Teman-teman,
saya turut menyambut hangat gairah teman-teman mengecam aksi-aksi
teror, khusus yang dilakukan oleh gerombolan pseudo-Islam yang
menggunakan kedok agama untuk memperdaya bagian rakyat yang tidak
sempat bersekolah yang memadai. Sungguhpun demikian, saya pikir
tidak seyogyanya meninggalkan asas kehukuman dalam tatanan demokrasi,
yaitu yang menuntut adanya bukti nyata untuk setiap dakwaan kongkrit.
Salah-salah, kalau lantaran kecerobohan kita ini malah menghukum
orang yang bukan pelaku sebenarnya -- biarpun betapa negatifnya
penampilan oknum bersangkutan itu di mata kita -- tetap saja akan
berarti bahwa kita "membantu" penjahat yang sebenarnya untuk lolos,
dan dengan demikian kita menyalahi para korban serta sanak-saudaranya.
Ada dua gejala yang agak mengkhawatirkan saya pada saat ini:
- peledakan bom di Bali tidak disertai bunuh-diri si pembom
yang menganggap diri "korban syahid"; dan
- tidak ada pernyataan pengakuan dari organisator pemboman,
sebagaimana semestinya jikalau mereka memaksudkan pemboman
itu sebagai "pelajaran" bagi khalayak ramai berkenaan
dengan lokalitas hiburan yang mereka anggap tidak senonoh.
Gelagatnya, ini bukan perbuatan orang yang dikenai brainwashing
sekte keagamaan fundamentalis untuk mengira dirinya melakukan
perbuatan yang penuh amal suci, melainkan lebih menunjuk kepada
perbuatan orang yang sadar dirinya melakukan tindakan pidana
sehingga berupaya menyembunyikan identitas dirinya, malah
mengharapkan pihak lain kena curiga.
Yang demikian di Indonesia sudah cukup banyak contohnya: pembunuhan
misterius, penculikan/hilang misterius, pembunuhan mahasiswa Trisakti,
pemerkosaan perempuan turunan Tionghoa, dan banyak lagi yang lain.
Yang terbaru: penembakan misterius tiga orang di Timika kemarin ini.
Yang lebih aneh lagi: setelah begitu telaten mengatur bom sebesar
itu meledak ditempat tertentu, kok malah menjatuhkan surat kartu
penduduk supaya mudah ketahuan....
Tapi terlepas dari apakah benar tindakan teroris di Bali itu
pekerjaan al-Kaida/gerombolan pseudo-Islam pribumi, ataukah
tindakan teroris pihak lain, maka perhatian umum terhadap gerombolan
pseudo-Islam yang ekstremis itu telah juga berkonsekuensi positif.
Yang paling menggembirakan, NU dan Muhammadiah makin menyadari
keperluan menggalang persatuan umat Islam Indonesia, untuk bersama-sama
menghadapi bahaya penyelewengan ajaran agama oleh oknum luar,
jangan sampai menjadi korban rongrongan "divide et impera" vested
interest asing.
|
|
> Dalam seminar "Arab dan Islam di Indonesia Dewasa Ini"
> yang diselengarakan PP Muhammadiyah padahari Rabu
> 9 Oktober 2002 , pimpinan NU dan Muhammadiyah
> menyatakan kekuatirannya akan aksi-aksi radikalisme
> Islam yang dipimpin oleh para WNI keturunan Arab di
> Indonesia , .................. |
Sungguhpun demikian, kita harus juga hati-hati. Sebagaimana tidak
benarnya kalau kemarin memojokkan kawan setanah-air yang turunan
Tionghoa untuk dikambing-hitamkan gara-gara kesulitan ekonomi, maka
begitupun tidak boleh menganaktirikan kawan setanah-air yang
keturunan Arab. Yang perlu menjadi sasaran itu bukkan warna kulit
atau ciri etnik apapun lainnya, melainkan pokok masalah yang
bersangkutan: dalam hal ini fundamentalisme agama, dan penyalah-
gunaan agama untuk melakukan teror.
|
|
> Kalau melihat sejarah pergerakan Islam di Indonesia , komunitas
> warga Arab sejak lama memang menganut sikap eksklusivme
> yang berlebihan , mereka menganggap ras mereka lebih unggul |
Boleh jadi. Tapi yang demikian ada juga di kalangan Indo, turunan
Tionghoa, dan lain-lain, termasuk juga sementara lingkungan ningrat
pribumi. Maklum, pada zaman penjajahan mereka diberi status lebih
"tinggi" ketimbang penduduk bumiputera. Tidak berarti bahwa itu baik,
atau tidak perlu diungkit-ungkit. Tapi dapat dimengerti pangkal-
mulanya, dan perlu ditanggulangi dengan jalan yang waras, bukan dengan
antagonisasi segenap kelompok etnik itu.
Memang dalam kenyataan, pada tahun-tahun 1930-an dan bahkan lebih
dulu dari itupun, ada juga gerakan dari kelompok-kelompok etnik itu,
baik yang Indo atau turunan Tionghoa, begitupun yang turunan Arab,
yang konsekuen menyokong dan bahkan bersatu dengan gerakan
kemerdekaan nasional.
Lepas dari itu, pada periode yang sama itupun ada lapisan turunan
Arab cukup luas yang bercitra rohani amat liberal dan modernistis,
samasekali berkebalikan dengan sikap-sikap fundamentalis Islam
yang di-klisye-kan.
Satu contoh, dalam suratkabar "Alyaum", terbit di Surabaya pada tahun
1936, yang langganannya terutama orang turunan Arab di kota tersebut,
ada muatan sebagai berikut:
<< |
Ville Lumière... im groszen und ganzen... Groszstadt Soerabaja... moehoen toeroet bernjanji
symphonie dari kota kota doenia. Sebetoel djoega, Soerabaja jang sanggoep menoendjoekkan
export jang besar, selajaknja pretendeert, mengakoei diri sebagai satoe metropool. Grootstad idee...
Kota kampioen dari king voetbal, bolwerk poesat pergerakan Priboemi. Kota dagang wahid...
Soerabaja, baanbreekster dalam segala galanja. Cumulatie dari segala misdaden poela. Soerabaja,
Wein, Weib und Liebe, und der Stadt Heirateten.>>
[sumber: Kwee Kek Beng, "Westersche invloeden op het Maleisch",
Koloniale Studiën 20 (1936), 89109]
| |
Nah. Tidak cocok, kan, kalau diukur dengan klisyee "sepuluh-duabelas",
"Hadramaut", apalagi "fundamentalis"? Padahal itu tahun 1936!!
Dan ini tulisan dalam satu suratkabar, artinya bukan gejala terpencil
satu oknum ganjil sendiri.....
Memang bahaya yang didatangkan oleh oknum-oknum yang menyusup masuk
dari luarnegeri itu sangat akut. Akibat krisis ekonomi, rakyat banyak
yang miskin. Oleh politikus tertentu yang pribumi saja pun mudah
dimanipulasi untuk jadi tenaga demonstrasi bayaran untuk setiap keperluan.
Apalagi kalau ada pendatang dari Timur Dekat dengan membawa modal uang
lebih besar lagi. Lepas dari itu, rakyat yang bingung di tengah kemelut
bertahun-tahun ini mudah juga dimanipulasi secara ideologis, sehingga
macam-macam petualang berkedok "agama" mudah melakukan gerpolnya.
Maka melawannya pun harus dengan kongkrit menunjuk kepada ciri-ciri
kongkrit, khususnya pemakaian bentuk-bentuk fundamentalisme agama untuk
menghasut orang melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Jangan kita
buat pencirian yang lebih merata yang mengenai kelompok etnik luas,
karena berarti memperbanyak jumlah musuh, mengurangi jumlah sahabat.
Jangan sampai ada kawan setanah-air didiskriminasi gara-gara dianggap
punya tampang Arab....
Salam, Waruno
Index
|