Tanggal: | | 4 juli 2017 |
Kepada: | | Facebook / Aboeprijadi Santoso (4 Juli 2017, 21:22) |
Perihal: | | IBUKOTA (Rafki Hidayat: "mengapa Palangkaraya selalu jadi primadona ibu kota baru?", BBC Indonesia, 4 Juli 2017) |
|
Pindah ibukota baik, tapi pindah ke Palangkaraya menurut saya kurang tepat, akan mirip dengan pmindahan ibukota ke Brasilia.
Daerah sekitarnya kurang terkembang, selain banyak hutan rusak untuk perkebunan kelapa sawit, artinya kurang cocok untuk
keperluan sandang-pangan.
Menurut saya, lokasi ibukota terbaik itu di Makassar. Selain itu kota pelabuhan, memang bersejarah menjadi pusat
perkapalan pedagang pribumi di masa bagian besar Indonesia dikuasai VOC dan bahkanpun setelah keruntuhan VOC.
Di daratan sekitarnya ada sawah dan tanaman bahan makanan lain. Kotanya memiliki infrastruktur bertradisi.
|
Tanggal: | | 4 Oktober 2016 |
Kepada: | | FaceBook / Bhatara Ibnu Reza (4 Oktober 2016, 07:56) |
Perihal: | | Kompas: PPP Usul Amandemen UUD 1945 Kembalikan Frasa Presiden ialah Orang Indonesia Asli
(Selasa, 4 Oktober 2016) |
|
> Memang ada orang Indonesia palsu?.
Penduduk asli Indonesia itu kiranya nenek-moyang orang Aborigen di Australia.
Penduduk asli di antara yang masih menetap di Indonesia itu orang Papua. Kemudian masih ada lagi
beberapa ombak pendatang, termasuk yang pernah disebut Negrito, dan Proto-Melayu, dll.
Yang kulit sawo-matang, yang juga parnah disebut Deutero-Melayu itu baru belakangan.
Setelah itu pun masih ada migrasi terus-menerus dari Asia Daratan: orang asal Tamil dari
India Selatan; kemudian orang asal Tiongkok sejak pembentukan permukiman-permukiman dekat
Palembang dll, termasuk yang mendirikan kesultanan Demak;
dan dari Iran (Farsi); dari Arabia (terutama Hadramaut); tak lupa pula orang Portugis yang
banyak keturunannya di berbagai daerah RI; kemudian apa yang dinamakan "orang Indo" (keturunan Belanda).
|
Tanggal: | | 27 Juni 2012 |
Kepada: | | GELORA45@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com, mimbar-bebas@yahoogroups.com |
Perihal: | | Re: Indonesia Tak Pernah Dijajah 350 Tahun oleh Belanda (KOMPAS.com, 20 Januari 2010) |
|
> Indonesia Tak Pernah Dijajah 350 Tahun oleh Belanda
> | hertanto | Rabu, 20 Januari 2010 | 09:18 WIB
>
> MEDAN, KOMPAS.com ˜ Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Prof Taufik Abdullah,
> mengatakan, Indonesia tidak pernah dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda
> selama 350 tahun.
>
> "Bangsa ini terlalu lama larut dalam mitos bahwa Indonesia pernah hidup di bawah
> kolonialisme Belanda selama 350 tahun. Ini tidak sesuai dengan fakta, yang terjadi
> justru Belanda memerlukan lebih dari 300 tahun untuk menaklukkan beberapa daerah di
> Hindia Belanda," katanya di Medan, Selasa (19/1/2010).
Teman-teman,
Syukurlah bahwa Prof. Taufik Abdullah memberi keterangan cekcak dan tepat ini.
Memang dalam diskusi mengenai masalah ini lama sekali terjadi macam-macam salah
kaprah dan pencampuradukan pengertian, yang garisbesarnya mempertukarkan perumusan
dengan data faktual.
Pertama, apakah yang dimaksud dengan "dijajah"? Struktur kekuasaan kolonial pihak
Belanda di dalam batas wilayah Indonesia itu sejak 1602 (pendirian organisasi VOC)
sampai 1942 (penyerahan takbersyarat wilayah Hindia Belanda kepada Jepang) itu tidak
konstan, melainkan berubah-ubah. Sekiranya itu direken "satu penjajahan" sajapun,
lamanya tidak 350, melainkan maksimal sekadar 340 tahun. Bahkan bagi mereka yang mau
hitung sampai 1949 (upacara "perpindahan kedaulatan"), seluruhnya menjadi 347 tahun
(inklusif "jendela" 1942-1945 masa pendudukan Jepang dan 1945-1946 pendudukan Inggeris
menjelang pendaratan pertama tentara Belanda: seluruhnya 4 tahun).
Namun, tahun-tahun pertama aktivitas VOC di Indonesia itu sekadar membuka kantor-kantor
dagang di Banten dan Jayakarta oleh Pieter Both yang kemudian tercatat sebagai gubernur
jenderal pertama (dari tahun 1610 sampai 1614) dengan bertempat duduk sejak 1611 di
Ambon, di bekas benteng Portugis yang direbut Belanda pada tahun 1605. Maka dengan
menghitung dari benteng Belanda di Ambon ini, adanya sekelumit tanah di Indonesia
"dijajah" dan/atau "diduduki" dari 1605 sampai dengan 1949 itu memenuhi periode 344
tahun (inklusif "jendela" 4 tahun tersebut di atas).
Adapun, kekuasaan VOC di sebagian besar wilayah yang kemudian sempat mereka kuasai itu
biasanya sekadar memaksa raja setempat mengakui VOC sebagai gustinya. Artinya sistem
kekuasaan setempat itu tetap di bawah raja pribumi yang terutama diwajibkan membayar
upeti kepada VOC, terutama berbentuk rempah-rempah. Artinya, wilayah-wilayah ini, yang
merupakan sebagian kecil saja dari batas wilayah Indonesia sekarang, itu walaupun secara
politis tunduk, tetapi tidak dapat dikatakan "dijajah". Sedangkan yang benar dijajah itu
sekadar beberapa kelumit wilayah tempat aparat VOC langsung berkuasa, yaitu di Ambon dan
Banda, kemudian Betawi, Kupang, Menado, dan Semarang. Situasi ini berlangsung sampai
pelunasan VOC pada tahun 1799, artinya selama 194 tahun (dihitung dari 1605).
Setelah VOC dibubarkan, rezim kekuasaan kolonial di dalam batas wilayah Indonesia
mengalami periode peralihan, dari penguasaan taklangsung melalui raja pribumi setempat,
menjadi penguasaan dan adminisrasi teritorial secara langsung. Periode peralihan atau transisi ini
mencakup beberapa tahap. Yang pertama, dengan didudukinya Nederland oleh Napoleon
Bonaparte pada tahun 1795, di wilayah tersebut didirikan semacam "negara boneka"
Perancis bernama Republik Batafs. Dalam pada itu pemerintah Belanda semula yang kalah
kepada Perancis itu sempat menyerahkan segenap daerah yang dikuasai Belanda dalam
batas-batas wilaya Indonesia kepada negeri Inggeris pada tahun 1795.
Maka "Republik Batafs" yang baru di Nederland itu mengangkat Daendels yang diberi
pangkat marsekal untuk menjadi gubernur jenderal di Indonesia. Setiba di Pulau Jawa,
Marsekal Daendels ini berhasil merebut kekeuasaan dari pihak Inggeris di beberapa
daerah, dan menjadi gubernur jenderal dari tahun 1808 sampai 1811. Maka antara 1795
dengan 1808 ada juga satu "jendela" kekuasaan formal negeri Inggeris Inggeris selama
13 tahun. Pada tahun 1811, kekuasaan bersama Belanda-Perancis dibawah pimpinan Marsekal
Daendels itu berakhir dengan direbutnya kekuasaan oleh Inggeris dbp. Raffles yang
diangkat jadi gubernur sampai tahun 1815. Terjadi satu lagi "jendela" 3 tahun, sampai
kekuasaan dikembalkan oleh pihak Inggeris kepada pihak Nederland.
Pada tahun 1848, Nederland maandapat undang-undang dasar baru yang liberal, yang membuat
negara tsb. menjadi kerajaan konstitusional dengan pemerintah yang bertanggungjawab kepada
parlemen. Akibatnya untuk Indonesia yalah, bahwa bagian wilayah yang dikuasai baik secara
langsung, maupun secara taklangsung itu menjadi tercakup dalam satu sistim administrasi
manunggal.
Bersamaan dengan itu, ekonomi di wilayah yang dikuasai Belanda itu mengalami perubahan
sistim ekonomi, terutama berkat penanaman kapital pribadi Eropa di bidang perkebunan,
pertambangan, dan alat transpor bermotor (mesin uap). Jadi baru benar-benar dari sekitar
tahun 1850 itulah, bagian wilayah Indonesia yang dikuasai Belanda itu dapat dikatakan
benar-benar menjadi "jajahan", artinya tidak lagi sekadar beberapa kelumitnya saja.
Bersama itu pun, Nederland berupaya menduduki sisa wilayah yang belum dikuasainya,
sehingga akhirnya berperang dengan Aceh dan Bali. Kerajaan Bali akhirnya takluk pada
tahun 1906. Di Aceh yang dinyatakan berhasil ditaklukkan pada tahun 1903 itu, dalam
kenyataan masih terus terjadi perlawanan bersenjata, yang baru dianggap "ditanggulangi"
sekitar tahun 1914, sungguhpun antara 1920 dan 1930 masih kerap terjadi aksi gerilya.
Dengan jatuhnya Aceh itulah, maka baru wilayah Indonesia dapat dikatakan "dijajah"
oleh Belanda. Sebelum itu sebagiannya saja, yang sebelum 1850 itu sebagian yang
kecil, sebelum 1795 bahkan sekadar beberapa kelumitnya saja.
Namun, kalau kita hitung dari pengakhiran sisa aparat pribumi Aceh pada tahun 1903
itu saja pun, maka periode Indonesia dalam batas wilayah selengkapnya dijajah itu dari
1903 sampai 1942 (setelah itu tidak seluruh Indonesia yang diduduki) itu panjangnya
tak lebih dari 39 tahun!!
Jadi dari "350 tahun" yang dianggap orang, ataupun dari 344 tahun tersebut diatas,
sisa 344-39=305 tahun itu sekadar berusaha menaklukkan, artinya, tepat sekali
pernyataan Pak Taufik Abdullah, bahwa "Belanda memerlukan lebih dari 300 tahun untuk
menaklukkan beberapa daerah di Hindia Belanda".
Sekian beberapa catatan saya mengenai masalah ini, sambil tak lupa angkat topi kepada
Pak Taufik Abdullah.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 7 Desember 2008 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Adam Malik, CIA, Kathy Kadane (Tossi20, 6 Des. 2010) |
|
Saya pikir, tidak senonoh kita mengarang teori macam-macam yang
menjatuhkan martabat orang yang notabene sudah almarhum dan tidak
bisa membela diri, hanya berdasarkan indikasi tak langsung.
Selama dasawarsa 1950-an, saya sebagai anak diplomat Indonesia
di luarnegeri cukup sering menyaksikan, bagaimana berfungsinya
jaringan pengumpulan informasi intel, dan setelah itupun (bagian
pertama 1960-an) sempat mendapatkan kesan-kesan bahwa keadaannya
tetap seperti itu.
Selain gossip basa-basi dan intrik-mengintrik, terutama pada
"cocktail parties" yang silih berganti di kedutaan ini dan itu,
dan terutama lagi di tempat tinggal pegawai-pegawainya, maka bagi
diplomat negeri berkembang masih ada satu sistem yang khusus:
Perlu dimengerti bahwa negeri-negeri berkembang itu tidak punya
fasilitas lengkap seperti negara-negara adikuasa untuk membangun
jaringan intel yang meliputi seluruh dunia dengan menyelusupi
setiap pelosoknya. Sebagai imbangannya, mereka menjadi barang
rebutan negara-negara adikuasa yang berusaha menarik hati mereka.
Salah satu perwujudannya ialah briefing-briefing intel oleh pegawai
kedutaan negara adikuasa kepada diplomat-diplomat negeri berkembang.
Saya ingat, selama bapak saya berkedudukan di Peking (Beijing),
1951-1954, rata-rata sebulan sekali ada pegawai KBRI Peking "dinas"
ke Hongkong untuk menerima "briefing" demikian itu, karena maklum,
di Peking tidak ada KB AS. Diplomat negeri berkembang lainpun juga
begitu (briefing dari sumber lain bisa di Peking, karena Uni Soviet,
Britania Raya, Perancis, dll punya hubungan diplomatik dengan RRT).
Sudah dengan sendirinya, dengan adanya sistem "penarikan hati"
diplomat negeri berkembang yang demikian itu, kita bisa maklum bahwa
bukan sekadar informasi intel saja yang "mengalir" ke mereka, tapi
pasti juga berbagai rupa "service" lain juga, apakah yang berupa
uang, barang, atau sex, itu biar terserah saja kepada daya fantasi
masing-masing.
Dengan demikian, hampir setiap diplomat negeri berkembang, termasuk
khususnya yang dari Indonesia, dapat kita duga-duga "dikendalikan"
oleh CIA (ataupun oleh KGB, dlsb.).
Khusus dalam periode penggulingan kepresidenan Sukarno oleh Soeharto
pada tahun 1966-1967, terdapat satu perkembangan tersendiri yang perlu
juga dicatat sehubung dengan persoalan ini. Baik pihak luas kaum agama
Islam maupun kaum intellektual waktu itu berhasil dipancing dengan
dalih "antikomunis" untuk mempersiapkan syarat-syarat seperlunya bagi
Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Bung Karno. Di daerah kota-kota,
khusus di Jakarta, barisan KAMI/KAPPI yang bagian besarnya anak-anak
kaum intelektual itu besar jasanya memparalisasi segenap kehidupan
politik sehingga akhirnya Soeharto dan TNI dapat menyingkirkan Bung
Karno bersama kabinet. Setelah itu, mereka tidak diperlukan lagi, dan
dipaksa tunduk kepada Soeharto/TNI. Yang tidak langsung tunduk itu
mendapat "pelajaran" pada peristiwa Malari.
Adam Malik pun ternyata peka untuk imingan "antikomunis"-nya Soeharto,
menyediakan diri untuk ikut dalam Orde Baru sebagai Menlu. Perlu
diterangkan,bahwa sebelum itu Adam Malik pernah dipercayai oleh
Bung Karno untuk memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan New
York, untuk mengembalikan Irian Barat (dan berhasil!).
Untuk turut dalam operasi anti-PKI, Adam Malik tidak perlu "disogok"
oleh CIA ataupun oleh siapapun juga. Tapi sekiranya CIA waktu itu
menyediakan modal untuk keperluan Adam Malik dalam rangka menjatuhan
PKI, itu kita tidak perlu heran. Kabarnya, TNI waktu itu juga mendapat
dari CIA daftar beberapa ribu nama orang PKI yang perlu "diselesaikan".
Dalam hal ini belum tentu, apakah Adam Malik yang disuap CIA untuk
menghancurkan PKI, ataukah CIA diperalat oleh Adam Malik untuk
melicinkan pengganyangan PKI. Sejak semula memang sudah anti-PKI.
Yang masih perlu ditagih rekeningnya dari Adam Malik, sungguhpun sudah
almarhum, itu bukan cuma pembalikan dari Bung Karno yang sebelum itu
tak henti-henti diakuinya sebagai "Pemimpin Besar Revolusi" (Soeharto
sendiri pun memungkiri sumpah setia kepada panglima tertingginya!).
Serta-merta menjadi menteri luarnegeri, Adam Malik membubarkan sekolah
diplomat yang didirikan oleh Haji Agus Salim dulu, yang telah mendidik
diplomat-diplomat Indonesia untuk sukses di panggung diplomatik
internasional. Bersamaan dengan itu, diplomat-diplomat yang amat mahir,
lulusan sekolah diplomat itu, dipecat dengan alasan bahwa mereka itu
"barisan Subandrio".
Tapi menurut "insider-gossip" yang dibisik-bisikkan di kalangan pegawai
Deparlu waktu itu, sebab sebenarnya itu bahwa Adam Malik yang bahasa
Inggerisnya bengkok-bengkok itu malu dengan diplomat-diplomat lama yang
berkat sekolah diplomat itu (guru bahasa Inggerisnya dua orang Inggeris
tulen) sangat fasih berbahasa Inggeris. Seingat saya dari masa masih
bocah dan remaja di KBRI di beberapa tempat, diplomat Indonesia dulu
sangat berkualifikasi tinggi, fasih benar bergaul di tengah kehidupan
diplomatik internasional, tidak tampak ragu atau minder sedikitpun,
baik dengan rekan Asia, Afrika, Eropa Barat/Timur, Amerika Utara/Latin.
Hasil operasi Adam Malik itu, pada penglihatan saya juga, kwalifikasi
diplomat-diplomat Indonesia pada awal periode Orde Baru merosot dengan
sangat kentara.
Sekian beberapa ingatan saya berkenaan dengan Adam Malik. Masih perlu
saya akui, bahwa pada tahun-tahun pertama menjadi mahasiswa di Moskow,
saya kerap bertamu ke wisma duta waktu duta besar RI di Moskow itu
Adam Malik, dan banyak bergaul dengan ketiga putra beliau yang tertua,
yang kira-kira sebaya dengan saya. Yang saya tulis di atas ini bukan
satu pembelaan dan juga bukan satu serangan, melainkan sekadar "for the
record" saja.
Salam, Waruno
Tambahan belakangan: Berkenaan dengan "dinas" sebulan sekali dari Peking ke Hongkong
itu, perlu saya catat bahwa sebab utamanya adalah mengantar "diplomatic bag" (kumpulan pos rahasia diplomatik) untuk
dibawa lebih lanjut dari sana ke Jakarta. Kesempatan itulah yang kemudian juga "dimanfaatkan" untuk briefing tersebut
di atas.
|
Tanggal: | | 3 September 2008 |
Kepada: | | nasional-list@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Trs: Jurnal Pertengahan Minggu (Chalik Hamid, 3 Sept.) |
|
> Dengan segala kekurangan yang terdapat, sedikitnya mengenai Kasus Mylai,
> ada yang tampil memberi eye witness account, ada institusi negara yang
...snip...
> Sebaliknya kejadian sejarah telah diputar balikkan, atau dikatakan masih
> ada "missing link" yang
Benar!
Dan masih satu perbedaan lagi, yang lebih memalukan lagi, yang benar-benar
mengkhasiati watak pihak berkuasa di Indonesia: Sungguhpun itu sedikitpun
tidak "memaafkan", tetapi korban-korban Mylai yang diusut pembunuhan
terhadapnya oleh pihak negara di AS itu "orang bangsa lain", sedangkan
yang terbunuh di Indonesia dan diacuh-tak-acuhkan nasibnya oleh pihak
negara di Indonesia itu orang bangsa sendiri, kawan setanahair, mulai
dari korban 1965-1966 sampai korban-korban di Aceh dan Irian Barat!
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 1 Agustus 2008 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Fwd: Gempar Soekarno Putra (Mira Wijaya Kusuma, 31 Juli) |
|
> Sesuai amanat Bung Karno, anak yang diberi nama Mohammad Fatahillah
> Gempar Soekarno Putra tersebut (kini berusia 44 tahun),
> disembunyikan ibunya pada sebuah keluarga, kemudian diberi nama
> lain, yakni Charles Christofel.
Terimakasih untuk terusan berita yang menarik ini tentang Gempar Sukarno
Putra.
Dari saya hanya satu koreksi kecil: terlalu mustahil amat, bahwa
Bung Karno mengamanatkan putra beliau diberi nama dengan ejaan
"Mohammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra", melainkan pasti oleh
beliau dieja "..... Sukarno Putra", sedangkan penggantian "u"
menjadi "oe" itu terjadi semasa Soeharto berkuasa.
Karena memang diketahui bahwa Bung Karno sendiri pernah tegas-tegas
menghendaki nama beliau agar dieja dengan "u", jangan dengan "oe".
Hanya kalau membuat tandatangan sajalah, beliau memakai ejaan dengan
"oe", demi memempertahankan kontinuitas tandatangan resmi itu yang
sudah terdapat pada dokumen-dokumen resmi negara sejak sebelum 1948,
artinya sebelum pergantian ke ejaan Republik.
Tetapi lepas dari tandatangan resmi itu, dalam semua penyebutan
nama beliau secara tertulis, Bung Karno menghendaki nama itu dieja
"Sukarno", dengan huruf "u". Demikian pula ejaan nama itu di segenap
terbitan pidato-pidato dan karangan-karangan Bung Karno setelah 1948
selama beliau masih hidup.
Salam untuk semua,
Waruno
|
Tanggal: | | 31 Agustus 2007 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Cecunguk Malayan dimata Presiden Indonesia (Londung Manalu) |
|
> Bagi para veteran ( usia 50an) mungkin ucapan ini sudah tidak asing
> di telinga pada waktu DWIKORA jaman Soekarno dahulu.
...snip...
> ... pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu.
> Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian
Saya bahkan usia 60an, dan suara Sukarno tidak asing di telinga saya. Selain
baca rekaman dalam media cetak, ataupun dengar lewat perantaraan radio atau
filem, juga dalam kehadiran langsung saat beliau berceramah atau sekadar
mengobrol basa-basi dengan mahasiswa di pekarangan KBRI.
Saya tidak tahu, dari mana Anda memperoleh keterangan itu, atau siapa
yang menyodorkannya kepada Anda. Yang dapat saya pastikan hanyalah:
Bung Karno tidak pernah dan juga tidak mungkin mengucapkan yang demikian
itu.
DWIKORA dan semboyan "ganyang Malaysia" itu tidak ditujukan melawan ataupun
untuk "pukul dan sikat" atau untuk "hajar" apa yang Anda sebut "cecunguk
Malayan" ("Malayan" ini maksud Anda mungkin orang Melayu Semenanjung, ya?),
melainkan yang diserukan untuk di-"ganyang" itu proyek pembentukan Malaysia
yang menyatukan Serawak dan Sabah dengan Semenanjung tanpa persetujuan
penduduknya secara tuntas.
Bukan orang sana yang diganyang, bahkan pun juga bukan tokoh mereka.
Kalaupun waktu itu ada konfrontasi, maka satu aspek penting dalam perhitungan
Bung Karno waktu itu, itu bahwa ini akan menggembleng orang Melayu Semenanjung
itu sendiri, mendorong mereka untuk lebih kompak aktif secara politik.
Itu pernah diutarakan Bung Karno selagi bertemu muka dengan PM Malaysia secara
langsung di Manila pada saat pertemuan tiga-pihak Maphilindo.
Selain itu, nasionalisme Bung Karno dan pembelaan NKRI selama beliau memegang
tampuk negara itu sangat lain dengan nasionalisme militaris yang cuma memikirkan
pertahanan "NKRI" formal dengan kekerasan dan paksa, yang asal gengsi a-la
koboi-koboian tetap pulih saja.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 20 April 2007 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | SELAMAT KOPASSUS PADA HUT KE-55=> Arnold #17305 (Yap Hong-Gie, 18 April) |
|
> namun platform forum ini dan ideologi para anggotanya jelas mengacu
> pada NKRI dan Pancasila!
>
> Jurang pemisah jauh sekali dengan visi-misi Arnold, yang anti-NKRI,
> anti-TNI, anti-Pribumi dan anti-Islam, serta, anti-segalanya seputar
> eksistensi RI.
Sdr. YHG, yang mengkhianati NKRI itu bukan yang berbicara, melainkan
yang berbuat. Dan dari yang berbuat itu, juara yang paling ulung sendiri
itu yang membunuh dan menganiaya kawan sebangsa dengan alasan macam
apapun, apakah itu sekitar 1966, ataukah di Tanjung Priok, Daun Semangi,
dst., dst.
Pasukan manakah yang begitu cergas membunuh kawan setanahair, itu belum
dibuktikan di muka pengadilan (rupanya, bagaimana akan hasilnya sudah
dimaklumi sebelumnya, maka dicegahnyalah undang-undang yang memungkinkan
yang bersangkutan dibawa ke muka pengadilan). Syukurlah, wilayah RI tidak
terancam serangan musuh dari luar, sehingga pasukan yang bersangkutan
tidak usah takut bisa tiba-tiba dihadapi ujian, apakah juga begitu cergas
membunuh orang asing kalau ada yang menyerang ke bumi persada.
Wassalam,
Waruno Mahdi
|
Tanggal: | | 24 Oktober 2006 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com |
Perihal: | | Indonesia rindu pemimpin seperti Bung Karno (Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, Media Indonesia 21 Oktober) |
|
> Bangsa Indonesia merindukan sosok pemimpin
> seperti Bung Karno yang mampu mengendalikan manajemen politik nasional
> dengan rasa percaya diri tinggi, bahkan berani menghadapi neo kolonialisme
> (nekolim) dan imperialisme dunia.
...snip...
> ... dunia baru yang damai, berkeadaban, dan berkeadilan, sebagaimana pernah
> ditunjukkan Bung Karno, katanya.
Teman-teman, apakah ini tidak terlalu simpel?
Seakan kain sejarah lampau dapat kita gunting sepotong, lalu kita
tambalkan pada tenunan peristiwa hari ini.
Masa Bung Karno mengelola politik nasional, baik kondisi Indonesia,
maupun kondisi dunia amat beda dengan sekarang. Di masa itu memang
benar memusatkan perhatian pada konsolidasi "rasa percaya diri" yang
tinggi.
Tetapi, ciri akhlak orang yang paling aktual bagi keberhasilan
pembangunan nasional adalah kesediaan untuk belajar. Itulah yang
dinomorsatukan oleh Jepang pasca-Revolusi Meiji, itu pula yang
dipentingkan oleh Tiongkok, Korea, India tahun-tahun terakhir.
Selama sekolah dasar dan menengah di Indonesia belum mau menajamkan
intelek anak-anak untuk giat dan fasih belajar, setiap usaha untuk
memperkuat "rasa percaya diri" itu hanya akan menambah frustrasi.
Pada zaman Bung Karno dulu, ada perang dingin dan nekolim yang
menutup jalan pembangunan yang efektif. Nekolim berarti: mantan negeri
jajahan formalnya merdeka secara politis, tetapi tetap dieksploitasi
secara ekonomi dengan lebih efektif lagi ketimbang waktu dijajah,
terutama dengan adanya selisih antara harga barang mentah dengan harga
barang hasil industri. Artinya, ada perbedaan besar antara upah
buruh "negeri berkembang" dengan upah buruh negeri industri. Maka di
Eropa akhir 1950-an sampai awal 1970-an ada perkembangan unik dalam
sejarah umat manusia, ada "buruh menak", buruh dan pekerja paling
sederhana pun bisa vakansi di Riviera, bahkan pun ke Bali. Syaratnya,
buruh Indonesia dan negeri berkembang lainya harus tetap memapa.
Kemudian ada krisis minyak yang menjungkirkan konstelasi harga di
pasaran bahan mentah. Itu menjadi lonceng kematian sistem nekolim
yang kemudian kalah total oleh globalisasi. Artinya, barangsiapa
memakai semboyan anti-nekolim jaman dulu, itu ketinggalan zaman.
Nekolim telah ditiadakan oleh globalisasi. Kalau anda perhatikan
apa yang menjadi problem terbesar pemerintah-pemerintah di Eropa
sekarang ini, maka itu tidak lain bagaimana membujuk buruhnya rela
bekerja sama rajinnya seperti buruh Tiongkok, untuk upah yang sama
tinggi atau rendahnya seperti yang diperoleh buruh Tiongkok. Tidak
kebetulan, di Eropa sekarang, pemimpin-pemimpin politik pun tidak
jarang menyerang globalisasi.
Negeri-negeri berkembang, nasibnya dua macam. Tidak semuanya menarik
manfaat dari globalisasi. Yang paling runyam itu nasibnya negeri
seperti Indonesia, yang sistem pendidikan sekolahnya selama tiga
dasawarsa Orde Baru direkayasa menjadi sistem pengajaran kebodohan.
Bagi rezim seperti rezim Soeharto, kecerdikan masyarakat merupakan
sumber destabilisasi, karena rakyat tidak akan mudah dibodoh-bodohi
dongeng-dongeng nina-bobo yang disuapkan kepada masyarakat selama
rezim itu berkuasa. Dan sekarangpun, selama elite politik masih
bersikeras untuk mempertahankan dongeng-dongeng itu, jangan harap
akan ada kemajuan penting di bidang pendidikan. Begitulah antara
lain dampak baliknya antara negara hukum dengan kemajuan ekonomi.
Tiongkok maju, India maju, Korea, Brasilia, dst., dst. Selama masa
nekolim itu mustahil sampai begitu, tetapi di masa globalisasi itu
bisa saja, dan terbukti memang terjadi. Beberapa waktu lalu, ada
perusahaan besi-baja India hampir berhasil menelan perusahaan baja
terbesar Belgia. Tak sampai berhasil itu nampaknya hanya gara-gara
diskriminasi ras pada pihak Belgia yang lebih rela dirinya ditelan
oleh perusahaan Rusia (sama kulit putih, la-ah). Menyesalnya kira
belakangan nanti, kebodohan bukan monopoli sawo-matang, Belgia
putih-putih pun tidak kebal. Yang jelas, jangan sangka globalisasi
itu "one-way street" Barat menelan Timur.
Hanya, selama pendidikan tetap mandeg dalam lumpur kebodohan, Indonesia
akan ketinggalan, paling-paling menang sedikit dari Myanmar yang masih
berezim a-la "Orba". Sedih, kan? Itu bukan karena orang-orangnya bodoh.
Lihat, kalau sempat bersekolah yang agak beres, lantang saja menang
Olimpiade fisika internasional. Cuma sementara bapak-bapaknya itu lho...
......
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 18 September 2006 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Lagi, "Tionghoa" vs "Cina" ==> Daniel Pramono (Chan C T) |
|
> 2. Yang menjadi penekanan saya, mengingat perubahan penggunaan istilah
> "Tiongkok", "Tionghoa" menjadi "Cina" adalah hasil keputusan ...
...snip...
> ... Keputusan yang tidak bersahabat dan salah dari pemerintah
> terdahulu inilah yang harus dicabut!
Bung Chan, maaf, nimbrung sedikit ya (bukan sebagai kritik).
Dengan menggunakan kata-kata "tidak bersahabat dan salah", Anda menurut
saya tidak saja terlalu lunak, bahkan meleset dar sasaran, kira-kira
sekadar karena Anda orang sopan dan tidak ingin menimbulkan kesan ada
maksud menghina.
Tetapi seungguhnya, keputusan pemerintah Soeharto itu bukan sekadar
"salah", melainkan suatu tindakan tak bersusila, benar-benar kampungan,
yang amat memalukan bangsa kita di mata seluruh dunia. Ini benar-benar
menjatuhkan keharuman nama bangsa Indonesia yang berbudaya sejak sekitar
2000 tahun, dan setiap di antara kita, biarpun yang sejak semula diketahui
anti-Orde Baru, yang dicabut paspornya oleh mereka dan berkelayab di luar
negeri ini turut keciprat, turut malu dilihat orang, karena bagaimana
pun juga masih bangsa Indonesia yang itu-itu juga, yang punya pemerintah
begitu konyol dan kampungan.
Anda bayangkan saja, apabila di masa 1945-1949, sekiranya pihak Belanda
sampai menyebut RI itu "republik inlander"? Nah persis begitulah apa
yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto dengan menggantikan istilah resmi
Tiongkok dengan "Cina". Dalam pada itu sekaligus memamerkan ignoransinya
kepada seluruh dunia. Karena, sekiranya pun mereka ada alasan untuk
geram terhadap RRT itu saja pun, di dunia masih banyak orang Tionghoa
yang tidak ada sangkut pautnya dengan RRT (tentunya, kalau geram pun
bukan alasan untuk berbuat kampungan begitu, karena siapa menuding dengan
jari telunjuk kepada orang lain, empat jari lainnya menunjuk kepada diri
sendiri).
Disinilah kita melihat satu contoh konsekuensi runyam daripada masih
tetap belum beraninya pemerintah-pemerintah pasca-Orba mengoreksi
kesesatan-kesesatan yang dibuat oleh pemerintah Orba. Aib rasa malu
tetap melekat terus pada nama bangsa. Dan ini jangan jemu-jemu kita
tandas-tandaskan terus kepada mereka-mereka yang membela NKRI-nya itu
cuma kalau lagi asyik berpidato. Jangan mereka sampai merasa, kalau
sudah pakai dasi dan mobilnya kren, maka sudah termasuk orang beradab.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 10 Agustus 2006 |
Kepada: | | mediacare@yahoogroups.com |
Perihal: | | Asal usul nama RUPIAH (Batara Hutagalung, 7 Agustus) |
|
Kata "rupiah" sebagai nama matauang itu berasal dari
bahasa Sanskerta "ru-pya" (dimana "u-" mestinya "u" dengan
garis "-" di atasnya, dibaca sebagai "u" panjang) yang
berarti perak, khususnya perak yang "ditempa" atau
"dicetak". Dalam periode sebelum kemerdekaan, "rupiah"
itu lazim dipakai dalam bahasa Melayu Indonesia sebagai
terjemahan kata Belanda "gulden".
Sejak kapan itu demikian saya belum sempat mencek secara
teliti. Tetapi dalam abad ke-19 dan sebelumnya, kata "rupiah"
itu merupakan nama Melayu untuk matauang India yang ejaan
Inggerisnya "rupee". Sekurang-kurangnya, begitulah keterangan
yang saya temukan dalam beberapa kamus bahasa Melayu dari
abad ke-19.
|
Tanggal: | | 29 Mei 2006 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com |
Perihal: | | Sejarah Indonesia. Tanggapan untuk Ny. Muslim binti Muskitawati |
|
Tentang kepelikan hubungan segitiga Britannia Raya Indonesia Nederland
dalam periode 1945-1947, ada beberapa ingatan saya dari
omongan Ayah saya (Izak Mahdi, alm.) yang waktu itu masuk tim di
bawah Sjahrir.
Di satu pihak, kedudukannya agak menyulitkan Republik karena ada
saling-pengertian antara kedua negara kolonialis yang bersangkutan.
Dalam hal ini, diplomasi pihak Republik ditujukan untuk "adu domba"
antara mereka, mengingat kedua negeri tsb. juga mempunyai kelainan
kepentingan tertentu. Dalam berbagai kesempatan, berhasil juga
perselisihan yang ada itu dieksploitasi.
Misalnya, waktu menyelundup senjata dari Singapura ke Tegal dengan
kapal milik peranakan Tionghoa dari Singapura, kapalnya lantang
saja menerobos blokade AL Nederland sambil memasang bendera
"white ensign"-nya AL Inggeris. Ketika ada korvet Belanda mendekati
dan mengisyaratkan agar kapalnya berhenti untuk diperiksa, kaptennya
(yang peranakan Tionghoa) mensinyal balik "go to hell". Mengingat
ketergantungan mereka dari kebaikan-hati Inggeris waktu itu, kapten
korvet Belanda ternyata tidak jadi berbuat apa-apa, dan kapal dengan
senjata itu pun lolos sampai wilayah Republik. (Ayah saya kebetulan
hadir di kapal itu).
Saya teringat satu episode lain ceritera ayah di belakang hari (waktu
kejadiannya, saya baru umur 3 atau 4 tahun). Waktu akhirnya pasukan
Inggeris ditarik dari Indonesia, Sjahrir membuat pidato yang sangat
memuji-muji Inggeris. Belakangan, van Mook dalam pembicaraan pribadi
dengan Sjahrir menegur, kok pidatonya terlalu bagus begitu untuk
orang Inggeris. Sahut Sjahrir: "kalau kalian pergi nanti, akan saya
buat pidato yang lebih bagus lagi".
Begitulah beberapa episode kecil dari jaman itu yang ceriteranya
teringat.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 16 Mei 2006 |
Kepada: | | nasional-list@yahoogroups.com, wahana-news@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com |
Perihal: | | Soeharto-Soekarno Direhabilitasi (Y Rakhmat, 13 Mei) |
|
Keterangan Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, bahwa sudah
mengajukan rancangan Keputusan Presiden (keppres) untuk merehabilitasi
mantan presiden Sukarno dan Soeharto sungguh menakjubkan!
Dilihat sepintas lalu, minat pemerintah untuk merehabilitasi Bung
Karno mungkin bisa dimengerti dan bahkan dipuji. Beliau pernah
dihukum tahanan rumah, akses umum kepada karya-karyanya dirintangi,
prestasi-prestasinya, khususnya perumusan mula pertama Pancasila,
disangkal ataupun dikecil-kecilkan. Tetapi, tanpa ada langkah
resmi dari pemerintahpun, nama Bung Karno di kalangan rakyat
tetap harum, dan sepanjang apa yang pernah kabur-kabur akibat
pelecehan oleh Orde Baru, maka itu kini kian pulih kembali, dapat
dikatakan mengalami "rehabilitasi spontan". Jadi, keperluan akan
satu rehabilitasi resmi sudah tidak begitu mendesak. Menurut saya,
sebagaimana akan saya coba jelaskan di bawah nanti, bahkan kurang
pada waktunya.
Di pihak lain, dalam hal Soeharto, perkara rehabilitasi itu lain
samasekali letaknya. Soeharto tidak bisa mendapat rehabilitasi
resmi pemerintah karena, oleh pemerintah, nama dan martabatnya belum
pernah secara resmi disangsikan. "Rehabilitasi" adalah "pemulihan
kembali" (martabat dan nama baik). Apa yang tidak dirusak, tidak
bisa dipulihkan, karena dari dulu masih tetap "pulih" (resminya).
Dengan merancang keppres rehabilitasi tersebut di atas, Yusril
praktis membuat pernyataan bahwa nama dan martabat Soeharto itu
sedemikian cemar, sehingga dirasakan olehnya perlu dipulihkan!
Dan sekiranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai jadi
menandatangani keppres itu, maka bersama itupun akan meresmikan
pernyataan cemar tersebut.
Tetapi sayang, dalam hal Soeharto, rehabilitasi tidak saja tidak
akan seberapa maknanya karena sudah ada perkara yang akan
diperadilkan melainkan bahkan berarti melakukan praduga, yaitu
menganggap nama orang itu cemar dan perlu direhabilitasi SEBELUM
ada vonnis dalam perkaranya. Berkenaan dengan adanya perkara
hukum itu, tinggallah dua perspektif pokok: yang satu, Soeharto
divonnis tidak bersalah; yang kedua, ia divonnis bersalah dan
dikenakan hukuman tertentu. Dalam kejadian kedua pun, tak bisa
direhabilitasi, tetapi ada jalan amnesti atau pemberian grasi.
Sesungguhnya, Soeharto membuat kekeliruan besar kalau dengan
segala upaya mengelak dan menunda persidangan perkaranya. Makin
pagi itu kemarin dipersidangkan, semakin besar harapannya bisa
luput dengan vonnis yang ringan mungkin, karena dalam aparat
judikatif dan eksekutif masih sangat banyak unsur "status quo".
Makin ke belakang, makin berkuranglah peluang untuk merekayasai
jalan peradilan, dan makin lengkaplah bahan bukti di tangan
penggugat.
Tampaknya, tujuan Soeharto itu untuk luput dari pengadilan selama
masih hidup, tetapi ini sesungguhnya tidak membantu dia, melainkan
malah merugikannya. Karena, setelah orangnya meninggal, riwayatnya
tidak akan ikut lenyap. Hanya saja, untuk sementara, tidak lagi
menjadi perkara pengadilan, melainkan menjadi masalah sejarah.
Segala bahan yang kini masuk berkas bukti penggugatan hukum akan
menjadi material historiografik untuk publikasi ahli sejarah tanpa
kesempatan tim pengacaranya untuk "memfilter" bahan tersebut, dan
tanpa ada peluang menuduh penulis-penulis berdasar pada praduga.
Hanya kalau ada anak-anak Soeharto sampai menggugat publikasi
demikian, material itu kembali menjadi bahan peradilan hukum. Dalam
pada itu, tidak akan ada kemungkinan mengundur-undur dengan alasan
kesehatan Soeharto yang waktu itu sudah meninggalkan dunia fana.
Dan di kemudian hari itu, peluang untuk merekayasai pengadilan akan
lebih tipis lagi, ketimbang semasa Soeharto masih hidup. Maka dari
itulah, permainan undur-undur dengan alasan kesehatan kemarin ini
sesungguhnya malah merugikan Soeharto sendiri.
Tetapi kembali kepada rancangan keppres yang turut merehabilitasi
Bung Karno, maka sudah terlalu jelas kelihatan udang di balik batunya.
Yang mau direhabilitasi rupanya Soeharto. Dulu sudah ada usul mengadakan
"abolisi" dosa-dosanya, kemudian diusahakan pengabaian proses hukum
dengan alasan kesehatan dll. Sekarang mau direhabilitasi, walaupun
belum pernah secara resmi dijatuhkan sehingga ada masalah untuk dapat
direhabilitasi. Tetapi, merekapun maklum, umum tidak akan lagi menerima
begitu saja ada rehabilitasi Soeharto, sambil Sukarno masih tetap belum
direhabilitasi. Jadi, senang atau tidak senang, "terpaksa"-lah Bung
Karno pun turut direhabilitasi.
Ini sesungguhnya satu penghinaan lebih besar lagi terhadap Presiden
pertama RI dan proklamator kemerdekaan. Rehabilitasi dirinya itu
dijadikan embel-embel opportunis, sebagai harga yang terpaksa dibayar
demi akan "menggolkan" rehabilitasi Soeharto! Itulah sebabnya, menurut
pendapat saya sebagaimana diajukan di atas, rehabilitasi Bung Karno
dengan keppres sebagaimana yang dirancangkan oleh Yusril ini perlu
ditolak dengan tegas. Moga-moga Pak SBY tidak menandatanganinya.
Kalau pemerintah sudah bersedia berdamai dengan Bung Karno, silakan
dikemukakan dengan ikhlas dan jujur, dalam akte yang khusus ditujukan
kepada Bung Karno sebagai sosok nasional. Saya pikir, begitulah juga
kehendak penduduk yang masih menyimpan kenangan akan Bung Karno dalam
hatinya.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 10 Maret 2006 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com |
Perihal: | | Website KUKB (Batara Hutagalung, 7 Maret) |
|
> Kalau Waruno ada referensi/sumber informasi dari pendapatnya, harus
> bisa disebutkan, siapa yang menulis hal itu? Tahun berapa ...
...snip...
> ... Wikipedia), kata Indonesia berasal dari bahasa Yunani Indos (India)
> dan nesos (kepulauan). Jadi dalam hal ini, Waruno keliru!
Bung Batara, sumber ensiklopedi yang Anda sebut itu benar "pada prinsipnya",
hanya saja, pada masa ketika Ptolemaios menulis karya ilmu buminya, nama
kawasan yang bersangkutan itu dinamakannya "Indike" (dengan e-panjang yang
dieja dengan huruf "eta") sesuai kelaziman zaman itu, sedangkan "indos"
itu kata sifat (adjektif) dan juga kata untuk merujuk (benar, saya kemarin
salah ketik) kepada orang dari kawasan itu. Jadi, kata "indos" itu praktis
berarti "yang berasal dari Indike". Bandingkan bahasa Belanda Hongarije
untuk menyebut negeri Hungaria, Hongaars untuk adjektifnya, dan Hongaar
untuk menyebut orang Hungaria.
Yang penting, baik "indos" maupun "Indike" itu tidak mengacu kepada kawasan
India (Bharata), melainkan terbagi atas "entos Gangou Indike" yaitu Indike
di sebelah sini dari Sungai Gangga (Latin: India intra Gangem), dan "ektos
Gangou Indike" yaitu Indike di sebelah sana dari Sungai Gangga (Latin:
India extra Gangem). Yang tersebut terakhir ini dalam ilmu buminya
Ptolemaios itu menjangkau "Chryses Chersonesos" (Latin: Aurea chersonesus),
artinya "semenanjung emas". Kalau menurut "Periplus Laut Eritrea" maka
terdapat daerah daratan dan satu pulau yang berseberangan dengannya, yang
sama-sama dinamakan "Chryse" (tanah emas), yang dalam bahasa Sanskerta
dikenal sebagai "Suvarnabhumi".
Tetapi, tidak soal, apakah mengambil patokan bahasa Yunani "Indike"
(beserta adjektifnya, "indos"), atau bahasa Latin "India", yang tersebut
terakhir ini bukan nama negeri di Asia Selatan yang sekarang, melainkan
nama kawasan yang menurutsertakan Indocina, Semenanjung Malaka, dan
sekurang-kurangnya Pulau Sumatra.
Sumber pustaka:
(1) | [nama pengarang tidak dikenal dengan pasti], sek. thn. 70 M.,
"Periplous tes Erythres thalasses" (Periplus Laut Eritrea),
dikutip menurut edisi yang disunting oleh: |
| (a) | Hjalmar Frisk (ed.), 1927, "Le Périple de la Mer Erythrée", suivi
d'une Étude sur la Tradition et la Langue. Göteborgs Högskolas
Arsskrift 33, Göteborg. |
| (b) | G.W.B. Huntingford (ed.), 1980, "The Periplus of the Erythraean
Sea" by an unknown author. Works Issued by the Hakluyt Society,
2nd series No. 151. London. |
| (yang tersebut terakhir cuma mengandung terjemahan Inggerisnya) |
(2) | Ptolemaios, abad ke-2 M., "Geographike Hyphegesis",
dikutip berdasarkan salinan teks pada hal. 26-71 dalam:
George Coedès, 1910, "Textes d'auteurs grecs et latins relatifs
à l'Extrême-Orient" depuis le IVe siècle av. j.-c. jusqu'au
XIVe siècle. Paris: Ernest Leroux. |
| |
Sedangkan mengenai penciptaan istilah kongkret "Indonesia" itu sendiri,
maka sebagaimana umum sudah mengetahui, itu berasal dari orang Inggeris
bernama James Richardson Logan:
<< | For reasons which will be obvious on reading a subsequent note,
I prefer the purely geographical term Indonesia which is merely a
shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. We
thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and
Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders. >> |
Jadi, asalnya memang karena memandang kepulauan itu sebagai kepulauan
"Hindia" alias bagian berupa kepulauan daripada segenap kawasan yang
sejak Ptolemaios itu dinamakan Indike (Latin: India) dan bukan negeri
India sekarang (Bharata), yang waktu itu "British India". Tidak kebetulan,
kalau kita baca buku-buku Eropa abad ke-16 ke-18 tentang Asia Tenggara,
penduduk kepulauan Indonesia-Filipina itu normal saja dinamakanya "orang
India". Kemudian James Logan masih menambahkan keterangan, bahwa dia
menganggap peninggalan-peninggalan megalitik di Indonesia itu berasal
dari India Hindustani (khususnya dari daerah Assam).
Sumber Pustaka:
(3) | James Richardson Logan, 1850, "The Ethnology of the Indian Archipelago:
Embracing Enquiries into the Continental Relations of the Indo-Pacific
Islanders", Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia 4:252-
-347,
lihat sana hal. 254, footnote tanda-palang. |
| |
> Selain itu, usulan untuk menggunakan kata NUSANTARA, juga bukan aku
> yang pertamakali mencetuskannya. Aku mendukung pemikiran tersebut.
Istilah "Nusantara" berasal dari bahasa Jawa Kuna periode Kerajaan
Majapahit, dan a.l. terdapat dalam Nagarakrtagama karangan Prapanca.
Artinya waktu itu kepulauan seberang (kalau dilihat dari pulau Jawa),
artinya segenap kepulauan Indonesia-Malaysia-Brunai-TimorTimur-Filipina,
tapi tidak termasuk Pulau Jawa. Baru belakangan, pada abad ke-20,
terjadi relokasi kawasan yang dimaksud dengan istilah itu untuk
turut mencakup P. Jawa, sambil agak mengurangi perhatian kepada
Filipina dll sebagai bagian "Nusantara" itu. Bersama dengan itu, pada
pemakaian dalam abad ke-20 itu juga terjadi re-interpretasi daripada
unsur kedua dalam kata majemuk itu, yang kemudian diasosiasi dengan
Sansekerta "antara" yang berarti "antara", sehingga terjadi pengertian
baru bahwa Nusantara itu kepulauan di antara dua benua (Asia dan Australia).
Tetapi sesungguhnya, Istilah Jawa Kuna "Nusantara" itu adalah semi-calque
(setengah-terjemahan harfiah) dari istilah Sanskerta "Dvipantara" dan
Pali "Dipantara" yang arti harfiahnya "kepulauan luar, kepulauan lain"
(artinya, lain daripada yang di kawasan Hindustan) yang dipakai dalam
literatur India millenium ke-1 M. untuk merujuk kepada Kepulauan Melayu-Indonesia-Filipina. Unsur keduanya itu kata Sanskerta "antara"
yang berarti "lain, berbeda" (dalam bahasa Sanskerta ada dua kata "antara").
Maka dari itulah, di zaman Majapahit, Nusantara berarti kepulauan seberang.
Sumber pustaka:
(4) | Th. Pigeaud, 1963, "Java in the 14th Century", jilid V, The Hague:
Martinus Nijhoff,
lihat sana pada hal. 139. |
(5) | Sylvain Lévi, 1931, "Kouen Louen et Dvipantara", Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie 88:621-627. |
(6) | Waruno Mahdi, 2000, Review of J.G. de Casparis (1997, Sanskrit loan-words
in Indonesian, NUSA Linguistic Studies of Indonesian and Other
Languages in Indonesia 41. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA),
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 156:844-852. |
| |
> Para pengusul antara lain Dr. Setiabudi dan Pramudya Ananta Toer (Pram),
Saya juga sempat baca tentang usul Bung Pram, mungkin barang tiga tahun
kembali, kalau tak salah ingat pada satu ceramah di depan pemuda. Saya
waktu itu langsung mengirim email lewat teman-teman di Jakarta dengan
permintaan supaya di sampaikan kepada Bung Pram, di mana diterangkan
salah kaprah tentang pengertian "Indonesia" sebagai kepulauan "India" itu.
Apakah disampaikan kepada Bung Pram atau tidak, saya kurang tahu.
> Ada satu alasan penting menurut pendapatku- untuk mengganti nama
> Indonesia, karena saudara-saudara kita di wilayah timur ...
...snip...
> ... Termasuk seorang sahabatku asal Maluku Utara.
> Dan memang kenyataannya, mereka termasuk Melanesia (kepulauan orang hitam).
Ini mengandung beberapa salah paham, dan saya agak heran, kenapa Anda
bukannya membantu saudara-saudara kita tersebut membongkar salah paham
itu, melainkan malah turut "pilon". Karena mereka hanya sempat mengalami
"pendidikan" sekolah a-la Orde Baru, sedangkan kita-kita masih sekolah
sebelum Orde Baru, ditambah sempat belajar di luarnegeri, di perguruan
tinggi lagi.
Pertama, Melanesia memang benar secara harfiah berarti "pulau [orang]
hitam", tetapi tidak berarti semua orang berkulit hitam masuk Melanesia.
Dulu saja, waktu istilah itu pertama dibuat, orang pun sadar bahwa
Mikronesia pun penduduknya kulit hitam, begitupun pulau Enggano,
beberapa suku Orang Laut di Riau, ataupun sejumlah sukubangsa di
Filipina.
Tetapi yang lebih penting lagi, membagi-bagi status kebangsaan atau
pun komunitas kebudayaan berdasar kepada warna kulit itu tidak saja
keliru, tetapi bahkan sangat jahat. Di Amerika Serikat menjelang
Martin Luther King itu ada golongan rasialis penjunjung segregasi
yang memakai prinsip itu sebagai dalihnya, katanya bahwa orang yang
lain warna kulit itu "lebih alamiah" kalau bergabung sendiri-sendiri
saja, tak usahlah campur. Demikian pun prinsip yang mendasari tatanan
Apartheid di Afrika Selatan dulu. Saya yakin Anda "lupa", tidak sadar
perkara rasialisme itu waktu tengah "bersolideran" dengan saudara-saudara
di wilayah timur itu.
Dalam kenyataan, kesan negatif tentang nama "Indonesia" di beberapa
kalangan aktivis di bagian Timur RI (begitupun di Aceh) itu akibat
langsung perekayasaan konsep nasionalisme Indonesia dalam Orde Baru,
yang mana menggantikan nasionalisme tradisional gerakan kemerdekaan
(yang saya suka menyebutnya nasionalisme Sukarnois) dengan nasionalisme
militaris yang berdasarkan paksaan dengan kekerasan suatu aparat korup.
Tetapi penyelewengan pengertian "Indonesia" ini tak beda dengan
penyelewengen pengertian "Pancasila" dan penyelewengan pengertian
"Undang-Undang Dasar 1945" yang terjadi selama Soeharto berkuasa.
Tidak aneh, antara pemuda pada akhir dasawarsa 1990-an ada juga yang
syak terhadap Pancasila dan UUD-45. Maklumlah, mereka hanya sempat
mengalaminya selama periode Orde Baru. Karena itu, kita-kita yang lebih
tua, yang sempat mengalami periode pra-Soeharto, ini justru wajib
menyampaikan pengalaman kita kepada mereka, jangan malah ikut terbawa
hanyut.
Karena sebelum Soeharto berkuasa, "saudara-saudara kita di wilayah timur"
itupun tidak saja tidak ada soal dengan istilah "Indonesia" itu, tetapi
secara sadar turut menganggap dirinya bagian dari itu.
Demikianlah pada bulan Oktober 1949, Lukas Rumkorem menegakkan "Partai
Indonesia Merdeka" di Pulau Biak. Tetapi, pada waktu Soeharto berkuasa,
putra Lukas Rumkorem bernama Seth Jafet Rumkorem, yang sempat menjadi
perwira TNI, kemudian menyeberang, masuk OPM. Begitulah "Indonesia" a-la
Soeharto itu.
Pada akhir tahun 1946, pihak Nederlan menggalang beberapa tokoh Indonesia
bagian Timur yang kebetulan tidak cocok dengan pemerintah Republik,
mengadakan Konperensi di Den Pasar untuk membentuk satu negara boneka
di daerah pendudukan di Indonesia bagian Timur. Tetapi, di luar keinginan
pihak kolonial yang mangatur segalanya itu, wakil-wakil "saudara-saudara
kita di wilayah timur" ini pada ngotot untuk memberi negara boneka itu
nama "Negara Indonesia Timoer", walaupun pihak Nederland samasekali tidak
senang atau setuju dengan kata "Indonesia" di dalamnya itu.
Ini hanya dua contoh saja, sengaja saya pilih karena jelas-jemelas,
pemilihan nama "Indonesia" oleh kawan setanahair di Indonesia bagian
timur ini sepenuhnya spontan dari hati, di luar adanya desakan atau
intimidasi yang seminim-minimnya pun dari pihak pemerintah Republik.
Melainkan, perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia itu bukan
satu gejala Indonesia bagian barat saja, atau sawomatang saja.
> Contoh di Jakarta sekarang, sejak satu tahun sudah dioperasikan yang
> dinamakan "Bus Trans-Jakarta", namun petunjuk di jalanan ditulis "Busway",
Lumrah, toh. Di Jerman sini, cellular telephone itu oleh orang Jerman
dinamakan "Handy" yang disangka "dari bahasa Inggeris". Silakan saja
ketawa. Dalam hal demikian ya boleh saja, toh.
Tapi perekayasaan istilah "Indonesia", "Pancasila", dan "UUD 45" oleh
Orde Baru/Soeharto itu bukan saja tidak lucu, tapi amat jahat. Sampai-sampai
hari penyanderaan Pancasila itu mereka namakan "hari kesaktian
Pancasila", seakan-akan Soeharto itulah "Pancasila".
> TIDAK ADA PRIBUMI DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Ini, walaupun berdasarkan pengertian apa itu "pribumi" sedikit keliru
(Homo sapiens berasal dari Afrika, jadi di seluruh dunia selain sebagian
Afrika Barat-Laut tidak ada "pribumi"), tetapi dapat saya mengerti latar
belakangnya, yaitu akan mengkritik diskriminasi terhadap warganegara
keturunan pendatang. Memang diskriminasi tersebtu perlu ditentang.
Tetapi pada dasarnya judul itu mengandung satu salah kaprah yang terdapat
juga pada keterangan Anda tentang "saudara-saudara di wilayah timur" di
atas tadi. Ini berdasar pada satu anggapan, seakan-akan "Indonesia yang
benaran" itu yang sawomatang. Itu tidak benar. Pengertian "Indonesia"
dalam pengertian nasionalisme gerakan kemerdekaan itu tidak memandang
kepada warna kulit, tidak memandang kepada agama, dan juga tidak memandang
kepada asal-usul pribumi atau pendatang.
Karena itu kita perlu kembali ke perumusan asli tentang pengertian
Indonesia sebagai nama bagi wilayah yang mau diperjuangan kemerdekaannya
itu, sebagaimana yang dirumuskan oleh Suwardi Suryaningrat pada tahun
1918 dulu itu, yaitu: Indonesia itu tidak berdasar pada satu kesatuan
geografis atau etnik, melainkan semata-mata dipandang secara ketata-negaraan
saja merupakan satu kesatuan (slechts in staatkundig opzicht
als een geheel te beschouwen). Kesatuan Indonesia terjadi "kebetulan",
yaitu bukan karena kesamaan budaya atau lain-lain, melainkan semata-mata
karena kebetulan dijajah oleh penjajah yang sama (het bestaan van een en
dezelfde overheersching), sehingga masing-masingnya "kawan senasib" yang
terikat bersama (de band, die de heterogene bevolkingsgroepen van
Nederlandsch-Indië als lotgenooten aan elkander bindt).
Maka dari itupun, orator tersebut memperingati, jangan sampai mencoba-coba
mengkonfrontasikan kebudayaan Jawa terhadap yang lain lain (plaatst het zich
niet tegenover de nationaal-cultureele strevingen in het overige deel van
Indonesië), karena perjuangan nasionalis hanya bisa berhasil kalau tidak
disertai usaha mendominasi terhadap golongan-golongan lainnya (het streven
naar suprematie ten aanzien van andere Indonesische groepen afwezig is),
melainkan harus menuju kepada satu negara kesatuan Indonesia (Indonesische
Staatseenheid), yaitu satu:
<< | .... Indischen staat, waartoe zullen behooren allen, die het Indische
geboorteland als hun vaderland erkennen en al de vreemdelingen, die
zich als Indonesiërs zullen laten naturaliseeren. >> |
( | .... negara Hindiawi, di mana akan termasuk semua orang yang mengaku
tanah kelahiran Hindiawi ini sebagai tanahairnya, dan semua orang asing
yang rela dinaturalisasi sebagai orang Indonesia.) |
Maka yang terakhir inipun menjawab pertanyaan tentang "pri/non-pri" itu,
bukan? Jadi, yang "kurang Indonesia" itu bukan yang "non-pri", melainkan
oknum aparat yang dengan cara apapun mendiskriminasi kawan setanahair yang
"non-pri" itu! Dan apalagi terhadap kawan "pri" yang kebetulan kulit hitam,
baik yang di timur maupun yang di barat, utara, selatan dan tengah. Oknum
aparat begituan itulah pendongkel NKRI yang paling gawat.
Sumber pustaka:
(7) | Surya Ningrat, 1918, "Het Javaansche nationalisme in de Indische
beweging", hal. 27-48 dalam:
Sosro Kartono, Noto Soeroto, Surya Ningrat (eds.), 1918, "Soembangsih"
Gedenkboek Boedi-Oetomo 1908 20 Mei 1918. Amsterdam: Tijdschrift
"Nederlandsch Indie Oud & Nieuw",
lihat sana hal. 28-29, 40, 47-48. |
| |
Yang pokok, hendaknya janganlah turut "mensahkan" pengertian "Indonesia"
a-la Orde Baru/Soeharto, melainkan perlu melanjutkan perjuangan generasi
pendahulu, menegakkan Indonesia dalam konsep asali sebagaimana yang ditujui
gerakan kemerdekaan, dulu melawan penjajah, kini melawan anasir yang masih
melanjutkan konsep Soehartois tentang kenasionalan Indonesia yang memecah-belah
dan diskriminatif itu.
Yah sekian dulu komentar saya. Maaf agak lambat, karena sebagian materialnya
di rumah, sebagian di kantor, begitupun catatan-catatan, harus saya cari-cari
dulu. Moga-moga acuan pustakanya dapat sedikit memenuhi tuntutan Anda.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 7 Januari 2006 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Peringatan 40 Tahun Tritura (Umar Said) |
|
Tanpa mengurangi segala apa yang telah dikemukakan berkenaan
dengan ulang tahun ke-40 "Tri-Tuntutan Rakyat" KAMI/KAPPI itu,
maka sebagai tukang bahasa ada satu aspek lagi yang ingin saya
kemukakan semoga dapat lebih mendalami pengertian arti-penting
TriTuRa itu.
Untuk itu, kita perlu membandingkan "TriTuRa" dengan "TriKoRa"
dan memperhatikan benar maksud penggunaan kata "Rakyat" (-Ra)
pada masing-masingnya itu.
Dengan mengumumkan Tri-Komando Rakyat, Presiden Sukarno berseru
kepada rakyat bangsa Indonesia, merumuskan komando kepadanya
selaku panglima tertinggi. Jadi, "Rakyat" dalam "TriKoRa" itu
adalah "pendengar", "alamat" seruan Bung Karno, pihak yang ditujui
dengan komando tiga itu.
Lain halnya pada "TriTuRa". Di sini oknum-oknum KAMI itu berbicara
"atas nama" Rakyat, seakan dirinya itu rakyat. Artinya, tuntutan
tiga itu tidak dikemukakan atau dialamatkan kepada rakyat, tapi
"rakyat" itulah seakan-akan yang menuntut. Berkenaan dengan itu ada
satu insiden menarik yang sangat tajam mengkhasiati perbedaan
tersebut: pada satu ketika, ada demonstrasi KAMI/KAPPI di depan
Bung Karno sendiri, dimana dari kalangan demonstran berulang ada
yang menyerukan "lapar, Pak!" Akhirnya Bung Karno ketawa, karena
yang mengaku "lapar" itu anak-anak orang kaya yang berkehidupan
menak dan seumurnya mungkin belum pernah mengalami apa itu yang
benar-benar dinamakan lapar.
Jadi, kalau politik Bung Karno itu bagi yang mendukung bersifat
populer, atau oleh pengritiknya mungkin dianggap populistis, maka
TriTura KAMI/KAPPI itu menandai pembalikan watak politik yang
berlaku di Indonesia dari populer/populis (tergantung sudut
penglihatan) menjadi demagogis!
Demagogi yang berdasarkan "quid pro quo" demikian ini kemudian
menjadi merek khas seluruh periode kekuasaan Soeharto, khususnya
dengan pemutarbalikan pengertian "Pancasila", sehingga bisa mengaku
sebagai "pembela Pancasila". Tidak kebetulan, untuk itu harus
mengharamkan tulisan-tulisan Bung Karno, dan terutama "Lahirnya
Pancasila".
Tetapi untuk membuat pukulan mula mendobrak tatanan asli UUD '45
dan Pancasila itu, Soeharto sendiri tidak berani. Untuk itu dia
perlu memperalat pemuda naif KAMI/KAPPI. Baru setelah itu berhasil,
dan dia sudah tidak memerlukan mereka lagi, malah bahkan mulai
mengganggu, maka mereka pun didamprat olehnya (mis. peristiwa Malari).
Sungguh sedih dan kasihan, bukan? Walaupun sebagai pasukan pendobrak
yang membuka jalan untuk rezim demagogis Orde Baru dengan TriTuRa,
mereka itu sendiri pun kemudian dikorbankan oleh tatanan demagogis
itu.
Jadi, arti-pentingnya bahkan dua. Selain sebagai pendahulu demagogi
Orde Baru, juga sebagai pelajaran kepada kelompok politik oportunis
lain yang berangan-angan menarik keuntungan tertentu untuk dirinya
dengan jalan menjual diri kepada golongan militaris.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 24 Oktober 2005 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Fakta-Fakta Keterlibatan PKI Dalam Peristiwa G30S (Hong Gie) |
|
> Entah karena kurangnya pengetahuan atau ingin menyembunyikan fakta
> sejarah, Anda tidak menyebutkan bahwa antara tahun 1950-1956 pemerintah
> Sukarno telah melakukan pembayaran sekitar 4 milyar gulden -baca tulisan ...
Sesungguhnya, antara tahun 1950-1956 di Indonesia, kalau saya tidak
salah hitung, ada enam (6) pemerintah silih berganti (yah, agar tidak
salah, katakanlah sekurangnya 5, paling banyak 7), tetapi tidak satu
pun di antaranya itu pemerintah Sukarno.
Dalam periode tersebut, yang berlaku bukan UUD 1945 yang menetapkan
struktur pemerintahan presidensiil, melainkan yang berlaku itu
mula-mula UUD RIS selama beberapa bulan, kemudian UUD 1950, dan
sesuai rumusan kedua-duanya, yang menentukan dalam kekuasaan
eksekutif itu perdana menteri yang silih berganti. Baru setelah
kembali ke UUD 45, Bung Karno pun jadi kepala pemerintah kembali.
|
Tanggal: | | 4 Juni 2005 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Siswono: Pancasila dan Keberlanjutan NKRI (Yusniar Caniago, 3 Juni) |
|
Menurut penglihatan saya, konsep "Pancasila" dan konsep
"NKRI" adalah dua hal tersendiri yang tidak boleh dicampur
satu sama lain.
Yang lebih tua dalam hal ini adalah konsep negara kesatuan
Indonesia yang tidak berdasarkan ras, sukubangsa, adat,
dan bahkanpun tidak berdasarkan bahasa, melainkan sekadar
berdasar kepada sejarah kenyataan politik yang telah
menyatukan kawasan tertentu kedalam batas-batas wilayah
Hindia-Timur Nederlan alias Hindia Belanda dengan kesatuan
herarkhi administratif, keseragaman tatanan politik, ekonomi,
dan kehukumannya.
Untuk pertama kalinya, konsep ini dikemukakan dalam
makalah Suwardi Suryaningrat (belakangan lebih dikenal
dengan nama Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa)
pada perayaan hari ulang tahun ke-10 Budi Utomo bulan
Mei tahun 1918, kemudian dipublikasi sebagai:
Surya Ningrat, " | Het Javaansche nationalisme in de Indische
beweging", halaman 27-48 dalam Sosro Kartono,
Noto Soeroto dan Surya Ningrat (penyunting),
Soembangsih: Gedenkboek Boedi Oetomo 1908 20
Mei 1918. Amsterdam, 1918. |
Istilah yang dipakai dalam makalah berbahasa Belanda itu adalah
Indonesische staatseenheid, artinya kesatuan kenegaraan Indonesia.
Sesungguhnya, pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi
turut memegang peran penting dalam pembentukan rasa kebersatuan
yang mendasari konsep NKI itu (waktu itu belum -R-), tetapi itu
belum mendapat perhatian seperlunya dalam makalah Suwardi Suryaningrat
tersebut, dan baru ditonjolkan ke muka dalam Sumpah
Pemuda 1928 yang semua sudah kenal.
Tetapi Kongres Pemuda dengan Sumpah Pemuda-nya sudah tentu bukan
kejadian terisolasi, melainkan konsep kesatuan Indonesia sudah
mendapat penerimaan dalam masyarakat yang sedemikian luasnya,
sampai pun jauh-jauh di Kairo, dalam edisi ke-2 (diterbitkan 1928)
Peraturan-peraturan dasar Al-Jamyah al-Khairyah li al-Thalabah
al-Azhariah al-Jawiah itu dalam pasal pertamanya menyatakan:
<< | Perkoempoelan ini bernama "El Djamyah El Chairyah Li El Thalabah
El Azharyah El Djawyah" artinja perkoempoelan kebaikan bagi
penoentoet-penoentoet Indonesia, Semenandjoeng dan Siam di-Mesir.
Terdirinja dikota Cairo Egypt pada 3 Safar 1342, bersetoedjoe
dengan 14 September 1923. >> |
(yang dimaksud dengan "penuntut" itu kira-kira pelajar/mahasiswa).
Artinya, memakai istilah "Indonesia" pengganti "Hindia Belanda",
yang bersama dengan Malaya Inggeris dan bagian selatan Muangthai
(daerah Patani) itu membentuk cakupan kawasan yang penduduknya
dianggap orang al-Jawiah (alias "Melayu tradisional").
Konsep NKI kemudian mendapat ujian real dalam aksi politik kongkret
pada tahun 1939, mula-mula tgl 21 Mei, pada konperensi GAPI (Gaboengan
Politik Indonesia) yang hasilnya kemudian di tingkatkan pada
Congress Ra'jat Indonesia (begitulah ejaannya waktu itu) tgl 23 sampai
25 Desember. Untuk pertama kalinya, seluruh penduduk Indonesia yang sudah
terorganisasi secara politik ataupun sosial, yang merasa diwakili oleh
partai politik ataupun organisasi masyarakat tertentu, baik yang
dari sayap koperasi maupun dari sayap non-koperasi, yang bumiputra
maupun pendatang atau keturunannya, tergalang satu dan sepakat
menyatakan hasrat dan pendapat dalam satu masalah politik yang vital
bagi Indonesia dan sangat penting bagi dunia internasional: kesediaan
memobilisasi diri untuk membela Hindia Belanda kalau diserang, yang
disertai tuntutan agar berhak mendirikan parlemen Indonesia. Dalam pada
itu, wadah massa yang telah bersepakat itu memakai nama diri "Indonesia".
Sampai-sampai, nama kota pada penerbitan hasil konperensi GAPI tersebut
di atas itu tercantum bukan "Batavia", melainkan "Djakarta" (ini pada
tahun 1939!).
Akan tetapi, dalam kalangan Parindra (yang banyak berinisiatif dalam
pengorganisasian konperensi dan kongres tersebut), waktu tahun-tahun
terakhir ada suatu kecenderungan untuk silau oleh warisan Majapahit,
yang tentu saja mudah dimengerti, karena dalam perjuangan nasional
yang berwatak anti-kolonial itu tentu lebih suka diinspirasi oleh
satu kenegaraan pendahulu yang pribumi. Tetapi persatuan teritorial
Majapahit itu satu persatuan feodal, yang sangat beda dengan prinsip
satu kesatuan nasional sebagaimana yang ditandaskan oleh Suwardi
Suryaningrat itu. Baru pada tahun 1945 akhirnya terdapat perdebatan
dengan akhirnya memenangkan kembali konsep kesatuan nasional dalam
batas-batas wilayah bekas Hindia Belanda.
Lain riwayatnya dengan konsep Pancasila. Yang ini kiranya timbul
dalam dua tahap dalam usaha Bung Karno memformulasi satu konsep
untuk mendasari kesepakatan politik gerakan nasional, yang
menurutsertakan semua arus pokok politik yang terdapat di Indonesia.
Ini mula-mulanya melahirkan apa yang kita semua kenal dengan prinsip
Nas-A-Sos yang ditujukan sebagai konsep koalisi politik. Tetapi
Bung Karno tidak berhenti di situ. Beliau kita tahu banyak bacaannya
juga dalam bidang antropologi dan sosiologi (lihat misalnya dalam
"Sarinah" atau dalam kumpulan kuliah untuk mahasiswa). Artinya,
dalam meneliti realitas di sekelilingnya dalam mencari rumus-rumus
tuntas, selalu ada bayangan-bayangan antropologis dan sosiologis
tertentu di belakang kepala. Dan ini kemudian melahirkan Pancasila
sebagai tahap keduanya.
Maka kalau kita baca "Lahirnya Pancasila" dengan teliti, terutama
bagian tempat itu "diperas" menjadi Trisila, kemudian menjadi
Ekasila yang berbunyi "Gotong-Royong", tampaklah bahwa itu satu
perumusan untuk mencamkan prinsip-prinsip solidaritas komunal,
keadilan sosial, dan kealiman beragama. Yang ini masing-masingnya
mengkhasiati ideal-ideal masyarakat kemargaan, masyarakat komunitas
desa, dan masyarakat madani serta perusahaan kekeluargaannya. Dan
masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke itu taraf perkembangan
ekonomi dan struktur sosialnya pada saat peralihan dari jajahan ke
negeri merdeka dulu itu memang terbentuk dari ketiga bentuk masyarakat
itu. Artinya, ini satu pembentukan "koalisi" yang jauh lebih mendalam,
dibandingkan dengan Nas-A-Sos kemarin itu, yaitu satu persekutuan
yang bergerak pada lapisan paling dalam, asasi, atau hakiki daripada
kesatuan nasional bhineka tunggal ika itu. Tidak kebetulan, proses
penemuan atau pendapatan perumusan Pancasila itu oleh Bung Karno
sendiri sering diibaratkan katakerja "menggali".
Orde Baru telah menggantikan prinsip mempersatukan a-la Bung Karno ini
dengan prinsip memaksakan kehendak tunggal dari atas, yang akhirnya
banyak akibatnya yang merusak. Yang paling merusak, dalam hal ini,
adalah penyalahgunaan istilah "Pancasila" sebagai kedok oleh Orde
Baru itu, sehingga sangat mencemarkan konsep Pancasila dalam mata
masyarakat. Seakan-akan Pancasila itu ya cara pememerintahan Orde
Baru itu. Sesungguhnya, 30 September/1 Oktober 1965 itu bukan hari
kejayaan Pancasila, melainkan hari penculikan atau penyanderaan
Pancasila. Ya, sekurang-kurangnya 11 Maret 1966 itu begitulah.
|
Tanggal: | | 18 Mei 2005 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com, nasional-list@yahoogroups.com |
Perihal: | | lagi ttg soal pemaafan |
|
Ternyata aksi sementara tokoh serta yang memandang dirinya tokoh
untuk buru-buru "memaafkan" Soeharto itu juga ada hasilnya yang
positif: orang pada rajin menelaah dosa-dosa orang yang pernah
menjabat sebagai presiden ke-4 RI itu.
Dari semua itu, ada satu masalah yang mungkin bermakna kunci dalam
hubungan aksi "pemaafan" itu. Saya teringat, menjelang Soeharto
"lengser" ada beberapa tokoh Orba memancing pendapat dari publik,
bagaimana nanti memperlakukan Soeharto kalau sudah tidak sebagai
presiden? Waktu itu di salah satu milis pernah saya kemukakan, yah,
itu kan gampang, kenapa kita tidak tanya saja kepada Soeharto itu
sendiri: "Pak, kalau Bapak sendiri, bagaimana yogyanya memperlakukan
seorang mantan presiden?"
Yah, dari semua dosa-dosa Soeharto kepada bangsa dan negara
Indonesia terdapat satu yang, mungkin, dilihat dari volume darah
yang mengalir, tidak termasuk yang paling berat, tetapi dalam
konteks diskusi sekarang ini sangat menentukan: Tidak cukup
dengan menjatuhkan Sukarno dan kemudian menetapkan penahan rumah
mantan presiden pertama RI, Soeharto telah menodai keharuman nama
beliau, meremehkan jasa beliau dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.
Maka ada satu pertanyaan yang mungkin sampai sekarang dilupakan:
Apakah Soeharto sudah minta maaf kepada Sukarno?
Dan apakah sudah menarik kembali di muka umum segala sindiran dan
fitnah terhadap Sukarno yang bahkan masuk buku-buku sekolah?
Jadi, jangan-jangan ada tokoh merasa perlu memberi contoh kepada
Soeharto yang mungkin dianggapnya terlalu pikun: "Begini lho Pak,
caranya minta maaf kepada mantan presiden".
Segugusan dosa-dosa Soeharto yang lain terhadap negara dan bangsa,
yang juga mungkin masih kurang disoroti, adalah dosa terhadap
keutuhan Negara Kesatuan RI. Aparat yang dikerahkan atas perintah
Soeharto untuk menentang segelintir separatis GAM dan OPM ternyata
lebih asyik menggusur perumahan dan merampoki rakyat sehingga justru
mempopulerkan separatisme di kalangan penduduk Aceh dan Irian Barat,
begitupun menggugah gerakan solidaritas di luar negeri untuk gerakan
separatis itu. Di pihak lain, Soeharto melanggar kalimat pertama
mukadimah UUD 45, dan melanggar Prinsip Bandung, membuat RI menjadi
negara penjajah dengan menduduki Timor Timur dengan kekerasan.
Belum puas, Soeharto bahkan memberi hadiah persen sejalur perairan
nasional RI kepada Australia demi untuk "membeli" persetujuan
negeri tersebut atas pencaplokan Timor Timur itu.
Sesungguhnya, kesatuan RI pernah dirongrong oleh lawan-lawan yang
jauh lebih kuat, PRRI dan Permesta yang bahkan mandapat bantuan
senjata dan pesawat pembom, lengkap dengan pilot, dari mancanegara.
Tetapi syukurlah, presidennya waktu itu bukan Soeharto, melainkan
Sukarno, maka gerakan-gerakan yang mulanya kuat itu bisa ditanggulangi.
Lain halnya Soeharto: GAM dan OPM yang mulanya kecil itu malah
mendapat kepopuleran di dalam dan di luar negeri berkat politik
penumpasan a la Soeharto yang terutama mengorbankan rakyat,
dan tidak terlalu menyakiti organisasi separatis itu sendiri.
Selain harus minta maaf kepada bangsa Indonesia pada umumnya, Soeharto
perlu minta maaf kepada rakyat Aceh dan Papua pada khususnya, begitu
pun kepada penduduk negeri tetangga, orang Timor Timur.
Yah, ini hanya sekadar tambahan kepada tumpukan dosa-dosa Soeharto
yang sudah dirinci oleh teman-teman lain.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 20 Februari 2005 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | Dinilai resahkan, kompilasi gender ditolak... (Arif H, 19 Februari) |
|
> ** Draf revisi Kompilasi Hukum Islam itu, menurut Maftuh
> > Basyuni, antara lain berisi tentang pandangan yang
> > memperbolehkan perkawinan antar-agama, selain itu juga
> > mengharamkan poligami.
Menurut pandangan saya, ini dua masalah yang samasekali berlainan
watak dan implikasi agama dan HAMnya, dan tidak seyogyanya kemukakan
dalam satu rancangan revisi hukum (hukum agama ataupun hukum negara).
Dengan dirakitnya kedua masalah itu dalam satu prakarsa revisi
hukum itu terjadilah satu kerancuan yang efek praktisnya hanyalah
kemungkinan besar menggagalkan kedua-duanya.
Dilihat dari konteks agamanya, isu perkawinan antar-agama jelas
bersifat netral, tidak lebih memihak agama satu atau lain, karena
masalah perkawinan antar-agama itu diproblemkan atau pernah atau
sering diproblemkan dalam berbagai agama, tak soal apakah Islam,
Kristen, atau lain. Lagi pula, di Indonesia (begitu pun di negeri
lain) sudah sering terjadi perkawinan antara mempelai yang lain-agama
(kami sendiri yang menulis ini pun berorangtua yang berlainan
agama, dan belum pernah merasa dirugikan oleh hal itu, apalagi
mendapat tanda firasat apa-apa bahwa Tuhan kurang puas dengan
kejadian demikian).
Lain halnya dengan masalah perkawinan ganda (poligami, poliandri)
yang implikasinya tidak sama bagi setiap agama. Kristen dan Yahudi
menetapkan perkawinan monogami dan "monoandri". Islam membolehkan
sampai dengan empat isteri kalau memenuhi syarat-syarat tertentu,
tetapi hanya satu suami. Bagaimana agama Buddha saya kurang tahu,
tetapi agama Hindu kalau tidak salah tidak menetapkan pembatasan
kongkret (kabarnya Drupadi bersuamikan kelima Pandawa).
Oleh karena itu revisi hukum dalam masalah ini bisa ditanggap
orang sebagai memenangkan atau membenarkan Yahudi-Kristen. Tetapi
masalah tidak selesai disini. Penetapan perkawinan tunggal semata-mata
itu telah juga menjadi isu HAM tanpa pendasaran yang memuaskan.
Isu ini berasal dari Eropa dan Amerika yang sama-sama Kristen,
dan aktivis-aktivis HAM yang memelopori pengisuan perkawinan ganda
itu ternyata terlalu dipengaruhi oleh latar-belakang budayanya
yang Kristen.
Sesungguhnya, perkawinan ganda itu pada prinsipnya belum merupakan
pelanggaran HAM, melainkan misalnya pelanggaran hak-hak isteri-isteri
dalam perkawinan poligami itulah yang merupakan pelanggaran HAM.
Soalnya, kalau semua syarat yang ditetapkan dalam agama Islam
terhadap perkawinan poligami itu saja dituruti dengan ketat, akan
sangat jaranglah terjadi perkawinan poligami. Apalagi kalau juga
harus memenuhi tuntutan yang belum tercatat dalam syarat-syarat agama.
Pada umumnya, saya juga menganggap perkawinan yang ideal itu yang
satu suami satu isteri, tetapi ini hanya "pada umumnya". Pada khusus
ada lelaki tertentu yang alamiahnya condong beristeri banyak, dan ada
perpempuan yang senang jadi isterinya di antara yang lain, tetapi
konstelasi secara alamiah demikian relatif jarang terjadi (ada
misalnya di Sicilia seorang beristeri tidak resmi sampai delapan
orang, terkenal dijuluk orang "Khalif"). Begitu pun ada perempuan
tertentu yang alamiah saja jika bersuami banyak, dan lelaki yang
bahagia hidup dalam konstelasi demikian.
Menurut saya, melarang mereka untuk hidup dalam perkawinan demikian,
apalagi memburunya secara undang-undang, sampai pun memenjarakan
(seperti yang terjadi misalnya di Amerika) itu merupakan pelanggaran
HAM yang sangat lebih beratnya, ketimbang tidak diakuinya pasangan
laki dengan laki atau perempuan dengan perempuan sebagai setara dengan
perkawinan hetero (karena perkawinan ganda itu juga menghasilkan dan
membesarkan anak-anak).
Artinya, masalah perlindungan hak gender dalam hal perkawinan ganda itu
mestilah ditujukan kongkret kepada perlindung hak-hak yang sebenarnya,
misalnya dengan adanya hukuman kongkret terhadap pelanggar yang menyalah-gunakan
(sampaipun dimasukkan penjara). Pelarangan kawin ganda itu
sendiri, menurut saya, tidak melindungi hak siapa-siapa.
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 26 September 2004 |
Kepada: | | wahana-news@yahoogroups.com |
Perihal: | | de VOLKSKRANT dan BAMBANG HARYMURTI (Ibrahim Bramijn, 25 September) |
|
> Bagi saya yang menarik dan penting tentunya, ialah, bahwa sebuah koran
> berskala nasional Belanda (Katolik-independen-sering-sering condong ke
> Partai Buruh Belanda), memuat artikel pro-demokrasi yang berfihak pada
> perjuangan jurnalis Indonesia untuk hak-hak demo krasi, dan kaitannya
> dengan Islam.
Memang, menurut saya juga, ini langsung menyangkut tiga masalah yang
sama-sama penting dan aktual bagi terjaminnya demokrasi di Indonesia:
kebebasan pers, kemandirian peradilan, dan pembelaan agama terhadap
rongrongan politik.
Kalau soal pers, memang bangsa Indonesia berbahagia mempunyai tradisi
jurnalistik yang sejak awal abad ke-20 terus-menerus diwakili insan-insan
yang mengemban panggilan wartawan dengan sungguh-sungguh. Jika
ada saat di tengah gelap-gemelap kita dihinggapi sangsi, cukup kita
ingat kembali tradisi jurnalistik di Indonesia, hari pun mulai terang
lagi.
Tapi kalau dalam hal kehakiman, ya maaf ..... Apakah itu Akbar Tanjung
yang luput hukuman, atau Bom Bali yang dinyatakan "pembunuhan biasa",
atau vonnis yang terakhir ini terhadap Bambang Harymurti. Kita yang
di luarnegeri tinggal tutup muka saja, moga-moga tidak ada orang
menyangka kita ini sebangsa dengan si hakim bersangkutan. Ya terlalu
amat benar memalukannya.
Namun di tengah kerunyaman itu ternyata ada juga satu kaitan positif
yang rupanya sampai sekarang belum ada yang memperhatikan, jadi baiklah
saya buka disini. Hubungannya dengan ketetapan "pembunuhan biasa" itu.
Sesungguhnya waktu itu pun sudah mau saya buka, tapi terpaksa menahan
hati, tunggu dulu sampai cadangan waktu untuk naik banding atau
mengajukan sanggahan sudah lewat.
Masalahnya begini: Kemarin si Amrozi senyum-senyum konyol terus, sampai
orang Australia marah, disangka dipermainkan oleh kepolisian Indonesia
(walaupun nyatanya tidak begitu). Senyum si Amrozi dan orang-orang simpel
seperti dia lainnya yang tersangkut pemboman itu ada latar belakang satu:
Dikiranya dia telah berbuat suci dan kini tinggal tunggu taman firdaus
buka pintu untuk dia masuk, dengan dinantikan bidadari-bidadari.
Yah, kalau itu perbuatan syahid, kalau itu pengorbanan diri demi Allah,
ya boleh jadi bisa dapat ganjaran dariNya. Siapa tahu.
Tapi kalau itu cuma sekadar PEMBUNUHAN BIASA, apakah juga masuk surga?
Apakah PEMBUNUH BIASA itu nasibnya tidak malah jatuh dari jembatan
mustakim, langsung masuk neraka? Celakanya, ini bukan sekadar hakim yang
menetapkan, melainkan itu penetapan yang diminta oleh pengacara Amrozi
cs, dan kini telah DITERIMA oleh narapidana-narapidana tersebut.
Jadi mereka sendiri sudah setuju perbuatannya itu PEMBUNUHAN BIASA.
Mungkin ada yang bisa menjelaskan keadaannya kepada mereka. Entah apakah
kemudian masih tetap senyum....
Kadang-kadang, dengan tidak sengaja, hakim Indonesia bisa juga memvonnis
tepat pada sasaran. Atau jangan-jangan, diam-diam memang begitu maksudnya
yang semula? Entah ya.....
Salam, Waruno
|
Tanggal: | | 23 Maret 2003 |
Kepada: | | wahana@centrin.net.id |
Perihal: | | Globalisasi Suatu Strategi Penjajahan Bentuk Baru |
|
> Kepada sdr Waruno Mahdi, sdr Arief Budiman dan kalau mungkin ada
> waktu sdr Kwik Kien Gie, kami redaksi Wahana meminta dengan hormat
> untuk menulis tanggapannya atas telaah Dr Darsono di bawah ini.
Waduh, kalau sampai diminta dengan hormat, yah, apa boleh buat... :-)
Bung Hardoyo dan teman-teman TRW lainnnya yang baik,
Maaf lama sekali baru memberi reaksi, tak lama setelah masuk risalah
Dr Darsono itu, saya seminggu lebih tidak di tempat, dan setelah
kembali pun bertumpukan pekerjaan. Kemudian setelah sedikit menulis
yang di bawah ini, terpaksa saya parkirkan kembali di garasi alias
gudang selama beberapa minggu, dst., dst.
Kebetulan saya belum membaca buku Lexus & Pohon Zaitun tulisan
Thomas Friedman yang ditanggap oleh Dr Darsono itu. Saya yakin
bahwa itu sangat patut dibaca, dan sekiranya bola bumi tiba-tiba
memperlambat perputarannya sehingga sehari itu menjadi 36 jam,
saya pasti membacanya.......
(bagi yang berminat, lihat http://www.lexusandtheolivetree.com/)
Karena itu, akan sekadar saya komentari cuplikan-cuplikan sajalah
dari tanggapan Dr Darsono tanpa lebih dulu membaca Friedman asli.
Maaf, ya, komentarnya bisa-bisa menyimpang dari sasaran karena
salah tangkap tulisan asli yang belum dibaca.
> Sejarah bangsa-bangsa di dunia adalah sejarah perang yang
> berbasis kepentingan ekonomi. Perang itu meliputi perang senjata,
> perang ekonomi, perang sosial, perang politik, dan perang budaya.
Membaca ini, saya teringat kepada ucapan Karl Marx bahwa sejarah
masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Belakangan
diperkongkritkan lagi, bahwa yang dimaksud adalah khusus periode
sejarah, artinya, yang tidak termasuk periode pra-sejarah.
Kalau kita perhatikan, bahwa peralihan masyarakat tak berkelas
menjadi masyarakat berkelas, artinya bertingkatan, itu berlangsung
dalam periode pra-sejarah, maka, periode sejarah itu memang sekaligus
merupakan periode perkembangan masyarakat berkelas. Tetapi, bahkan
pun kalau hubungan antar-kelas kita isyaratkan sekadar sebagai
"perjuangan", maka tetap saja cuma akan bisa menyatakannya secara
sepihak.
Karena kelas-kelas itu selain berperbedaan kepentingan, sekaligus
juga berpersamaan kepentingan. Kepentingan mereka itu jalin jemalin,
karena konstelasi kelas-kelas dalam masyarakat itu merupakan satu
kesatuan yang baru berurai benar dalam proses peralihan ke tatanan
lain yang berkonstelasi kelas yang baru. Artinya, kemungkinan
manifestasi perjuangan kelas sebagai suatu perang itu baru menjadi
akut pada masa peralihan demikian itu, atau kalau timbul krisis oleh
sebab yang lain. Karena itu, saya agak kaget membaca kata-kata yang
entah apakah dari Dr Darsono ataukah dari Thomas Friedman itu.
Sesungguhnya, kata "perang" itu berarti penyelesaian suatu sengketa
dengan jalan bersenjata. Artinya, "perang" itu sudahlah apa yang
oleh penulis disebut "perang senjata", tidak perlu lagi diembel-embelkan
kata "senjata". Dalam ungkapan-ungkapan selanjutnya, kata
"perang" itu disini dipakai secara kias, sebagai pengganti kata
"perjuangan" atau "pertentangan". Ini sama kiasnya seperti penggunaan
kata "perang" dalam ungkapan "perang dingin" (artinya perang "aneh"
yang tidak secara langsung memakaikan senjata-senjata yang ada,
melainkan masing-masing pelaku sekadar pelotot-pelototan sambil
memamerkan senjata mutakhirnya yang siap untuk dipakai tetapi toh
tidak dipakai).
Sebagaimana penulis itupun ternyata maklum (karena kita baca: "perang
... berbasis kepentingan ekonomi..."), itu satu penyederhanaan yang
dapat dipahami sebagai "senjata" kiasan bahasa sastra untuk mempertajam satu gambaran.
"Senjata" pengias ini berarah mengemosionalisasi
masalah. Maka dari itu, dalam suatu telaahan yang akan menganalisis
keadaan faktual tanpa pembiasan emosional, ini agak berbahaya.
Artinya, bisa (dan biasanya memang) menyesatkan penganalisis ke suatu
gambaran struktural yang timpang, serong, bahkanpun sampai berkebalikan
dengan yang sesungguhnya.
Dan memang, "penyalahgunaan" kata sebagai alat kias itupun di luar
dugaan penulisnya menggeser menjadi satu quid-pro-quo semantik yang
menyesatkan penulis itu sendiri, karena kemudian, "perang"-lah hakekat
bersama atau saripati yang tampak baginya pada segala apa yang telah
dinamakannya "perang senjata", "perang informasi", "perang kapital"
dst. itu.
> Kaum penjajah yang tergabung dalam negara-negara kapitalis dan
> kolonialis menyadari bahwa hakikatnya perang senjata yang dilakukan
> adalah tidak efektif dan tidak efisien. Mereka mencari jalan baru
> untuk menguasai dunia. .... menguasai dunia dengan model baru
......snip....
> Hakikat perang modern adalah perang kapital, karena kapital sebagai
> faktor utama untuk membiayai kegiatan intelijen dan militer. .....
Kesesatan cara analisis yang bertumpu pada pengumpamaan kias macam ini
ialah bahwa penarikan kesimpulan yang secara formal tampaknya benar dan
logis itu sejak semula tidak dapat diharapkan menuju satu pengertian
yang tuntas. Adapun, yang akan membuat keliru disini bukan logikanya,
melainkan syarat mulanya yang timpang. Maka pembacapun mudah terjebak,
karena logikanya itu sendiri "kok ya kayaknya sih ya benar......"
Udangnya tersembunyi di balik batu perumpamaan mula yang kias, artinya,
yang tidak real.
Dari penelaahan demikian, yang tampak sebagai dasar hakiki itu
"perang", sedangkan segala sesuatu yang lainnya, yaitu "perang
senjata", "perang informasi", "perang kapital" dll. itu sekadar
sebagai perwujudan-perwujudan kongkrit daripada "perang" yang
mendasar-bawahi segalanya itu. Maka, penanganan setiap perwujudan
kongkrit itupun mestilah sesuai dengan alam dan gejala spesifik
daripada "perang" itu. Memang demikianlah logikanya seorang
Usamah bin Ladin menghadapi AS yang dianggapnya musuh, dan sayangnya,
demikian pula kesannya logika Donald Rumsfeld (dan George W.) akan
menghadapi terorisme internasional.
Dalam kenyataan, peralihan "siasat" kolonialis itu gejalanya
bukan tidak lagi berperang(-senjata) apakah Perang Aljazair
itu tidak dalam dasawarsa 1950-an, begitupun Perang Suez (persekutuan
Britania-Perancis-Israel melawan Mesir, menduduki terusan Suez),
sedangkan AS sendiri melibatkan diri dalam Perang Vietnam sampai
dasawarsa 1970-an? Sekarang pun, ada tuduhan bahwa ancaman perang
terhadap Saddam Husain itu terutama akan menjamin kontrol terhadap
sumber minyak di Irak.
Peralihan pasca-kolonial yang sesungguhnya itu bukan pembatalan
perang, melainkan pemmbatalan subordinasi politik langsung
kawasan tertentu secara administratif, dan penggelaran jalan baru
mengeruk laba dari wilayah tersebut lewat jalur-jalur ekonomi
dengan berdasar pada keunggulan teknologi dan daya modal, tanpa
penundukan langsung administrasi pemerintahan di suatu wilayah
(sungguhpun dengan tetap mencadangkan kekuatan bersenjata yang dapat
diterapkan atau yang penerapannya sekurangnya dapat digertakkan).
Ini kita sudah kenal lama sebagai peralihan dari kolonialisme ke
neokolonialisme. Tetapi sejak krisis minyak di pertengahan dasawarsa
1970-an, itu sajapun sudah menjadi sejarah masa lampau.
Dari von Clausewitz kita sesungguhnya sudah mengetahui bahwa perang
itu lanjutannya politik dengan alat-alat yang lain (artinya juga,
bukan politiklah yang merupakan pengejewantahan perang, melainkan
sebaliknya). Sedangkan politik, sebagaimana juga kita ketahui,
termasuk bangunan atas yang bangunan bawahnya itu ekonomi. Jadi,
dalam kesungguhannya, perang itu di paling ujung belakang, sedangkan
pangkal mula atau yang asasi itu ekonomi, sebagaimana Dr Darsono
sendiri sesungguhnya sudah juga mencatat ("perang ... berbasis
kepentingan ekonomi...").
Maka, mengingat bahwa kapitalisme itu satu cara kongkrit berekonomi,
lumrah juga bahwa "pertentangan kapital" itu ciri atau watak bangunan
bawah. Apabila ini terkadang sampai berwujud sebagai suatu "perang",
maka mestilah sebab-musebab dan begitupun jalan-jalan untuk
mengatasinya itu dicari pada latarbelakang ekonominya, khususnya
yang berwatak "pertentangan kapital" itu.
Berkebalikan penuh dengan satu gambaran bahwa "perang" itulah asas
hakiki daripada "perang kapital" dan segala hal lain, bukan?
Sesungguhnya, kalau orang bertanya, "kenapakah di dunia ini mesti
ada perang? (baik yang kapitalis, feodalis, ataupun lain)", maka
jawabannya haruslah dicari dalam ekonomi. Sejak Zaman Batu, timbul
perang itu berpangkal mula pada perjuangan menguasai dan menjamin
sarana nafkah. Sedangkan kalau kita sampai heran, kenapa di dunia
ini mesti ada "perang kapital", mustahil akan menemukan jawabannya
dengan sekadar mendalami buku-buku pelajaran taktik dan strategi
perang.
> Menurut Friedman, dunia saat ini adalah dalam era globalisasi
> kedua, yang dimulai sejak tahun 1989 setelah Amerika ...
...snip...
> power yang mampu menguasai dunia dengan kekuatan Poundsterling dan
> Angkatan Lautnya (kekuatan kapital dan militer).
Nyatalah, Friedman pun, walaupun memajukan arti penting angkatan laut,
terpaksa juga menyebut kekuatan Pound Sterling sebagai faktor ekonomi.
Maka kalau kita lacak sampai awal kejayaan Britania Raya, apakah
karena ekonominya kuat berkat angkatan laut, ataukah angkatan lautnya
ampuh berkat ekonominya, akan nyatalah bahwa sejarah keunggulan Union
Jack itu adalah sejarah perkembangan ekonomi kapitalis.
Adapun, dalam "penjadwalan" proses globalisasi oleh Friedman itu, saya
rasa pembagian atas dua era itupun terlalu disederhanakan. Dalam Zaman
Batu Baru saja, perdagangan sudah melintasi benua. Galian-galian
arkeologi menunjukkan bahwa misalnya di Eropa ada barang dari Laut
Baltik muncul di Laut Tengah dan sebaliknya; begitupun, ada barang
dari pantai timur Afrika mencapai pantai baratnya dan sebaliknya;
barang dari India bisa muncul di Siberia, dsb..
Sejak awal Zaman Logam, perhubungan antar-etnik menjangkaui jarak makin
jauh (misalnya hubungan diplomatik antara Tiongkok dengan Babilon).
Perdagangan dan pengangkutan jarak jauh pun makin gencar.
Sutera Tiongkok sampai di Roma, dan mata uang Romawi ditemukan di
penggalian pelabuhan Ok Eo pada lapisan zaman Funan (Kamboja).
Sejak abad ke-2 s.M. saja, terutama berkat pelayaran pelaut-pelaut
yang berbahasa Melayu, cengkih (asal Maluku Utara) mencapai Tiongkok
dan India, kapur barus (asal Sumatra) mencapai Mesir dan tak lama
kemudian pun sampai di kawasan Yunani. Sebelum itupun, orang Funisia
(kini Libanon) mengambil timah dari Sepanyol dan Britania lewat jalan
laut. Pada abad ke-9, pelayar dari az-Zabaj (tanah Melayu) dilaporkan
mengambil biji besi dari Sofala (Mozambik), sedangkan kapal-kapal
Arab dan Parsi kerap berlabuh di Guangzhou (Kanton).
Akibat kait-mengaitnya ekonomi dalam jaringan tertentu, berkembang
pula hubungan politik, terjadi gabungan-gabungan wilayah luas di
bawah satu pusat (Parsi, Yunani masa Iskandar Agung, kerajaan Asyoka,
Tiongkok masa rajakula Qin, kekaisaran Romawi, Sriwijaya, Khalifat).
Lebih menyolok lagi berkembangnya lingkungan-lingkungan budaya yang
luas: Hindu dari Pakistan sampai Luzon; Buddha dari Afghanistan dan
Srilangka sampai Jepang; Romawi dari Mesir sampai Britania; Islam dari
Sepanyol sampai Ternate-Tidore. Bersamaan dengan itu ada bahasa-bahasa
yang menjadi "internasional" baik dalam ukuran besar sekali (Sanskerta,
Latin, Arab), maupun lebih terbatas (Tionghoa, Melayu).
Saling kait-mengaitnya proses-proses historis ini tampak lagi misalnya
ketika armada Tionghoa rajakula Ming mejadi aktif di perairan Nusantara
dan Lautan Hindia. Laksamananya yang bernama Zhenghe (Keng-Ho) itu
orang Islam. Dunia budaya Arab-Islam waktu itu selain meliputi kawasan
dari Kordoba (Sepanyol) sampai Perlak (Sumatra) dan Tidore-Ternate itu
juga mempengaruhi perkembangan perniagaan, pertukangan, dan hal-hal
budaya lain dalam satu kawasan lebih luas lagi: dari Eropa Utara di
Barat Laut, dan Afrika Sub-Sahauri di Barat Daya, sampai Tiongkok di
Timur. Sehingga nyatalah waktu itu semacam globalisasi di "Dunia Lama",
hanya "Dunia Baru" (Amerika) sajalah yang belum terjangkau.
Ini baru ancar-ancar saja daripada globalisasi yang diartikan sekarang,
karena belum berasaskan kapital. Tetapi ancar-ancar ini sudah mengandung
bibit-bibit globalisasi kapital itu: di periode sekitar awal tarikh
Masehi sajapun, di pusat-pusat perniagaan dalam lingkungan-lingkungan
budaya Timur Dekat, kemudian juga di India dan Tiongkok, timbullah
macam pelaku ekonomi baru, yaitu pelepas uang, protipe daripada bankir
periode kapitalisme (masih tercermin dalam bahasa Indonesia kosakata
seperti "ceti" dan, agak lebih baru, "cukong").
Dalam kelanjutannya, makin meluaslah jaringan ekonomi yang mengenal
adanya oknum yang menjamin pendanaan perniagaan ini, sehingga makin
leluasa pulalah kegiatan pelaku-pelaku utama perniagaan, yang misalnya
dalam Bahasa Melayu Kuno zaman Sriwijaya dinamakan "baniaga" (pedagang)
dan "puhawang" (juragan kapal). Kawasan perputaran berbagai rupa mata
uang pun tidak lagi terbatas pada wilayah satu negara. Akhirnya, dalam
Undang-undang Malaka (abad ke-15), bagian Hukum Orang Berniaga, pun
ada pasal-pasalnya, misalnya mengenai perjanjian pembagian laba antara
pemberi dan pemakai modal:
| « |
Fasal yang ke-33 pada menyatakan hukum peri memberi modal kepada
seseorang:
Bahwa berkata yang memberi emas itu kepada yang disuruhnya itu:
"Ambil olehmu dinar emas atau perak, perniagakan olehmu, labanya
akan kita, akan engkau sekian labanya", hendaklah ditentukan laba
perniagaan harta itu. Antara itu binasa atau rugi, tiadalah dapat
menyilih perniagaan itu atau hilang harta itu tiada dengan tafsirnya.
Bermula tiada harus berjanjinya akan membayar hutang itu di benua
lain atau terlebih ia membayar daripada asalnya. Jika mengutang
tiada dengan berjanji, kemudian dibayarnya terlebih, iaitu tiada
mengapa, jikalau ada perniagaan itu dengan labanya.» |
|
(sumber: Liaw Yock Fang, Undang-undang Melaka. Bibliotheca Indonesica
vol. 13. The Hague: Martinus Nijhoff, 1976; pada hlm. 146). |
|
Adapun, sejak paling permulaannya, pada pemegang fungsi baru yang
vital bagi berkembangan perniagaan dan kerajinan taraf terkembang ini
sudah melekat citra yang negatif. Pelepas uang itu diibaratkan lintah
darat. Bahkan pedagang yang turut memanfaatkan "layanan" pelepas
uang itu sekaligus juga sering membenci mereka. Maka Nabi Muhammad
pun, yang berlatar belakang marga Kuraisyi yang terutama aktif dalam
perniagaan itu, mengecam pemakanan riba. Serupa juga dengan itu sikap
reformator Protestan, Martin Luther, yang menggugat riba (bhs. Jerman
"Wucher"). Pujangga Inggeris Shakespeare tidak ketinggalan, mencorakkan
lakon lintah darat bernama Shylock dalam sandiwara "the Merchant of
Venice".
Segalanya itu mengingatkan pada sikap negatif terhadap lakon kapitalis
dalam kedua abad yang baru lalu. Sedangkan yang paling dipandang
negatif di antaranya semua itu yalah yang dulu dalam bahasa Perancis
disebut "rentier", orang yang pendapatannya semata-mata dari bunga
modal dan dividen perseroan (oknum yang dianggap tidak menyumbang
upaya positif, melainkan mempergunakan perputaran yang ada sebagai
suatu perjudian). Maka, bukankah gejala ekonomi yang paling banyak
mendapat kecaman pada zaman modern ini tidak lain daripada globalisasi
persahaman?
Maafkanlah kalau saya membosankan dengan penggalian sejarah yang
tampaknya tak punya hubungan langsung dengan inti persoalan ini.
Tetapi ini memang ada udangnya yang di balik batu:
Maksud saya pertama-tama menunjukkann bahwa globalisasi yang kita
lihat pada zaman sekarang ini bukanlah suatu gejala aneh atau
luar-alamiah yang lahir dalam unek-unek budi akal orang "Barat",
Amerika atau Eropa. Justru sebaliknya. Hal itu suatu kensekuensi
alamiah daripada perkembangan ekonomi, yang notabene "menular"
secara berangsur-angsur melalui dunia Arab-Islam ke Eropa.
Mendekati akhir Zaman Pertengahan, alur perniagaan pokok yang
mencapai Eropa itu melalui Timur Dekat dan Laut Tengah ke Italia,
Perancis Selatan, Sepanyol, dan Portugal. Maka di Eropa pun,
fungsi pelepas, sebagai sumber pemodalan perniagaan dan pendanaan
rumahtangga raja-raja itu berkembang di Italia. Tidak kebetulan,
istilah-istilah perbankan Eropa seperti "konto", "saldo", bahkan
"bank" (banco) itu sendiri, berasal dari bahasa Italia ("banco"
berarti bangku, maksudnya bangku tempat pelepas uang duduk untuk
didatangi oleh si-peminjam). Tentu saja, keuangan dan pendanaan
hanya bisa berperan apabila perniagaan dan kerajinan/pertukangan
sudah mencapai taraf cukup terkembang. Jika pengaruh dari dunia
Arab-Islam itu ternyata merangsang perkembangan perbankan di Italia,
pasti lebih dulu merangsang perniagaan dan kerajinan/pertukangan
(nyatanya, istilah seperti "tarif" atau "arsenal" yang asal bahasa
Arab itu masuk bahasa Eropa lewat bahasa Italia).
Adapun, perkembangan di Italia itu belum lebih maju benar ketimbang
yang di Asia. Tetapi, sejak kira-kira tahun 1500, mulailah jalur pokok
perniagaan dari Timur ke Eropa itu pindah, tidak lagi lewat Timur Dekat
dan Laut Tengah, melainkan mengubengi Tanjung Harapan, menempuh Lautan
Atlantik sampai Eropa Barat (Portugal, Nederland, Britania). Akibatnya, pusat
.... [tidak sampai selesai]
> Era ini melahirkan Perang Dunia Pertama dan melahirkan Revolusi Sosial > di Rusia pada tahun 1917 yang dimenangkan oleh kaum sosialis ...
...snip...
|