Sender: owner-bahasa@auckland.ac.nz Date: Wed, 4 Mar 1998 13:51:01 +0100 Subject: Re: java atau jawa? (1) Date: Wed, 4 Mar 1998 17:42:08 +0100 Subject: Re: java atau jawa? (2) Date: Wed, 4 Mar 1998 21:09:32 +0100 Subject: Re: java atau jawa? (3, "Borneo") Date: Sat, 7 Mar 1998 18:06:13 +0100 Subject: Britania Raya ____________________________________
Maafkanlah agak terlambat meresponsi pertanyaan Bung J**** yang agak menarik ini. Pertanyaannya mencakup (1) satu masalah umum, yaitu perihal pencerminan nama-nama tempat asing dalam suatu bahasa, dan beberapa pertenyaan sekitar nama tempat kongkret, yaitu (2) Java/Jawa, (3) Borneo/Kalimantan, dan (4) Celebes/Sulawesi.
(1) Sesungguhnya, di kalangan ahli-ahli ilmu bumi dan kartografi internasional dalam beberapa dasawarsa terakhir ini suda ada kesepakatan akan perlunya menomorsatukan cara penamaan pribumi, sehingga misalnya dalam peta dunia yang dilampirkan pada Encyclopaedia Britannica banyak digunakan nama-nama bahasa setempat, bahkan pun dengan ejaan bahasa setempat tersebut.
Adapun, disini tampaknya ada beberapa soal, yaitu (a) adanya beberapa nama tradisional yang sudah sedemikian membudaya dalam bahasanya si penulis/pembaca, sehingga penggunaan nama yang "politically correct" itu sangat canggung dirasakannya, dan (b) bahwa penggantian nama tradisional dengan nama "p.c." itu dalam bahasa yang dipakai oleh umum harus berangsur-angsur. Misalnya, kalau kita perhatikan penggunaan nama-nama Tionghoa dalam pers berbahasa Inggeris, sudah sangat lazim menyebut Beijing pengganti Peking, tetapi penggunaan Guangzhou untuk Canton (Kanton) itu belum begitu meluas, sedangkan untuk Hongkong praktis tak pernah kita temukan Xianggang (Anda sendiri apakah pernah dengar/baca?). Kemudian masih ada (c) sebab-sebab khusus, terutama isyu politik, yang bisa melahirkan klise-klise tertentu, seperti halnya dalam penggunaan Borneo dan Kalimantan dalam Bahasa Inggeris (lih. (3)).
Dalam hal ini, kita orang Indonesia mungkin tak perlulah terlalu menuding kepada orang lain, karena kita sendiri pun tidak bebas dari "dosa-dosa" yang serupa. Misalnya, makin sering akhir-akhir ini dipakai Thailand, walaupun sejak pertengahan dasawarsa 1950-an sudah banyak dipopulerkan istilah Muangthai yang lebih dekat kepada nama pribumi. Kadang-kadang terdapat salah-kaprah yang bahkan agak menggelikan:
Negeri yang nama pribuminya France, kita namakan Perancis,Jadi, F kita ganti dengan P, sedangkan P diganti F!
negeri yang nama pribuminya Pilipinas, kita namakan Filipina.
Kemudian, kita sendiri pun punya contoh klise yang lahir dari isyu politik, yaitu penggunaan nama Cina pengganti penamaan Tiongkok dan Tionghoa yang tadinya sudah lazim digunakan. Nama-nama tersebut diambil dari dialek Xiamen (alias "Amoi") dan bentuk Pinyinnya masing-masing itu Zhongguo dan Zhonghua. Penggunaan Cina ini dihidupkan kembali setelah peristiwa 1965-1966 ketika ada tuduhan campurtangan RRC (waktu itu masih disebut RRT). Yang dilupakan mungkin, bahwa bahkan pun sekiranya tuduhan itu ada benarnya, kenapa pula kita harus memberi julukan kepada jutaan orang Tionghoa yang tiada mengapa-ngapa, termasuk yang dari Taiwan?
Tapi sebagai kontras terhadap "dosa-dosa" kita yang tersebut diatas, mungkin boleh juga diketengahkan satu "kebijakan" bahasa Indonesia. Penggunaan nama Serilangka untuk menyebut Sri Langka itu sudah cukup umum di Indonesia tahun 1950-an, sebelum nama kolonial Ceylon itu diganti dengan Sri Lanka di negeri itu sendiri! Begitu pun, ada satu pemberian nama "salah" akibat isyu politik yang saya pikir tidak boleh dicela: pada waktu pendudukan Jepang, tersebarlah pemakaian nama Nippon untuk negeri tersebut. Tetapi nama ini dihinggapi konotasi negatif sebagai nama negeri penjajah. Oleh karena itu, penggunaan nama Jepang tetap bertahan sebagai sebutan yang tidak bernada negatif.
Tampaklah problemnya cukup rumit, dan banyak benar seluk-beluknya.
(2) Soal ejaan Java/Jawa itu masalahnya tidak begitu sederhana, karena nama ini mempunyai sejarah yang sangat panjang, sehingga dengan sendirinya juga berkaitan dengan tradisi yang cukup lama.Kosakata yang bersangkutan pertama kalinya di bawa masuk ke Indonesia dari India dalam masa purba, bersamaan dengan dibawanya ke Indonesia bagian Barat sejenis padi-padian yang dalam bahasa Indonesia dinamakan jawaras (Sorghum vulgare Pers. = Andropogon sorghum Brot., Inggeris sorghum). Sebagaimana tampak benar kalau kita bandingkan dengan nama padi-padian yang sama di beberapa bahasa daerah (Batak Toba jabaure, Bali jawa, Dayak Ngaju jawe), dasarkata yang kita temukan di sini ini ialah jawa, yang mana berasal dari bahasa Pali java, yang ini pun berasal dari bhs. Sanskerta yava dan berarti sejenis padi-padian yang di Indonesia tidak tumbuh, dan cuma dikenal dengan nama gerst yang dari bhs. Belanda gerst (Inggeris barley, Jerman Gerste, Latin ilmiah: Hordeum vulgare), yaitu yang dipakai untuk membuat minuman bir. Adapun, di India sendiri, kata tersebut terpakai juga dalam nama jenis padi-padian lain, khususnya jawaras, yang dikenal dengan nama jawâr (â = a-panjang), jowaur, jowari dsb. (di daerah-daerah berlainan).
Jawaras serta dengan namanya (jawa < Pali java) itu masuk Indonesia antara tahun 1000 dan 600 s.M. Tak lama kemudian, di Indonesia bagian Barat datang pula padi-padian lain, yaitu jawawut (Setaria italica, Inggeris foxtail millet), yaitu dari Tiongkok daratan liwat Taiwan, Filipina, dan Indonesia bagian tengah. Dengan adanya beberapa padi-padian ini, kata jawa itu mengumumlah artinya, dari "jawaras" menjadi nama umum untuk "padi-padian", dimana yang satunya misalnya bernama jawa-ras, dan yang lain bernama jawa-wut. (ini riwayatnya agak dipersederhana, karena jawawut ini mungkin dari bahasa Jawa).
Kerajaan pertama di Nusantara rupanya terkenal dengan suburnya sehingga menghasilkan banyak padi-padian. Kerajaan itu disebut untuk pertama kalinya dalam Ramayana dengan nama Yavadvipa (pulau padi-padian), yaitu pada abad pertama s.M. atau tak lama setelah itu. Pada abad pertama M., kerajaan itu tercatat dengan nama Iabadiu dalam karangan ahli ilmu-bumi Yunani bernama Ptolemaios (Inggeris Ptolemy). Pada tahun 123 M., kerajaan itu disebut mengirim duta besar kepada kaisar Tionghoa dari kulawangsa Han. Dalam Silsilah Han Baru (Hou4han4shu1), nama kerajaan itu tercatat sebagai Ye4diau4, yang waktu itu lafalnya menurut Karlgren ialah iap-d'ieu. Kerajaan tersebut kemudian dikunjungi selama 5 bulan, dari Desember 413 M. sampai Mei 414 M. oleh musafir Tionghoa bernama Faxian (ejaan lama: Fa-hsien), yang menamakannya Ye1po2ti2 yang waktu itu lafalnya menurut Karlgren: zia-b'ua-d'iei.
Di sini tidak cukup tempat untuk melanjutkan riwayatnya yang agak rumit, yaitu bagaimana nama ini pindah menjadi nama Pulau Jawa. Karena mula- mulanya, nama itu menunjuk kepada orang Melayu, dan kerajaan Yavadvipa itu letaknya bertepatan dengan kerajaan Malayu. Dalam bahasa Pali, bentuk kata sifat dari Java itu ialah Jâvaka, dan kata ini dipakai untuk menyebut orang Melayu. Dalam bahasa Khmer lama, orang Melayu itu disebut Jvâ, yang dalam bahasa sekarang lafalnya Cvie. Dari kata sifat bhs. Pali (Jâvaka) itu terjadilah nama goegrafis bahasa Arab lama untuk menunjuk kepada daerah kediaman bangsa Melayu, yaitu az-Zâbaj. Dalam waktu lebih belakang, kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk menyebut orang dan bahasa Melayu ialah Jâwî.
Tetapi, di Indonesia sendiri, istilah Jawa ini sejak kira-kira abad ke-8 M. (setelah keberhasilan ekspedisi Raja Sanjaya) selain menunjuk kepada Tanah Melayu juga menyertakan Pulau Jawa. Alhasil, ketika Marco Polo memberitakan pengalamannya waktu mengunjungi Indonesia, dikabarkannya bahwa ada dua pulau "Java", jaitu Java minor (Sumatra) dan Java major (Jawa). Hal yang sama dilaporkan pula oleh musafir Italia bernama Nicolò Conti yang mengunjungi Asia Tenggara pada pertengahan pertama abad ke-15. Tetapi kemudian, Pulau Sumatra itu menjadi lebih terkenal dengan nama lain (Pulau Sumatra, Pulau Perca, Andalas), sehingga nama Jawa itu cuma menetap pada Pulau Jawa saja.
Dari cerita yang agak panjang ini jelas, bahwa agak sulitlah menentukan mana yang "benar", ejaan Java atau Jawa. Asal usulnya, nama itu dalam bahasa Pali ialah Java. Dalam Prasasti Canggal dari tahun 732 M., yang berbahasa Sanskerta, nama itu ditulis Yava. Dalam prasasti Kota Kapur tahun 686 M., yang berbahasa Melayu Kuna, tulisannya Jâwa. Namun, huruf abjad Melayu Kuna dan Jawa Kuna untuk menuliskan w itu asalnya dari huruf Pallawa untuk v. Pertama kali nama itu masuk Eropa pun, ejaannya Java baik dalam bahasa Perancis lama-nya memuar Marco Polo catatan Rusticien de Pise, maupun dalam bahasa Latinnya memuar Nicolò Conti catatan Poggius Bracciolini.
Dalam bahasa Melayu dan banyak bahasa daerah Indonesia lainnya tidak ada bunyi /v/, sehingga dalam kata-kata yang mengandung bunyi tsb. yang masuk bahasa Melayu, Jawa, dll., bunyi itu dialihkan menjadi /w/. Lumrahlah bahwa Java menjadi Jawa. Ini mirip dengan bahasa Arab yang juga tidak memiliki bunyi /v/, sehingga Jâvaka dulu menjadi Zâbaj, sedangkan Java yang dibuatkan kata sifat menjadi Jâwî. Hanya dengan adanya pengaruh Bahasa Belanda, kata-kata asing yang mengandung v lalu di-Indonesiakan dengan mempertahankan v itu. Tetapi yang dieja dengan huruf ini ini bukan bunyi /v/ yang tidak ada dalam bahasa Indonesia, melainkan bunyi /f/. Artinya, kata Belanda Java itu, kalau di-Indonesiakan bunyinya seperti Yafa. Jelas kurang kena.
Adanya gejala yang terakhir ini menimbulkan berbagai kecanggungan dalam pencatatan nama-nama asing yang mengandung huruf v dalam bahasa asal, yang mestinya dialihkan menjadi w dalam bahasa Indonesia, tetapi dipertahankan v (yang lafalnya seperti f), dengan beberapa perkecualian saja (misalnya Jeniwa). Bahkan beberapa nama yang mula-mula ditulis dengan w kemudian ditulis dengan v (Volga, Vladivostok, Slovakia). Yang agak canggung didengarkan itu misalnya Venesuela /fenesuela/, Vietnam /fiEtnam/, dll., walaupun akan jauh lebih mirip pada asli kalau di-Indonesiakan /wenesuela/ dan /wietnam/.
Jadi, khusus dalam hal Java / Jawa, saya pribadi tidak merasa suatu keanehan kalau dalam bahasa-bahasa asing yang memakai huruf v yang dilafal /v/ atau /b/ atau /w/ atau sesuatu yang mirip dengan itu lalu menulis Java. Mungkin kita bisa mempertanyakan apakah tulisan tersebut tepat dalam bahasa Belanda yang dalam dialeknya yang paling terkemuka cenderung melafalkan v itu /f/. Tetapi lalu saya melihat bahwa kecenderungan dalam ejaan Belanda itu yalah kembali dari w ke v. Misalnya, kalau dalam ensiklopedi Winkler Prins edisi ke-6 (1947-1954) ditulis Wladiwostok, maka dalam edisi ke-8 (1979-1984) ditulis Vladivostok.
(3) Dalam hal Borneo / Kalimantan, masalahnya sesungguhnya sangat sederhana: nama aslinya Kalimantan, sedangkan nama Borneo itu berasal dari salah kaprah musafir Eropa yang menyangka Kesultanan Berunai dalam abad ke-16 menguasai seluruh pulau itu sehingga nama kesultanan yang dialihkan jadi Borneo lafalnya itu dianggap nama seluruh pulau. Tetapi kemudian ada sedikit komplikasi akibat peristiwa konfrontasi Indonesia/Inggeris-Malaysia permulaan tahun 1960-an kemarin, akhirnya timbul anggapan, bahwa nama pulaunya Borneo, sedangkan nama bagian Indonesianya Kalimantan.
Letak persoalan sesungguhnya sudah pernah dikabarkan oleh J. Hunt dalam satu laporan berjudul
Sketch of Borneo, or Pulo Kalamantan
yang diserahkan pada tahun 1812 kepada Thomas Stamford Raffles, dan pernah dipublikasi dalam lampiran II terbitan:
Henry Keppel, 1846, The Expedition to Borneo of H.M.S. Dido for the Suppression of Piracy, vol. 2. London: Chapman & Hall (lih. sana hlm. xvii).
yang bisa saya kutip sbb.:
<<The natives and the Malays, formerly, and even at this day, call this large island by the exclusive name of Kalamantan, from a sour and indigenous fruit so called. Borneo was the name only of a city, the capital of one of the three distinct kingdoms on the island. When Magalhaens visited it in the year 1520, he saw a rich and populous city, a luxuriant and fertile country, a powerful prince, and a magnificent court: hence the Spaniards hastily concluded that the whole island, not only belonged to this prince, but that it was likewise named Borneo.>>
Keterangan ini mengandung beberapa kekeliruan, yaitu (a) yang berbuah kecut itu bukan pohon setempat yang bernama kalamantan, melainkan yang bernama berunai; (b) waktu ekspedisi pelayaran kitar bumi yang dipimpin oleh Magellan mencapai Berunai, beliau sendiri sudah mati, karena tewas dalam pertempuran dengan orang Sugbu (Cebuano) di Filipina, sedangkan yang melaporkan kedatangan di Berunai itu Anthonio Pigafetta yang menulis buku harian (di mana nama kesultanan ditulis Burné). Tetapi keterangan utama mengenai penamaan pulau itu tepat.
Kalau saya tidak salah ingat, keterangan tentang nama Kalimantan sebagai nama asli seluruh pulau terdapat juga dalam buku harian Raja Brookes, tapi belum sempat saya mencarinya. Dalam beberapa peta Atlas karangan ahli Belanda untuk sekolah berbahasa Melayu dalam abad ke-19, pulau yang bersangkutan juga dinamakan Kalimantan. Dan, kalau saya juga tidak salah ingat, ada publikasi Gabriel Ferrand dalam bahasa Perancis pada awal abad ke-20 ini yang juga menyebut Kalimantan sebagai nama asli seluruh pulau.
Nama Kalimantan itu rupanya sudah terdapat dalam sastra lama Melayu, yaitu misalnya, kalau tidak salah ingat, dalam Hikayat Hang Tuah.
Bagaimana terjadinya Borneo?
Dalam sejumlah bahasa Austronesia dalam kawasan yang mencakup Filipina, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatra, terdapat nama pohon yang berasal dari bentuk induk *BuRnei, misalnya
Cebuano bugnáy "jenis pohon, Antidesma bunius" Makassar bunne "jenis pohon, Antidesma sp." Sasak burne "jenis pohon, Antidesma bunius" Jawa wuni "jenis pohon, Antidesma bunius" Melayu buni "jenis pohon, Antidesma bunius"
Sesungguhnya, dalam bhs. Melayu seharusnya *burni, tapi pertemuan konsonan di tengah kata seperti rn ini kerap kali menyederhana menjadi n. Selain itu, dalam salah satu bahasa atau logat rupanya ada bentuk burnai yang kemudian dipinjam ke dalam bahasa Melayu, tetapi kumpulan konsonan di tengah itu tidak hilang, melainkan mengalami metatesis yang kemudian disertai epentesis, sehingga dari *burnai liwat *brunai terjadi berunai "jenis pohon, Antidesma meurocarpum".
Dari nama pohon inilah kiranya terjadi nama Kesultanan Berunai itu (sekarang lebih lazim diejakan Brunei). Adapun, mengingat nama yang kita kenal ini pernah mengalami metatesis, bisa dibayangkan bahwa nama itu pernah ada juga yang menyebutnya burnai. Khususnya, dalam satu sumber bahasa Arab nama itu kabarnya tercantum sebagai bornay. Adapun mengingat bahwa tulisan Arab jarang menyertakan tanda-tanda noktah (yang menunjuk bunyi vokal) maka mungkin juga pernah terjadi pertukaran tempat vokal itu antara brunay, burunay, burnay, dsb. (lihat Gabriel Ferrand, 1913, Relations de voyages et textes géographiques arabes, persans et turks relatifs a l'Extrême-Orient du VIIIe au XVIIIe siècles, tome I. Paris: Leroux [lihat sana hlm. 661]).
Mengingat bahasa Melayu pun waktu itu memakai surat Jawi (yang berdasarkan abjad Arab) maka tidaklah mustahil kalau musafir Eropa dulu, kalau mendapatkan keterangannya dari sumber tertulis, mudah mempertukarkan tempat bunyi vokal. (perlu diingat bahwa pada akhir Abad Pertengahan dan permulaan Renaissance, kepandaian membaca huruf Arab di kalangan terpelajar di Eropa cukup tersebar luas). Salah satu sumber Eropa yang paling tua adalah memuar berbahasa Italia seorang musafir bernama Ludovico di Varthema, yang pernah mengunjungi Indonesia pada tahun 1505:
<<Arrivati che fossemo nella insula Bornei, la qual e` distante da Monoch circa CC miglia, ...>>
artinya: "Setelah kami tiba di pulau Bornei, yang jaraknya dari Monoch itu sekitar 200 mil, ..."
Ini kiranya mil laut yang panjangnya pada jaman itu saya kurang tahu, dan bukan mil darat yang kita kenal yang 1.6 km.
Yang dimaksud dengan Monoch itu ialah yang dalam Nagarakrtagama karangan Prapanca dinamakan Maloko, dalam sumber-sumber Arab seperti misalnya Ibn Batuta dinamakan Muluk, dan dalam sumber Portugis seperti Duarte Barbosa dan Gaspar Correa, dan begitu pun dalam buku harian Anthonio Pigafetta yang berbahasa Perancis lama, dinamakan Maluco, yaitu kelima pulau cengkeh:Sumber-sumber Eropa lebih lanjut dalam abad ke-16 menunjukkan ejaan sebagai berikut:
Bacan, Makian, Mutir, Ternate dan Tidore. Nama ini, yang dalam bahasa Belanda menjadi Molukken, dalam masa administrasi kolonial Belanda diperlebar artinya sampai mencakup semua pulau-pulau antara Sulawesi dan Irian, dan pengertian inilah yang tercermin dalam pemakaian nama Maluku dalam bahasa Indonesia sekarang
Burné (Pigafetta)Dari ini gamblanglah riwayatnya perkembangan dari nama Berunai menjadi Borneo itu.
Bornei (Barbosa)
Borneo (Correa).
(4)Dalam diskusi Java/Jawa yang dipelopori oleh Bung J****, agak menarik bagi saya antara lain masalah penerjemahan istilah-istilah Inggeris seperti UK, GB, England/English dst. dalam bahasa Indonesia.
Sampai sekarang, sering dapat kita lihat Great Britain diIndonesiakan jadi Inggeris Raya, yang jelas kurang tuntas. Alangkah baiknya kalau dibenarkan menjadi Britania Raya yang sudah lama terdapat dalam bahasa Indonesia. Lain halnya denga United Kingdom, yang sayangnya kurang begitu sering kita temukan terjemahan tepatnya, yaitu Kerajaan Serikat.
Semalam saya mengebrowse sedikit di buku-buku dan catatan-catan lama, dan bisa mengemukakan pokok-pokok berikut untuk mengikuti sejarah penanganan soal ini dalam bahasa Indonesia:
(a) Dalam cuplikan dari naskah "Encyklopaedie Melajoe" yang sedang dikarang oleh Adinegoro pada tahun 1927, terdapat pokok berikut (ini masih pakai ejaan lama):<<British Empire. ... Kerajaan Brittania, terbagi atas I. Groot Brittanië dan Ierland Oetara, poelau-poelau diselat Calais dan poelau Man. II. Iersche Vrijstaat, India dan Dominions koloniën, protectoraten dan onderhoorigheden. ....>>
Ini masih banyak Hollands-sprekennya, tapi menarik karena rupanya pertama kali memakai kata Britania, tetapi dengan huruf t ganda sesuai ejaan Belanda. Adapun yang dimaksud dengan Kerajaan Brittania disini bukan Britania Raya, melainkan the British Empire bersama segala jajahan dan dominionnya dst.
(b) Adinegoro, Adam Bachtiar, W.F. Heinemeyer, J.E. Romein, Sutopo, 1952, Atlas Semesta Dunia. Djakarta: Djambatan.
Dalam peta "Eropah - menurut Kenegaraannja" pada hlm. 204-205, wilayah UK yang diwarnai merah jambu dibubuhi nama Britania Raja (dalam ejaan waktu itu, j itu dibaca seperti y sekarang). Wilayah apa yang sekarang biasa kita namakan Irlandia (berasal dari bahasa Belanda) berwarna hijau dan diberi keterangan nama Eire (sesuai asli bahasa Irlandia).
Sungguh mengesankan, bahwa terbitan atlas baku yang pertama untuk pelajaran ilmu bumi di sekolah dan untuk pengetahuan umum sejak Republik Indonesia bisa agak hidup damai ini, taraf "politically correct"-nya jauh lebih tinggi daripada rata-rata pemakaian umum di kemudian hari!
Sayang sekali, dalam pemakaian umum, keterangan tuntas dari Atlas baku ini kurang diperhatikan, dan makin umumlah penggunaan istilah kurang tepat Inggeris Raya untuk menyebut Britania Raya. Keadan dalam pemakaian bahasa yang meluas ini tercermin misalnya di:
(c) 1973, Ensiklopedi Umum, redaksi dbp. A.G. Pronggodigdo, penjelesaian dbp. Hassan Shadily. Jogjakarta: Jajasan Kanisius.
Juga masih dengan ejaan yang menggunakan j pada tempat y ejaan sekarang. Pada hlm. 566 terdapat keterangan:
<<Inggeris, kesatuan politik terbesar di Inggeris Raja di Kepulauan Inggeris....>>
Jadi, Britania Raya dinamakan Inggeris Raja (dengan ejaan dulu), dan Kepulauan Britania (British Isles) dinamakan Kepulauan Inggeris.
(d) Hassan Shadilly (pimpinan red.), 1980, Ensiklopedi Indonesia, jilid I (A-Cer). Jakarta: Ichtiar Baru - van Hoeve.<<Britania Raya (Great Britain), Kep. Inggeris, tidak termasuk Irlandia Utara. Mencakup pulau-pulau kecil: Shetland, Orkaden, Hebriden, Man, Wight dan pulau-pulau Normandia (di Sel. Channel). ...>>
Keterangan yang dikutip dari hlm. 520 ini cuma mengandung satu ciri positif, yaitu nama Britania Raya. Sayang sekali, sisanya tidak ada yang beres (yang mestinya tidak termasuk itu bukan Irlandia Utara, melainkan Republik Irlandia; Kep. Orkney itu kok jadi Orkaden yang, seperti juga halnya Kep. Hebrides, kok dibubuhi akhiran bentuk-jamak dari bahasa Belanda; selain itu tak jelas mana pulau, mana kepulauan; Kepulauan Channel anehnya mendjadi pulau-pulau Normandia). Alangkah lebih tepatnya keterangan Adinegoro dari tahun 1927 itu, yang cuma menyebut Pulau Man dan pulau-pulau di Selat, karena hanya ini ini sajalah yang berstatus mandiri, artinya tidak serta dalam wilayah Inggeris, Skotlandia, Wales, atau Irlandia Utara. Ini sangat sayang sekali karena Ensiklopedi Indonesia ini merupakan terbitan yang sangat penting bagi pendidikan umum, dan mengandung pekerjaan banyak orang yang berusungguh-sungguh.
Menurut hemat saya, alangkah baiknya, kalau tidak saja GB diIndonesiakan menjadai Britania Raya, tetapi British Isles juga dialihkan menjadi Kepulauan Britania. Kemudian, alangkah baiknya kalau kita juga membiasakan diri mengalihkan UK dengan Kerajaan Serikat, atau sekurang-kurangnya mencantumkan nama negara selengkapnya dalam buku pelajaran ilmu bumi, ensiklopedi, dan peta atlas, yaitu Kerajaan Serikat Britania Raya dan Irlandia Utara.
Akhirnya, mungkin menarik pertanyaan kenapa England pun disebut Inggeris, dan bukan *Englan, atau *Englandia, dsb. Rupanya dalam waktu lampau terjadi kebiasaan membakukan kata sifat asing sebagai nama negeri yang biasa didahului dengan kata negeri atau tanah. Ini tidak selalu demikian. Misalnya pada abad ke-16 dan bahkan sebelum itu pun, sering nama negeri asing yang diambil dari bahasa Arab atau bahasa Parsi itu bentuk nominal dan bentuk atributif tetap pisah, misalnya: Rum - Rumi, Korasan - Korasani, Kabul - Kebuli, Surat - Surati. Khusus dalam hal nama negeri Inggeris yang diambil dari bahasa Portugis, dalam satu surat keterangan berbahasa Melayu yang diberi oleh Sultan Aceh kepada seorang saudagar Inggeris kira-kira pada tahun 1612, ada dibedakan antara Inglitir (Portugis Ingliterra) dan Inggeris (Portugis Inglês).
Dalam waktu sekarang, selain Roma/Romawi dan Arabia/Arab, yang agak mirip dengan pembedaan bentuk nominal/atributif itu yalah pada tahun-tahun 1950-an Tiongkok/Tionghoa, dan sejak awal 1960-an Nederland/Belanda (sesungguhnya, Belanda asalnya bentuk atributif daripada Holland, yaitu dari Portugis Hollanda). Mungkin dapat dijadikan buah pikiran, apakah tidak ada baiknya mensistematikkan pembedaan kedua bentuk demikian ini dalam bahasa Indonesia.