pasifik Selatan itu sangat kecil, ketimbang pencakupannya dalam kesinambungan kebudayaan Indonesia.

Pertama: bahasa pergaulan antar-etnik dan antar-regional di Pasifik Selatan itu umumnya bahasa-bahasa Pidgin yang berdasarkan bahasa Inggeris (misalnya Tok Pisin di PNG, atau Bislama di Vanuatu), sedangkan satu-satunya bahasa hubungan demikian di Irian Barat sebelum perang dunia sajapun logat Melayu (selain bahasa Belanda), dan sejak 1963 itu berkembang lebih lanjut dengan pesat berupa bahasa Indonesia.

Komponen Eropa dalam kebudayaan setempat berasal dari kebudayaan Belanda (seperti halnya keadaan semula di seluruh Indonesia), berbeda dengan komponen Ingeris (dan disana-sini Perancis) di Pasifik Selatan. Tidak lepas dari itu juga gereja Kristen di Irian Barat itu terutama berkat misi Belanda dan Jerman, seperti di Indonesia lainnya, dan beda dengan Pasifik Selatan yang mengalami misi Inggeris dll.

Sebelum berkontak dengan orang Eropa, Pasifik Selatan tidak kenal dengan pertanian padi-padian dan tidak kenal dengan pengecoran logam. Irian Barat sudah, yaitu terutama liwat kontak dengan Maluku Tengah, kemudian juga dengan Maluku Utara. Bentuk perdagangan tradisional di Papua-Niu Gini it berdasarkan ekspedisi ritual periodik yang dikenal dengan nama "kula" di Kepulauan Kiriwina atau "hiri" di sekitar Teluk Papua. Bentuk perdagangan dengan perantaraan uang logam di Pasifik Selatan pra-kontak Eropa itu tidak dikenal. Lain halnya Irian Barat yang beberapa daerah pantainya sudah kenal dengan taraf perkembangan perdagangan berperantaraan uang logam. Nama untuk "perak" yang menjadi logam keuangan itu menunjukkan kontak dengan Maluku Tengah juga. Pemujaan "perahu arwah nenek-moyang" dalam agama tradisional setempat terdapat pada beberapa sukubangsa di Indonesia, misalnya di tanah Batak sebelum beralih ke agama Kristen atau Islam, dan di beberapa suku Dayak. Di Irian Baratpun, gejala kebudayaan ini terdapat pada sukubangsa Asmat (bagian Barat-Daya Irian Barat), tetapi samasekali tidak terdapat di [Pasifik Selatan] sebelah Timur atau Tenggara dari Irian Barat.

Ini hanya beberapa ciri saja, yang menunjukkan, bahwa baik dari segi unsur-unsur kebudayaan tradisional, begitupun dari segi perkembangan kebudayaan modern penduduk urban, Irian Barat itu jauh lebih alamiah masuk Indonesia daripada bernaung dalam lingkungan Pasifik Selatan. Kesan yang berlawanan itu terutama berdasar pada satu pandangan superfisial, yaitu ciri ras yang menyolok, yaitu warna kulit yang hampir hitam, dan rambut yang keriting. Tapi kalau memang ini yang dipentingkan, bukankah orang Maluku Utara dan Maluku Tenggara, begitupun orang Nusa Tenggara, orang Tengger, orang Kubu, dan orang Nias juga harus masuk Pasifik Selatan? Lantas orang Dayak dan orang Mentawai harus pisah sendiri karena lebih putih ketimbang rata-rata orang Melayu dan Jawa?

> Inkorporasi ke dalam wilayah RI menjadi semakin traumatis,
> ketika semua simbol kebangsaan Papua Barat -- lagu, bendera,
> bahkan nama Papua Barat -- dinyatakan terlarang. Satu-satunya
> institusi nasionalis yang tersisa, yakni Batalyon Papua, dipaksa
> meletakkan senjata atau melebur ke TNI di bawah komando almarhum Sarwo
> Edhie. Maka meledaklah pemberontakan bersenjata pertama di Manokwari, 26
> Juli 1965, oleh para serdadu Batalyon Papua yang didukung oleh
> politikus senior asal Manokwari, Johan Ariks. Penyerangan yang gagal
> terhadap tangsi TNI di Manokwari, namun merembet ke seluruh
> wilayah Kepala Burung itulah yang lazim dianggap sebagai hari lahirnya
> "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat".
> Nama panjang itu kemudian disingkat pihak aparat keamanan
> dan kejaksaan Indonesia menjadi "Organisasi Papua Merdeka",
> disingkat OPM, singkatan yang kemudian populer di seluruh
> kalangan nasionalis Papua.
Saya pikir, Bung terlalu membesarkan gejala nasionalisme Papua Barat ciptaan Belanda itu, karena Bung memandangnya secara retrospektif. Dia baru besar artinya belakangan, bukan berkat usaha orang Belanda, melainkan akibat penindasan oleh aparat rezim. Bahkan pemberontakan Batalyon Papua itu mempunyai arti lokal. tetapi justru dengan penindasan fisik yang terus-menerus, dan lebih-lebih lagi dengan penindasan moril dan penghinaan-penghinaan terus menerus dari aparat, itu menimbulkan reaksi nostalgi kepada gejala kecil nasionalisme ciptaan Belanda itu. Itulah satu-satunya alternatif yang pernah dikenal, dan itulah menjadi wadah segala harapan untuk keselamatan kebangsaan dari ancaman angkara murka aparat rezim itu.

Pelukisan segala penindasan yang biadab itu tepat sekali dan sudah tentu belum lengkap. Memang segala apa yang telah diderita oleh penduduk Irian Barat ini terlalu sulit dilukiskan, begitu keterlaluannya.

> Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Kalau tidak mau mengambil
> risiko perang terbuka menghadapi sebagian besar rakyat Papua
Jangan begitu Bung. Awas, lihat penderitaan orang Aceh yang pernah mengajak perang sendirian melawan aparat rezim. Ini tak beda dengan waktu menghadapi penjajahan dulu. Hanya bersatulah kita kuat. Kalau sendiri-sendiri, hal itu malah akan digunakan oleh rezim untuk menghentikan reformasi dengan dalih "kesatuan nasional terancam".
> Barat, tak ada jalan lain kecuali menarik seluruh tentara
> Indonesia dari bumi cenderawasih, membebaskan semua tapol
> dan napol Papua, serta mengulangi referendum yang diperkosa
> Ali Murtopo dengan Opsusnya, 29 tahun silam. Hanya dengan
> cara itulah, saya yakin orang Indonesia dan orang Papua dapat
> tetap hidup berdampingan sebagai sahabat dan partner dagang,
> walaupun lain bangsa.
Menurut hemat saya, jalan keluar yang paling terjamin bagi rakyat Irian Barat adalah menguji reformasi Indonesia. Kalau Irian Barat tetap mau pisah, hal itu akan lebih berhasil dalam suasana negara hukum yang demokratis, ketimbang kalau sendirian menghadapi aparat yang belum direformasi. Artinya, kepentingan Irian Barat akan lebih terjadmin kalau gerakan penduduk Irian Barat menyelaraskan diri dengan gerakan reformasi total di seluruh Indonesia.

Baru setelah gerakan itu berhasil, baru akan bisa menentukan secara obyektif, apakah mau lepas, ataukah lebih betah kalau tetap didalam RI. (Kalau reformasi gagal, tidak akan lebih jelek dari yang sudah-sudah, artinya kalau mau ambil risiko pemberontakan bersenjata, tetap saja bisa). Soalnya, keinginan orang Irian Barat untuk memisah ini terutama akibat pengaruh penindasan rezim (sedangkan pengaruh Belanda yang dulu-dulu itu sangat minimal). Sesungguhnya, kalau Indonesia ini negara hukum yang demokratis, kepentingan Irian Barat itu jauh lebih terjamin di dalam Indonesia.

Freeport MacMoran itu tidak akan menghilang, tak soal apa di dalam atau di luar Indonesia. Cuma Indonesia yang negara hukum lebih mampu menjamin kepentingan penduduk Irian Barat, juga terhadap perusahaan raksasa internasional, ketimbang suatu pemerintahan Papua Barat Merdeka. Seluruh perkembangan kebudayaan dan pendidikan di Irian Barat ini berdasarkan bahasa kesatuan bahasa Indonesia (Melayu). Kalau menjadi Papua Barat Merdeka pun akan tetap begitu (apakah disangka mudah, menciptakan bahasa kesatuan baru, atau mengambil oper bahasa Tok Pisin dari PNG?). Tapi, jelas bahwa pembinaan bahasa nasional Bahasa Indonesia itu lebih efisien dalam rangka seluruh Indonesia, ketimbang harus membangun kembali seluruh sarananya dalam batas-batas Papua Barat Merdeka (ini saja sesungguhnya satu tugas raksasa yang tak akan terpecahkan begitu saja).

Ini belum lagi menyertakan masalah perombakan ekonomi yang pada saat ini sudah erat sekali diintegrasi dalam ekonomi se-Indonesia. Bung lihatlah seniri, kalau problemnya diungkil-ungkil sedikit melihat di bawah permukaan yang paling superfisial, langsung jelas gunung tinggi problim-problim yang akan menimpa Papua Barat Merdeka. Padahal problem-problem yang diderita sekarang ini adalah akibat langsung tatanan kekuasaan a la rezim "Orde Baru". Kalau gerakan reformasi total mencapai hasil beberapa langkah saja, itu sudah akan membawah keringanan yang mahabesar untuk semua daerah Indonesia, termasuk juga Irian Barat. Oleh karena itu, anjuran saya, sabarlah dulu melihat hasil daripada gerakan reformasi. Kalau nanti ternyata tidak puas, tidak akan kehilangan apa-apa, masih saja bisa berontak.

 

Back to Index