These are two inputs to Bahtera List <bahtera@egroups.com> from August 14 & 15, 1999. Mounted here Nov. 22, 1999 ________________________________________________
Date: Sat, 14 Aug 1999 20:29:01 +0100 To: bahtera@egroups.com Subject: [BT] Re: Mayarakat Madani
Query from Sjamsir Sjarif (Sat, 14 Aug 1999 06:33:43 -0700 (PDT)) Apa sesungguhnya arti kata 'madani' dalam ungkapan 'masyarakat madani? |
Menyambung keterangan tepat dan lengkap dari Pak Bash (Sat, 14 Aug 1999 21:57:01 +0800):
Asosiasi pengertian "bersantun, berbudaya" dengan "kota" itu sangat tersebar luas.
Perancis bourgeois, Belanda burgerlijk, Jerman bürgerlich itu pun berasal pada kata burg yang berarti kota, perkotaan. Kata derivasi tersebut dalam ketiga bahasa ini sekaligus menunjuk kepada klas menengah (middle class) semua. Selain itu, sejak pertangahan abad ke-19, pengertian gutbürgerlich dalam B.Jerman ini kira-kira sama seperti istilah orang baik-baik dalam bahasa Melayu kemarin (bandingkan juga orangkaya).
Kata-kata Inggeris civil, civic, civilized, civilization itu semua berkaitan dengan kata Latin civitas yang merupakan asal kata Spanyol ciudad, Perancis cité, Inggeris city (pinjaman dari bhs Perancis) yang berarti "kota".
Query from Sjamsir Sjarif (Sat, 14 Aug 1999 09:15:18 -0700 (PDT))..... Kalau begitu barangkali idealisasi dari Masyarakat Medinah di waktu Nabi Muhammad s.a.w. ya? |
Saya pikir, hubungan antara pengertian "beradab, bersantun" dengan pengertian "kota" itu sangat umum, dan adanya kota yang bernama "kota" (Madinah) itu mungkin kebetulan. Ini lebih-lebih laga karena pada period "Klasik" atau Jaman Emasnya kebudayaan Islam/Arab, yaitu periode Kalifat, yang paling terkenal sebagai pusat-pusat kebudayaan yang halus dan tinggi itu malah kota-kota seperti Baghdad, Kordoba, dll., sedangkan Madinah kurang sering disebut.
Salam, Waruno
Date: Sun, 15 Aug 1999 19:14:57 +0100 To: bahtera@egroups.com Subject: [BT] Re: Mayarakat Madani- versi Indoesia & ...II
Response from Rochayah Machali (Sun, 15 Aug 1999 16:54:37 +1000)Istilah 'resmi'nya memang baru, meskipun mungkin konsepnya tidak. Mula-mula istilah itu dimaksudkan sebagai pengganti istilah 'masyarakat sipil' yang merupakan padanan 'civil society' dalam bahasa Inggris. Dalam banyak konteks di era Orde Baru, istilah 'masyarakat sipil' seringkali dikontraskan dengan ABRI dalam konteks ABRI-Sipil (mungkin disengaja oleh pihak tertentu!!!). Maka, dicarilah padanan 'civil society' itu dengan paradigma makna yang agak berbeda, dan dipakailah 'istilah baru' - masyarakat madani.
..... |
Saya pikir, kalau kita lihat dari segi sosiologi, pengertian "madani" dan "masjarakat madani" ini ikatannya dengan pengertian "kota" itu terutama disebabkan karena pengertian tersebut pertama itu berikatan erat dengan klas menengah, sedangkan klas menengah itu tipikalnya memang penghuni kota.
Tapi sebelum masuk soal sosiologi itu, masih ada satu salah kaprah linguistik yang mungkin perlu kita soroti lebih dulu, yaitu aposisi pengertian "civil society" dengan hegemoni ABRI dalam politik. Hal ini tampaknya terjadi karena terburu-buru menerjemahkan civil society dengan masyarakat sipil.
Boleh jadi, salah kaprah itu tidak sepenuhnya kebetulan, karena munculnya pada saat orang di satu pihak agak sebal dengan kekuasaan militer yang dirasakannya berlebih-lebihan, di lain pihak masih kurang aman untuk menyatakan hal itu secara terbuka. Dengan mempertukarkan "bersantun/beradab" dengan "sipil",* tersindirlah suatu penyamaan "militer" dengan "kurang beradab" yang tentu tak berani dinyatakan secara terbuka (apalagi waktu itu)? Bagaimana pun juga, waktu itu memang ada isu bahwa memenangkan "masyarakat madani" itu mau tak mau harus dengan menghadapi barisan-barisan militer.
Secara historis, lawan "masyarakat madani" itu "masyarakat feodal", hal mana dihayati oleh perjuangan untuk memenangkan supremasi klas menengah, pengganti supremasi lapisan ningrat. Tetapi, mengingat asal usul lapisan ningrat, yaitu dari "pembagian tugas" sosial antara "pertahanan" (ningrat) dan "produksi/penggarapan tanah" (tani), maka ada kaitan hakiki antara pengertian "ningrat/bangsawan" dan pengertian "bersendjata/militer" (bandingkan "Ksatrya" dan "Waisya" dalam masyarakat Hindu).
Alhasil, "salah kaprah" tersebut diatas bukan satu kesalahan mutlak atau 100%, sebagaimana halnya juga tidak sepenuhnya kebetulan bahwa istilah civil dan civilian dalam B.Ing. itu akarnya sama :-)
Kembali ke masalah sosiologi dan perwujudannya dalam perkembangan konkret di Indonesia: isu masyarakat madani itu satu isu klas menengah. Akibat langsung daripada pertumbuhan pesat ekonomi kawasan Pasifik, khusus juga di Indonesia, dalam dua dasawarsa menjelang "krismon", maka klas menengah di Indonesia berkembang amat pesat. Dan inilah yang menimbulkan ketimpangan dalam struktur politik. Walaupun cara pemerintahan otoriter gaya Orde Baru kemarin itu turut memungkinkan pertumbuhan ekonomi itu, tetapi kemunculan kesadaran baru klas menengah ini merupakan penentang paling kuat dari segala bentuk pemerintahan otoriter.
Ciri-ciri khas daripada dampak politik klas menengah dimana-mana yalah menentang segala bentuk pemerintahan otoriter, cenderung mendahulukan kepentingan setempat/lokal/daerah dan kurang "hormat" kepada pemerintahan sentral/pusat. Jadi, pada penglihatan saya, pemerintahan Orde Baru gagal dan Pak Harto terpaksa lengser itu cuma sekadar karena tidak sempat menyesuaikan bentuk dan gaya pemerintahan dengan perubahan dalam struktur masyarakat, khususnya menonjolnya peran klas menengah. Tak kebetulan pula, munculnya isu "masyarakat madani" di Indonesia ini bertepatan dengan mulai unggulnya perlawanan klas menengah terhadap gaya pemerintahan otoriter Orde Baru.
Khusus mengenai hubungannya dengan kota dan prestasi PAN dalam pemilu. Struktur klas menengah Indonesia agak rumit, disebabkan oleh sejarahnya yang berabad-abad (sejak paling lambat abad ke-14) dan berliku-liku itu. Tradisi klas menengah yang paling lama di Indonesia ini dihayati dalam klas menengah pewaris kebudayaan Pesisiran. Dalam periode jajahan Belanda, dampak ekonominya tersisih dari bidang-bidang yang mula-mulanya dimonopoli oleh VOC, sehingga klas menengah tradisional Indonesian (Pesisiran) ini banyak juga bergerak didaerah pedesaan, artinya tidak sekadar terpusat pada kota.
Secara ilmiah umumnya sangat berbahaya untuk meletakkan tanda "samadengan" (=) antara lapisan masyarakat dengan organisasi masyarakat atau partai politik, jadi kalaupun ini dilakukan, perlu dicatat dulu bahwa penyamaan yang dimaksud itu hanya bersifat kasar-kasar, kira-kira, "garis besar". Dalam hal ini pencerminan politik daripada klas menengah Indonesia yang tradisional Pesisiran tersebut diatas itu pada garisbesarnya dalam penglihatan saya dapat kita identifikasi dengan gerakan NU dan partai politik PKB. Mengingat besarnya andil pesisiran Jawa dalam tradisi klas menengah ini, tak mengherankan juga PKB banyak mendapat suara di Pulau Jawa, termasuk juga di luar kota.
Sejak banting-stir ekonomi politik Belanda dengan undang-undang agraria tahun 1870, timbul tuntutan baru terhadap infrastruktur, yang mana menyebabkan juga perubahan yang menyolok dalam politik persekolahan, sehingga timbul lapisan klas menengah terpelajar pribumi gaya baru, yang mulai nyata dampak sosialnya sejak awal abad ke-20 ini. Mengingat artipenting "sekolah raja" (kweekschool) di Fort de Kock / /Bukittinggi itu, maka banyak juga andil orang Batak dan Minangkabaunya. Orang Minangkabau itu berkelebihan dengan sudah adanya tradisi perniagaan pesisiran di Padang (karena setelah Malaka diduduki Portugis, pelayaran dagang Islam terpaksa mengubengi Sumatra liwat Barat (maka majulah Aceh, Padang, Bengkulu, Banten). Tak kebetulan, bagian klas menengah baru yang beragama Islam ini banyak orang Minangkabaunya (orang Batak banyak beragama Kristen). Pada penglihatan saya, PAN (dan juga Muhammadiah pada umumnya) banyak mencerminkan klas menengah baru ini (dalam pengertian "garis besar" tadi). Ini memang lebih berpusat di kota, ketimbang klas menengah tradisi pesisiran tersebut semula. Itulah mungkin sebabnya kenapa PAN banyak mendapat suara di kota-kota, dan terutama lagi di propinsi Sumatra Barat. Kalau tak salah, lumayan juga hasilnya di propinsi Riau, hal mana mungkin mencerminkan hubungan khusus Sultan di Deli dengan administrasi kolonial, mengingat artipenting Riau Daratan untuk onderneming Eropa dulu (terutama penanaman tembakau), dan pencerminan hal itu dalam persekolahan orang pribumi.
Satu tradisi klas menengah lain lagi yang berakar sejarah cukup mendalam juga (seperti tradisi klas menengah tersebut pertama tadi), yalah klas menengah Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan pelayaran Makassar dan Bugis yang tetap hidup selama periode penjajahan, dan sampai sekarang. Mereka sekarang punya kedudukan khusus karena akhir 1980-an pemerintahan Orde Baru membuka peluang khusus untuk kelompok ini dalam struktur ekonomi dan politik yang dikuasainya. Pada waktu itu sudah dirasakan perlunya ada pembukaan tertentu kepada klas menengah, hanya saja kurang konsisten dan terbatas pada saluran "KKN" yang dalam hal Sulawesi Selatan mungkin dilicinkan oleh adanya putra angkat Pak Harto yang asal dari sana? Pendekkata, dampak politik sektor klas menengah ini pada penglihatan saya banyak bergerak dalam ICMI, dan partai Golkar dan PPP. Artinya, ini bagian klas menengah yang tampaknya malah cenderung akur dengan status quo (atau sekurang-kurangnya menginginkan perubahan itu "dari dalam/atas"). Hasil pemilu pun kira-kira menunjuk pada kedudukan demikian.
Selain itu masih ada lagi yang lain-lain, seperti klas menengah Aceh (cukup besar juga, tapi dampak ke luar daerah tidak seperti tiga yang tersebut tadi), Banjar, Tidore, dll.
Satu hal yang menarik, sebagaimana halnya di Eropa dulu, kebangkitan klas menengah melawan feodalisme itu berwujudkan perjuangan agama Protestan (melawan Katolik), maka kebangkitan klas menengah Indonesia, baik pada abad ke-15 dan 16 melawan feodalism Majapahit, begitupun sekarang waktu menentang pemerintahan otoriter Orde Baru, bergerak dengan pegangan idiel agama juga, yaitu agama Islam. Yang menarik, kalau kita bandingkan apa yang diisukan antara Protestan dan Katolik pada abad ke-15 itu, dan antara Islam dan Hindu pada zaman Majapahit, kesejajarannya banyak sekali. Dari itu mungkin dapat dimengerti adanya kebangkitan kembali kesadaran Islam dalam masyarakat Indonesia sejak dasawarsa 1980-an, yang bertepatan dengan pertumbuhan klas menengah hasil kemajuan ekonomi itu.
Masalah "masyarakat madani" dan klas menengah ini memang sangat rumit dan banyak seluk-beluknya. Maafkanlah ini sampai panjang begini dan agak menyimpang dari soal murni bahasa...... (sudah dengan sendirinya tidak menggharuskan siapa-siapa untuk sependapat).
Salam hari Minggu, Waruno
* | In the original, the word preman had been added here, but it's specific meaning in Indonesian makes its use here incorrect, as Trees Slamet kindly indicated to me (Mon, 16 Aug 1999 21:20:01 +0700) |