Broadcast on Maluku-Net mailing list <maluku-net@lava.net>: (1) Mon, 17 Nov 1997 10:12:20 +0100 (2) Mon, 17 Nov 1997 17:34:19 +0100 (3a) Wed, 19 Nov 1997 20:12:52 +0100 (3b) Sat, 22 Nov 1997 20:45:19 +0100 Re-edited and mounted: May. 8, 1998
Kenapa gembira: Saya merasa gembira akhirnya ada putera dari Irian Barat maju dengan suara tenar memperjuangkan hak dan kepentingan orang Irian di MalukuNet dan juga di lain tempat. Sekaligus pada kesempatan ini mau saya sampaikan perasaan syukur kepada keberhasilan aksi yang berani dan penuh risikonya Bung Ottis waktu masuk kedutaan besar Nederlan di Jakarta. Saya tahu benar, kebengisan dan kekejaman aparatur kekerasan pemerintah Soeharto dalam menganiaya orang-orang yang berani memperjuangkan hak yang sah sukubangsa seperti halnya Bung Ottis. Dari itu saya perlu angkat topi kepada Bung Ottis, begitupun kepada kawan-kawan seperjuangan Bung.
Kenapa sedih: Karena di luar kesalahan Bung serta kawan-kawan, Bung telah merasa hanya bisa membayangkan haridepan orang Irian Barat yang lepas dari warganegeri Indonesia lainnnya, sehingga dengan demikian menghadapi si-penindasnya itu secara sendiri, lepas dari kawan-kawan senasib di seluruh wilayah RI yang juga berjuang melawannya.
Perlu saya jelaskan lebih dulu, bahwa bagi saya tidak penting Bung masuk ras mana. Ras Bapak saya adalah 7/8 "Melayu", 1/16 "Cina", 3/64 "Eropa", dan 1/64 "Semit". Ras Ibu saya 7/8 "Eropa", 1/16 "Cina", 1/16 "Keling". Yang disebut "Melayu" dan "Eropa" ini masih terperinci lagi masing-masing-nya atas banyak sukubangsa. Kalau Tuhan menginginkan ada puteri Irian menculik hati saya, dan memberkati anugerah supaya kami dapat anak, maka anak ini akan 1/2 ras yang Bung sebut "Melanesia" dan 1/2 ras gado-gado seperti yang bisa Bung hitung sendiri berdasarkan data di atas. Tapi apakah akan begitu atau tidak, itu tidak ada akibatnya terhadap kenyataan, bahwa bagi saya, Bung bukan orang "lain". Bagi saya, Bung adalah kawan setanahair yang telah menderita ditindak oleh pihak yang sama seperti yang tidak saja telah menindak saya dan banyak kawan-kawan setanahair saya dari pulau-pulau lain rangkaian zamrud yang bertabur dari Sabang sampai Merauke, tapi telah bahkan menindak tanah persada rangkaian zamrud itu sendiri.
Bung Ottis telah secara jujur dan terus terang mengajukan pokok-pokok yang menjadi dasar pendapat Bung, dan saya berterimakasih untuk itu. Maka adalah kewajiban saya untuk juga secara jujur dan terus terang mengajukan dasar-dasar pendapat saya yang berselisihan dengan pendapat Bung. Ini bukan akan mengajak berkelahi dengan Bung, melainkan karena itu saya rasakan sebagai kewajiban saya dalam rangka setiakawan kepada seorang kawan setanahair dan kawan seperjuangan.
Tetapi, pada waktu itu di Nusantara masih terdapat kebiasaan biadab menangkap orang untuk dijadikan budak, di antaranya juga orang Irian.[note 2] Oleh karena itu, istilah orang Pepuah itu pemakaiannya sampai pada abad ke-18 dan juga belakangan dari itu serupa dengan penggunaan kata nigger dalam bahasa Inggeris Amerika Serikat.
Setelah Indonesia menjadi merdeka, pemuka-pemuka bangsa kita yang mendapat keterangan dari ahli-bahasa tentang watak menghina istilah Papua itu dalam bahasa Melayu, lalu memutuskan tidak lagi memakai istilah itu. Sebagai penggantinya, dipakailah istilah Irian yang pertama kalinya diusulkan oleh Frans Kasiepo pada Konperensi Malino tahun 1946. Sebagai orang Indonesia angkatan yang pernah mengalami perkembangan ini, dan juga sebagai seorang ahli bahasa, maka saya kalau sedang berbahasa Indonesia kurang dapatlah membolehkan istilah Papua itu lepas dari mulut untuk menyebut orang Irian, sebagaimana halnya saya tidak akan boleh mengucapkan kata nigger terhadap seorang Afro-Amerika. Hanya dalam nama negara PNG, terpaksa istilah itu dipakai, karena itu menjadi nama yang telah ditetapkan oleh negara tetangga yang berdaulat penuh menetapkan nama resminya, dan saya megucapkannya sebagai istilah asing. Seperti juga saya tidak keberatan menggunakan istilah Papua kalau sedang berbahasa Inggeris, karena dalam bahasa Inggeris istilah itu tidak menghina. Tapi kalau berbahasa Indonesia dan akan menyebut sesama anak negeri yang setanah seair ini, saya tidak merasa lumrah akan menamakannya orang Papua. Moga-mogalah Bung Ottis dapat memahami dan memaklumkan motivasi saya dalam penggunaan atau tidak-penggunaan istilah-istilah ini. Mungkin di kalangan anak muda jaman sekarang, akibat pengaruh bahasa Inggeris, sudah lebih lumrah memakai istilah Papua itu, tapi bagi orang tua bongkok seperti saya ini, hati tidak tenteram kalau menggunakannya.
Nah setelah menyelesaikan bagian formalitas peristilahan, bolehlah kita masuk ke inti persoalan. Dalam pada ini boleh kita bedakan dua bagian besar dalam serba-serbi faktor-faktor yang turut berperan: yaitu faktor-faktor de jure, dan faktor-faktor de facto. Tentu saja, yang paling penting dan menentukan adalah faktor de facto. Maka dari itu, baik saya mulai dengan faktor de jure supaya itu selesai dan tidak mengganggu lagi dalam penelaahan persoalan yang benar-benar, yaitu yang de facto.
Konsep satu negara kesatuan Indonesia dalam batas-batas wilayah apa yang waktu itu masih disebut Hindia Belanda itu diajukan pada satu pertemuan atau upacara resmi untuk pertama kalinya pada perayaan HUT ke-10 Budi Utomo pada tahun 1918, dalam makalah Suwardi Suryaningrat yang belakangan lebih dikenal dengan nama perjuangan Ki Hajar Dewantara (pendiri persekolahan Taman Siswa). Pernyataan in adalah hasil 10 tahun pengalaman pergerakan Budi Utomo, yang mulai dengan pemajuan kebudayaan Jawa, dan lambat laun bertatapan dengan kenyataan yang menunjukkan, bahwa keselamatan sukubangsa Jawa tidak terpisahkan dari keselamatan segenap sukubangsa yang terkumpul dalam wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, disimpulkannya bahwa perjuangan orang Jawa tidak boleh pisah dari perjuangan sukubangsa lain, melainkan harus melebur bersama yang lain itu dalam satu perjuangan bersama orang Indonesia.
Het is de liefde voor ons aller vereenigd vaderland, dat nu nog Nederlandsch-Indie heet. Het Indisch nationalisme is het wachtwoord in onze broederschap. Schouder aan schouder staan de Sumatranen, de Minahassers, de Amboineezen, de Javanen en alle andere overheerschte groepen van Indonesie, bereid en gereed tot den strijd voor ons gemeenschappelijk welzijn, voor ons allen ideaalTujuan perjuangan itu dinyatakannya haruslah satu negara Indonesia kesatuan (Indonesische Staatseenheid; hlm 47) yang tidak berdasarkan ras atau sukubangsa tertentu, bahkan juga bukan asal pribumi, melainkan juga menurutsertakan orang peranakan asing di Indonesia yang suka menjadi warganegerinya. Pada hlm. 48 kita baca:
[ hlm. 29 dalam:
Surya Ningrat, 1918 "Het Javaansch nationalisme in de Indische beweging", hlm. 27-48 dalam "Soembangsih", Gedenkboek Boedi-Oetomo 1908-20 Mei-1918. Amsterdam: Nederlandsch Indie Oud & Nieuw](Adalah rasa cinta akan tanahair bersatu kita semua, yang sementara masih bernama Hindia Belanda. Nasionalisme Hindiawi adalah semboyannya dalam persaudaraan kita. Bahu-membahu berdirilah orang Sumatra, orang Minahasa, orang Ambon, orang Jawa dan semua golongan-golongan Indonesia lainnya yang terjajah itu siap sedialah untuk memperjuangkan keselamatan kita bersama, demi idam-idam kita semua.)
... Indischen staat, waartoe zullen behooren allen, die het Indische geboorteland als hun vaderland erkennen en al de vreemdelingen, die zich als Indonesiers zullen laten naturaliseeren."Artinya, pengertian "orang Indonesia" ini jelas bukan warga sukubangsa, atau ras, atau lain lagi, melainkan warga negara Indonesia yang multi-etnik.(... negara Hindiawi, dimana akan termasuk semua orang yang mengaku tanah kelahiran Hindiawi ini sebagai tanahairnya, dan semua orang asing yang rela untuk dinaturalisasi sebagai orang Indonesia)
Dalam dasawarsa berikut lagi, gagasan idiel satu kebangsaan nasional se-Indonesia ini makin mengongkrit dalam tekad kesediaan anak negeri seluruh wilayah Hindia Belanda untuk membelanya, kalau perlu bahkan dengan senjata. Tekad bulat ini mengalami perumusan resmi pada tahun 1939, pada Kongres Rakyat Indonesia di Betawi (Jakarta), yang berkumpul berkenaan dengan ancaman bahaya Perang Dunia II, dimana ada kemungkinan negerinya bisa diserang oleh Jepang. Kongres itu, dimana turut serta wakil-wakil praktis semua partai dan organisasi masyarakat, yang dari sayap "koperasi" maupun dari sayap "non-koperasi", yang pribumi maupun yang peranakan asing, yang Islam maupun yang Kristen, dari segenap pelosok negeri yang penduduknya waktu itu sudah berorganisasi masyarakat atau berpartai politik, merupakan majelis atau perwakilan rakyat seluruh wilayah "Nederlandsch-Indie" yang paling lengkap dan paling representatif dari segala-galanya yang pernah berkumpul dalam seluruh sejarah kolonial negeri ini. Kongres Rakyat Indonesia 1939 ini melahirkan satu resolusi yang diterima secara bulat, yaitu menawarkan kepada pemerintah Nederland bahwa partai-partai dan organisasi-organisasi ini menyanggupkan untuk memobilisasi seluruh pendududuk negeri untuk bangkit membela wilayah Hindia Belanda kalau diserang oleh Jepang. Sebagai gantinya, resolusi Kongres itu hanya mengajukan satu syarat, yaitu pengakuan hak bagi rakyat Indonesia untuk mendirikan satu Parlemen yang dipilih secara demokratis, dibawah naungan Ratu Nederlan. Sayang sekali, tawaran ikhlas rakyat Indonesia ini waktu itu ditolak oleh pemerintah Nederlan. Maka waktu Hindia Belanda kemudian benar-benar diserang Jepang, walaupun dibela mati-matian oleh pasukan-pasukan pribumi dalam KNIL, tapi apa daya, dalam waktu dua minggu saja selesai, dan seluruh wilayah itu diserahkan oleh Gubernur Jendral kepada Jepang tanpa syarat. Bayangkanlah, bagaimana bisa lainnya sejarah Perang Dunia II, sekiranya rakyat Indonesia yang waktu itu dari Sabang sampai Merauke lebih dari 60 juta tidak ditolak tawarannya untuk turut perang pada pihak Sekutu!
Yang jelas, Bung Ottis silahkan melihat sendiri, konsep kesatuan Indonesia dalam batas-batas wilayah bekas Hindia Belanda ini bukan sesuatu yang dipaksakan dengan bayonet atau ancaman penjara oleh "orang Jawa", bukan satu ide Bung Karno waktu akan memproklamasikan kemerdekaan, melainkan timbul dan merajalela dalam penduduk seluruh negeri yang sudah turut dalam penghidupan politik dan sosial modern secara spontan dan sukarela, dan mencerminkan benar aspirasi penduduk, dan menjelang Perang Dunia II sudah sedemikian maju taraf konsolidasinya, sehingga bisa berbicara dengan satu suara dalam menghadapi satu krisis internasional. Dalam hal itu, orang Jawa sendiri bukan yang paling depan dalam memperjuangkan kesatuan Indonesia ini. Pada masa mula, di kalangan organisasi pemuda Jong Java, dan juga dalam organisasi-organisasi orang Jawa lainnya, masih lama sekali dipersoalkan apakah harus menomorsatukan kepribadian Jawanya dulu, ataukah meleburkan diri dalam satu Indonesia kesatuan.
Bung Ottis tentu saja boleh keberatan, mengingat penduduk Irian Barat waktu itu sebagian besarnya mungkin belum tercakup dalam kehidupan budaya se-Indonesia, sehingga boleh dikatakan mereka itu terseret masuk tanpa ditanya lebih dahulu. Tapi keadaan dualisme dalam taraf perkembangan budaya ekonomi ini bukan satu ciri yang terbatas pada Irian Barat, melainkan merupakan ciri khas seluruh Indonesia. Artinya:
Perlu diperhatikan, bahwa pemerintah Nederlan waktu itu belum mengakui istilah Indonesië sebagai nama negeri, melainkan tetap menyebutnya Nederlandsch-Indië. Baru pada tahun 1948, setelah Ratu Juliana waktu naik tahta menggunakan istilah Indonesië, barulah nama resmi ini diterima oleh pemerintah Nederlan secara resmi sesuai Staatsblad Kerajaan Nederland 1948 I 409, dan Staatsblad voor Ned.-Indië 1948 No. 225. Apa boleh buat, di Indonesia sendiri segenap penduduk sudah menyebutnya Indonesia, dan di dunia internasional pun nama itu saja yang dipergunakan orang, sampai pun di PBB. Tapi waktu berusaha menggalang cukup banyak wakil-wakil pribumi untuk mendirikan negara boneka di Indonesia bagian Timur pada tahun 1946 dulu, pihak Nederlan terpaksa kompromi dengan tuntutan sebagian wakil-wakil pribumi tersebut yang bersikeras mau memakai istilah Indonesia dalam nama resmi negara boneka itu, sehingga diberi nama Negara Indonesia Timur (yang mula-mula masih dieja Negara Indonésia Timoer) walaupun untuk Indonesia secara kesuluruhan, penggunaan istilah Indonesia masih tetap ditolak oleh pihak Nederlan. Jadi, dengan disertakannya Irian Barat oleh pihak Nederlan sendiri ke dalam negara boneka tersebut (tanpa adanya sedikitpun desakan dari pemerintah Republik), ini secara resmi adalah pernyataan turut masuknya daerah tersebut dalam wilayah Indonesia, artinya bukan saja dalam Nederlandsch-Indië.
Pemasukan daerah Irian Barat sebagai bagian integral daripada Negara Indonesia Timur bukanlah satu kebetulan atau satu keteledoran. Sebelum perang pun, daerah tersebut dalam rangka administrasi Hindia Belanda itu tidak merupakan satuan teritorial tersendiri, melainkan terdiri dari tiga resor:
[ | lihat hlm. 33 dalam: D.G. Stibbe (ed.), 1919, "Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie", jilid 3 (N - Soema). 'S-Gravenhage/Leiden. |
Sampai disini, saya baru mengutarakan faktor-faktor de jure yang saya anggap penting, yaitu (1) yang menunjukkan kejadian kebulatan karsa penduduk yang spontan untuk menggalang diri dalam satu Indonesia kesatuan tanpa adanya sedikitpun dorongan dari pihak penguasa. Malah sebaliknya, pihak yang waktu itu masih berkuasa justru menentangnya. Kemudian (2), adanya tindakan penguasa yang pada waktu itu bahkan sedang berperang dengan Republik Indonesia, tapi toh juga secara otomatis menyertakan daerah Irian Barat dalam wilayah Indonesia tanpa adanya paksaan dari siapa-siapa selain wakil-wakil pribumi daerah-daerah yang digalang bersatu masuk Negara Indonesia Timur itu sendiri, karena memang sebelum itu pun Irian Barat telah ditetapkannya sebagai bagian wilayah dua Residensi yang berpusat di Maluku.
Disamping itu ada sederetan faktor-faktor de jure yang saya pribadi menganggapnya tidak penting, tapi karena sudah masuk dalam perdebatan, terpaksa juga perlu saya telaah disini......
muwah tikhan i wandan, ambwan athawa maloko wwanin,Istilah-istilah dalam bahasa Jawa Kuna itu pengartian modernnya sebagai berikut:(demikianpun di Wandan, Ambwan, dan Maloko, Wwanin.)
Dalam pada ini, oleh sementara ahli sejarah di masa lampau pernah ada yang mengemukakan skepsis berkenaan dengan dapat dipercayanya pernyataan-pernyataan tentang cakupan wilayah kekuasaan raja-raja timur jaman dulu, karena katanya suka membesar-besarkan alias membual. Tapi penelitian yang lebih mendetil menunjukkan bahwa catatan-catatan historiografis itu umumnnya jauh lebih bonafide daripada yang disangka semula.Ambwan - Ambon Wwanin - Onin (di Irian Barat sekitar kota Fakfak) Maloko - tempat di daerah Halmahera (bukan "Maluku"!! tapi rupanya dari nama Maloko ini terjadilah istilah Maluco dalam bahasa Portugis, yang sekarang disebut Maluku).
[ lihat jil. 1 hlm. 12; jil. 3 hlm. 17, dan jil. 5 lampiran peta IV
dlm.:
Th.G.Th. Pigeaud, 1960-1963, "Java in the 14th Century. A Study in Cultural History", the Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., 3rd. ed., rev. & enlarged. The Hague: Martinus Nijhoff;
dan hlm. 34 dalam:
Mpu Prapanca, 1995, "Desawarnana (Nagarakrtagama)", translated by Stuart Robson, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde jilid 169. Leiden: KITLV Press]
Misalnya, dalam Carita Parahiyangan ada dinyatakan bahwa Raja Sanjaya (abad ke-8) pernah menaklukkan Kamboja dan bahkan menyerang "Cina" dan mengalahkan seorang patih disana. Ini dulu umumnya dianggap khayalan si-penulis Carita tersebut. Tapi setelah diperiksa, ternyata ada prasasti Kamboja yang menjelaskan bahwa waktu Raja Jayawarman II naik tahta Kamboja pada tahun 802, beliau membuat upacara resmi yang menyatakan Kamboja merdeka kembali dari Jawa. Demikianpun dalam annal sejarah Vietnam (yang waktu itu masih dibawah kekuasaan kekaisaran Tionghoa) yang dinamakan Dai Viet Su Ky, dalam bagian Ngoai Ky, terdapat catatan bahwa pada tahun 767 ada tentara Jawa dan Melayu yang menyerang dan berhasil merebut ibukota Kabupaten Tran-nam (bahasa Tionghoanya Zhennan). Jadi, apa yang disangka bualan-bualan keterlaluan yang tidak masuk di akal dalam prasasti-prasasti dan catatan-catatan sejarah Jawa dan Timur lainnya itu dalam hal ini terbukti benar.
Tapi untuk daerah Irian tidak ada prasasti atau catatan sejarah sukubangsa setempat seperti halnya di Kamboja dan Vietnam. Hanya ada karangan D.W. Horst dari tahun 1893
[D.W. Horst, 1893, "De Rum-Serams op Nieuw-Guinea, of Het Hinduisme in het Oosten van onzen Archipel", Leiden: Brill] |
W. Seiler, 1982, "The Spread of Malay to Kaiser Wilhelmsland", hlm. 67-85 dalam Rainer Carle et al. (eds.), "Gava', Studies in Austronesian Languages and Cultures", Veröffentlichungen des Seminars für Indonesische und Südseesprachen der Universität Hamburg, jilid 17. Berlin: Reimer Verlag. |
Satu akibat dari kegiatan Tidore di bagian Utara Irian Barat ini adalah masuknya kata bahasa Tidore kolano yang berarti "raja" dalam beberapa bahasa setempat, misalnya dalam bahasa Biak koranu (berarti "raja") dan dalam bahasa Sarmi korano (berarti "penghulu").
Saya sekarang tidak hafal benar tanggalnya, karena dalam waktu singkat ini tidak sempat mencari sumber-sumber, tapi seingat saya dari pelajaran sejarah di SMP dulu, pernah ada peperangan antara Tidore yang didukung Sepanyol dengan Ternate yang didukung oleh VOC (Kompeni Hindia-Timur Belanda), dimana pada salah satu perjanjian perdamian pihak Ternate/VOC mengakui yurisdiksi Tidore terhadap wilayah di pantai Utara Irian Barat. Data ini kiranya bisa di cari belakangan. Lepas dari itu, antara Sultan Tidore dan pemerintahan Hindia Belanda rupanya ada beberapa perjanjian (misalnya tahun 1848, 1898) yang mengatur perpindahan kedaulatan atas bagian pesisir Utara Irian Barat yang digeser kian-kemari antara Sultan Tidore dan Hindia Belanda dengan motiv macam-macam. Adalah bagian Irian Barat inilah (dengan beberapa perubahan) yang lalu masuk wilayah Residensi Ternate dengan "jajahannya" (lihat di atas), mengingat Tidore pun sebagai daerah swatantra (zelfbesturend) itu di bawah naungan Residensi Ternate etc. itu pula.
Tapi bagi saya, apakah Majapahit pernah berdaulat atas semenanjung Onin atau tidak itu tidak penting, sebab walaupun Raja Sanjaya dulu pernah menaklukkan Kamboja, itu samasekali tidak saya anggap satu alasan untuk menuntut Kamboja perlu masuk Indonesia (ngomong-ngomong, pada jaman kerajaan Funan yang pusatnya di Kamboja sekarang, rupanya ada bagian Indonesia yang pernah takluk kepada Funan). Begitupun, saya memandang Irian Barat masuk Indonesia ini sekalipun bukan karena Sultan Tidore pernah berdaulat atas daerah tersebut, melainkan, kalau dilihat dari segi de jure-nya saja, adalah sebab-sebab yang saya kemukakan lebih dulu di bagian II di atas itulah yang saya anggap penting. Soal Majapahit dan Tidore itu hanya alasan-alasan bagus untuk main gertak sambal diplomatik, tapi tidak punya arti yang lebih penting.
Kalau saya tidak salah ingat, ada bagian pantai utara Australia yang juga disebut dalam Negarakertagama. Dan daerah tersebut ada bukti-bukti nyata sering didatangi pelaut Makassar. Apa itu lantas harus kita tuntut kembali dari Australia kah?
Nah, dengan digalangnya Republik Indonesia Serikat, pertama-tama, tentara Belanda pulang naar Hollan, sedangkan sisa KNIL dilebur bersama dengan tentara Republik menjadi satu. Kemudian, sebagai negarabagian RIS yang merdeka, bekas negara-negara boneka itu kini tidak perlu lagi "dikontrol" dari dalam oleh seorang petugas Belanda bergelar "sekretaris negara". Alhasil, pihak Nederlan dalam RIS itu kehilangan segala tampuk pengemudi institusional yang bisa digerakkannya kalau-kalau ada satu perkembangan yang tidak disenanginya. Dengan dihadapkan pada satu perspektif demikian inilah, pihak Nederlan mencari jalan keluar yaitu dengan menuntut agar daerah Irian Barat diperkecualikan dulu, dan statusnya baru ditentukan setahun kemudian. Dengan demikian, dirasakannya, Nederlan bisa mempertahankan presensi dalam kawasan Indonesia, dan tidak tinggal hanya bisa nonton dari jauh di Eropa saja.
Kecemasan pihak Nederlan itu bukan tanpa alasan. Negara-negara boneka itu dulu dibentuk bukan dengan memperhatikan keinginan penduduk, melainkan cukup dengan adanya beberapa raja-raja atau pembesar setempat yang lebih senang tetap dalam kekuasaan Belanda daripada masuk dalam Republik. Padahal, bahwasanya penduduk yang sudah melek politik itu sebagian besar lebih menyenangi Republik tidak sulit untuk dilihat, juga oleh pihak Nederlan. Tidak kebetulan istilah Indonesia sebagai pengganti Nederlands-Indië itu begitu populer dan merajalela di seluruh masyarakat. Tapi bukti yang lebih nyata, dan obyektif tidak dapat di putar-putar relevansinya itu terjadi pada tahun 1947-1948, ketika Suwandi sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan Republik memutuskan mengadakan pergantian ejaan. Khususnya, urutan vokal oe dalam ejaan bahasa Indonesia diganti dengan u. Ternyata, dalam waktu kilat, ejaan Republik ini menyebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk juga daerah pendudukan Belanda yang waktu itu lebih luas daripada wilayah yang masih dipertahankan oleh Republik (terutama lagi kota-kota besar yang banyak penduduknya yang tidak butahuruf ada di tangan Belanda). Akhirnya, bahkan pemerintah-pemerintah "negara boneka" dan juga administrasi Hindia Belanda sendiripun terpaksa memakai ejaan Republik supaya tidak kelihatan terpencil. Dengan demikian, di luar dugaan Suwandi, telah terjadi sejenis "pemilihan umum" dikalangan penduduk seluruh negeri yang melek-huruf. Hanya saja, berbeda dengan banyak pemilihan umum biasa yang sering disertai intimidasi pihak penguasa, dalam pemilihan ejaan 1948 itu pemerintah Republik samasekali tidak punya kondisi untuk memaksa atau mengintimidasi penduduk yang bisa baca-tulis, lebih-lebih lagi karena sebagian besarnya berada di daerah pendudukan Belanda. Pusat perserikatan guru-guru Indonesia, begitupun kantor Balai Pustaka yang juga berpengaruh terhadap pendidikan, itu semua waktu itu terletak di daerah pendudukan Belanda. Jadi ini benar-benar "pemilihan umum" yang bebas dari segala intimidasi atau desakan lain dari pihak pemerintah Republik, dimana rakyat ternyata memilih ejaan Republik secara landslide.
Jadi, dengan begitu populernya Republik sekurang-kurangnya di mata penduduk yang non-butahuruf, kita tidak perlu heran, bahwa begitu tentara Belanda mengundurkan diri, penduduk setempat segera mulai mendesak pemerintah-pemerintah negarabagian bekas boneka itu untuk bergabung saja dengan Republik Indonesia. Maka dalam suasana damai dalam waktu beberapa bulan saja, terjadilah penggabungan-penggabungan itu, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1950 negarabagiannya tinggal satu, yaitu Republik Indonesia. Dengan demikian RIS diganti kembali dengan Republik Indonesia, hanya undang-undang dasarnya bukan Undang-undang Dasar 1945, melainkan Undang-undang Dasar RIS yang cuma diubah sedikit untuk menggantikan struktur federalnya menjadi struktur negara kesatuan karena memang anggota federasinya cuma satu. Artinya, walaupun struktur federalnya hilang, tapi undang-undang dasarnya tetap undang-undang dasar demokrasi yang sangat liberal hasil Konperensi Meja Bundar yang sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak Nederlan.
Justru karena penggabungan itu berlangsung secara damai dan atas desakan penduduk sendiri, dimana pihak administrasi Indonesia waktu itu administrasi campuran (bekas pembesar negara boneka dan begitupun bekas warga NICA itu turut diintegrasikan dalam administrasi RIS) jadi tidak adalah alasan bagi pihak Nederland untuk mengadakan intervensi dari basisnya di Irian Barat. Tapi tetap saja pihak Nederlan menyatakan Indonesia mungkir janji dan tidak mau lagi mengadakan perundingan tentang status Irian Barat selanjutnya. Dengan demikian, terpencilnya wilayah Irian Barat dari sisa wilayah Indonesia akibat Konperensi Meja Bundar, yang menurut perjanjian hanya bersifat sementara, itu lalu menyeret jadi bertahun-tahun lamanya bukan karena adanya suatu perubahan dalam status resmi Irian Barat, yang sebelum itu oleh pihak Nederlan pun belum pernah diperlakukan sebagai satuan yang lepas dari daerah Indonesia yang sebelah Barat dari Irian. Sebagaimana status dulu-dulunya tidak pernah ditetapkan dengan menanyakan penduduk setempat, maka sekarangpun penyendirian daerah itu dari sisa wilayah Indonesia juga tanpa menanyakan penduduk setempat.
Hanya perlu dicatat, bahwa pihak Nederlan tadinya tidak ada rencana mempertahankan Irian Barat untuk waktu yang lama. Misalnya, waktu bekas tentara RMS diungsikan bersama keluarganya, maka diungsikannya itu tidak ke Irian Barat yang berdekatan, melainkan langsung ke Nederlan yang jauh dan lain iklimnya. Memang pengungsian itu direncanakan untuk jangka panjang. Dilema yang mirip dengan pengungsian tentara RMS itu dirasakan juga oleh golongan peranakan Belanda/Indo di Indonesia yang dihadapkan pada pilihan apakah tetap di Indonesia atau pindah ke daerah tempat mereka bisa tetap dalam naungan pemerintahan Belanda. Bagi mereka yang lebih senang jalan keluar yang kedua, praktis tidak ada pikiran untuk pindah ke Irian Barat, melainkan langsung ke Nederlan. Karena mereka juga memperkirakan antara lain bahwa Irian Barat lambat laun toh akan kembali kepangkuan Indonesia.
[ | lihat misalnya hlm. 79 dalam: Agus Daruch, 1957, "De nationalistische beweging onder de Indo-Europeanen". s.l., s.n.] |
Tapi mulai dari saat itu, terjadilah persengketaan antara Indonesia dan Nederlan mengenai status Irian Barat. Mula-mula Indonesia tidak punya kekuatan militer yang bisa dipakai untuk merebut kembali Irian Barat dengan kekerasan. Tapi lambat laun kekuatan militer bertambah, sehingga akhirnya menjadi satu ancaman. Sekaligus ada aksi diplomasi Indonesia yang ditujukan menarik mata Amerika Serikat. Hasil daripada usaha-usaha ini kita semua sudah tahu, yaitu dengan adanya Perjanjian New York yang direstui PBB, setelah masa peralihan administrasi PBB (UNTEA) Irian Barat kembali kepada Indonesia..
Walaupun demikian, Nederlan berhasil memasukkan satu syarat yang dikenal dengan Act of Free Choice dimana Indonesia mengalah, walaupun pada prinsipnya tidak ada alasan yuridis untuk itu. Perlu dicatat, bahwa prinsip PBB tidak menurutkan hak istimewa untuk setiap sukubangsa atau ras bisa lepas dari satu negara bekas koloni. Ini disebabkan, bahwa akibat cara-cara perebutan koloni dulu, perbatasan-perbatasannya itu simpang-siur potong-memotong daerah kediaman sukubangsa-sukubangsa. Kalau PBB membolehkan masing-masingnya mengubah perbatasan untuk menyesuaikannya dengan perbatasan-perbatasan sukubangsa yang sesungguhnya, di dunia ini akan terjadi kekacauan besar dan perang terus-menerus yang menghasilkan penderitaan luarbiasa pada rakyat yang bersangkutan. Terlepas dari itu, akibat perkembangan-perkembangan ekonomi dan kebudayaan selama penjajahan, terjadilah situasi-situasi distribusi etnik yang amat pelik, dan tidak bisa dipecahkan begitu saja dengan mengubah perbatasan. Bagaimana rumitnya masalah demikian ini bisa kita lihat di bekas wilayah Yugoslavia, dimana distribusi etnik Serbia, Kroatia dan Bosnia (yang pada dasarnya satu bangsa, tapi lain agama) itu campur baur, bagaimana juga dibaginya, tetap salah.
Adapun dengan makin memuncaknya konflik dengan Indonesia, pihak Nederlan sekali lagi menggunakan siasat yang telah dipergunakannya waktu mendirikan negara-negara boneka pada tahun 1946, yaitu seakan-akan melakukan proses dekolonisasi di Irian Barat yang lepas dari Republik Indonesia, dengan dibentuknya Nieuw Guinea Raad (Dewan Guinea Baru). Statusnya ada miripnya dengan Volksraad di Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1918. Sangat dapat dimengerti, bahwa pemerintah Indonesia tidak mungkin mangakui legitimasi badan politik yang demikian. Perlu diingat bahwa Dewan Guinea Baru itu baru dibentuk pada tahun 1961, waktu masalah konflik Indonesia-Nederlan sudah kelihatan benar mendekati klimaks dan penyelesaian. Jadi, terlalu kentara benar wataknya sebagai siasat untuk menciptakan situasi fait accompli.
Lain halnya dengan Gerakan Koreri. Perlu dicatat, bahwa berbagai gerakan dan pemberontakan setempat terhadap pendudukan Jepang itu terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Sekiranya ada Gerakan Koreri atau gerakan seperti itu yang benar aktif berjuang melawan jajahan Belanda setelah 1949, maka pasti akan mendapat dukungan dari pemerintah Republik Indonesia. Ini lain daripada Dewan Guinea Baru tersebut.
Segala alasan-alasan diplomatik Belanda untuk menahan Irian Barat, termasuk juga masalah-masalah kelainan ras dan kebudayaan (yang sesungguhnya juga mudah untuk disanggah) itu bagi saya tidak beda dengan masalah sejarah presensi Majapahit dan Tidore di Irian Barat, yaitu cukup dimaklumi sebagai batu kerikil dalam permainan pat-gulipat diplomatik antara Indonesia dan Nederlan.
Kemudian, dengan diakuinya Act of Free Choice oleh PBB dan pengamat internasional lainnya, walaupun dengan mengetahui segala seluk-beluk pelaksanaannya, dari segi de jure saja masalahnya kelihatannya selesai. Tapi saya bukan PBB, dan sebagai orang Indonesia, saya ini malah merasa sangat tidak puas dengan apa yang dinamakan Act of Free Choice itu.
Pelaksanaan apa yang dinamakan "Pernyataan Pendapat Rakyat" ini samasekali bukan pernyataan pendapat rakyat, melainkan terutama pernyataan pendapat pemuka-pemuka dan penghulu-penghulu tertentu dan orang-orang terpilih, yang mana dilakukan dalam suasana tidak bebas karena tidak rahasia melainkan dengan diintimidasi oleh pihak menguasa. Artinya, cara pelaksanaannya tidak beda dengan prosedur pembentukan negara-nagara boneka selama Perang Belanda-Indonesia (1946-1949) dulu. Disini, pemerintah RI telah memperlakukan sebagian penduduk Indonesia seperti halnya Nederlan sewaktu masih menjadi negara penjajah kolonial memperlakukannya. Tetapi, apa yang lumrah bagi satu negara kolonial dalam perlakuannya terhadap penduduk negeri yang mau dijajah itu samasekali tidak lumrah bagi negara merdeka bekas koloni dalam perlakuannya terhadap penduduk bebas negeri sendiri!
Kita bisa mengerti kalau Nederlan tidak sampai menggugat pelaksanaan Act of Free Choice itu (mereka sendiri dulu juga berbuat begitu), sehingga tidak ada alasan kuat bagi PBB untuk menolaknya (wong Parjanjian New York itu antara Indonesia dan Nederlan). Memang boleh jadi bahwa disinipun, sebagaimana pun pada Perjanjian New York itu sendiri, ada permainan kong-kalikong vested interests, tapi Bung Ottis pasti maklum, "politik" itu adalah tak lain daripada satu permainan kong-kalikong. Kalau PBB menetapkan begini, ini pasti ada permainan di balik layarnya, dan kalau PBB menetapkan yang kebalikan dari itu, itupun pasti ada permainan di balik layarnya.
Yang seharusnya tidak bisa dimengerti adalah sikap pemerintah Indonesia sendiri seperti yang saya kemukakan di atas. Tapi itu baru akan bisa dimengerti, kalau kita mamahami, bahwa perbuatan pemerintah dalam pelaksanaan PEPERA itu adalah perbuatan kualat.
Seharusnya, setelah UNTEA menyerahkan administrasi Irian Barat kepada RI menjelang ayam berkokok tgl. 1 Januari 1963 itu, penduduk Irian Barat patutlah tidak saja mendapat sambutan dari hati, tapi bahkan mendapat perlakuan ramah luar biasa, sebagai kawan setanahair yang telah kembali ke pangkuan pertiwi setelah dipisah selama sekian tahun. Seharusnya! Tetapi kenyataannya justru berkebalikan dengan itu. Pada tahun 1963-1964 itu saja, saya masih ingat membaca di suratkabar Berita Indonesia ada berita tentang perlakuan kasar dan sewenang-wenang oleh warga TNI terhadap orang Irian Barat (waktu itu suratkabar masih belum kena sensor total seperti belakangan), sehingga menimbulkan keresahan di kalangan penduduk Irian Barat. Perlu dimengerti, bahwa pada waktu itu, kaum militer di Indonesia memang sudah merasa bebas benar memperlakukan rakyat seenaknya saja, baik di Jawa, maupun di pulau-pulau lain. Bahkan penduduk itu sudah merasa terbiasa dengan perlakuan kasar dan lalim itu, dan menanggapnya sebagai perbuatan serong golongan kongkrit itu, dan bukan sebagai perbuatan permusuhan dari pihak bangsa Indonesia yang mereka anggap dirinya sendiri menjadi bagian bangsa ini. Lain halnya dengan penduduk Irian Barat yang baru meninggalkan "jaman normal" administrasi Belanda, lalu dengan tiba-tiba dihadapkan pada kelaliman ABRI, sangat dapat dimengerti kalau ini dianggap sebagai perlakuan serong oleh "bangsa Indonesia".
Setelah peristiwa 1965, dan dengan berkuasanya Orde Baru pada tahun 1966, keadaanya makin parah, karena ABRI lebih leluasa bersimaharajalela di seluruh Indonesia tanpa kontrol dan bahkan di luar pengawasan pers yang sepenuhnya dikekang oleh sensor. Sadar atau tidak sadar, perlakuan ABRI terhadap penduduk Irian Barat itu adalah pengkhianatan yang amat berat terhadap arwah warga ABRI yang korban nyawa dalam perjuangan untuk perebutan kembali Irian Barat, dan pemerintahan Presiden Soeharto bertanggungjawab atas segala kelaliman yang telah dilakukan terhadap penduduk Irian Barat.
Inilah sebabnya, waktu menyatakan kesedihan saya melihat sikap Bung Ottis dan kawan-kawan dalamcatatan pendahuluan di atas itu, saya sekaligus menyatakan bahwa manganggapnya itu "di luar kesalahan Bung". Karena yang salah bukan Bung ataupun pejuang-pejuang Irian Barat lainnya kalau melawan terhadap kelaliman, melainkan pemerintah dan ABRI yang melakukan kelaliman itu.
Namun dengan ini kita sudah agak menjauhi masalah "de jure" dan mendekati masalah "de facto" yang akan saya masuki dalam bagian IV berikut. Hanya sebelum menutup bagian III ini masih ada satu masalah kecil yang perlu saya singgung:
Sudah sejak semula waktu Ki Hajar Dewantara/Suwardi Suryaningrat membuat perumusan pertama tentang negara kesatuan Indonesia, itu tegas-tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud adalah negara dalam batas-batas Hindia Belanda. Hal ini nyata pada halaman 40 dalam Surya Ningrat (1918) terkutip di bagian II, dimana ada pendapat penyertaan kepulauan Malayo-Polynesia non-Hindia Belanda itu ditentang karena pembentukan negara kesatuan Indonesia itu haruslah atas dasar kenyataan politik, dan bukan atas dasar kenyataan kebudayaan.
Demikian pula sikap Bung Karno dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Waktu itu ada usul supaya dalam Indonesia itu disertakan apa yang sekarang menjadi Malaysia, tapi tidak disertakan Irian Barat. Hal ini ditentang oleh Bung Karno, yang memperkuat kembali gagasan negara Indonesia dalam batas-batas bekas Hindia Belanda. Gagasan inilah yang diterima dalam Panitia tersebut, dan gagasan ini pulalah yang diterima dalam Undang-undang Dasar 1945, dan tetap berlaku selama kepresidenan Sukarno. Gagasan tersebut baru dilanggar untuk pertama kalinya oleh Presiden Soeharto, waktu mencaplok Timor Timur secara tidak sah, dan untuk kedua kalinya ketika menghadiahkan sebagian perairan teritorial Indonesia di selatan Timor Barat kepada Australia untuk "membeli" kesetujuan Australia atas pencaplokan Timor Timur tersebut (dasar laut di perairan itu diperkirakan banyak sumber minyak dan gas alamnya).
Mengenai masalah "ganyang Malaysia" yang Bung Ottis sangka adalah petunjuk gagasan "Majapahit"-nya Bung Karno, maka sebab hakiki sehingga konflik dengan Malaysia sampai begitu tajam itu yalah soal dalamnegeri Indonesia. Bung Karno sudah merasa kewalahan, melihat konfrontasi politik di dalamnegeri antara pihak Komunis dan pihak ABRI makin membahayakan kestabilan negara. Diharapkannya dengan ada konfrontasi tajam ke luar, maka pihak yang berkonfrontasi di dalam itu bisa agak berdamai (tapi sia-sia belaka).
Begitu sebab hakikinya. Tentang alasan formilnya, maka Indonesia selama berkonfrontasi dengan Malaysia itu tidak pernah mengajukan klaim terhadap wilayah Malaysia bagian manapun. Juga tidak terhadap wilayah Kalimantan Utara. Yang dipersoalkan oleh Indonesia ialah penyatuan otomatis daripada jajahan Inggeris di Sarawak dan Sabah dengan jajahan Inggeris di Semenanjung Malaya dalam rangka pembentukan Malaysia, tanpa terlebih dahulu menanyakan pendapat penduduk Serawak. Kebetulan, pada waktu itu di Serawak ada gerakan Kalimantan Utara yang menentang penyatuan itu, dan gerakan inilah lalu didukung oleh Indonesia.
Artinya, perbuatan Indonesia waktu itu mirip seperti kalau PNG sekarang memusatkan tentaranya di perbatasan Irian Jaya untuk mendukung OPM. Bedanya cuma, kalau Irian Barat dulu merupakan bagian integral daripada Hindia Belanda, Serawak itu dulu tidak masuk Malaya Inggeris. Bagaimana pun juga, saya pikir penggugatan terhadap politik Bung Karno dalam hal ini mungkin agak kontra-produktif bagi OPM.
Sekianlah soal-soal de jure. Berikut menyusul penelaahan soal-soal de facto.
Disini datanglah saatnya mempertanggungjawabkan pernyataan itu dengan hal-hal kongkrit.
Maafkanlah bahwa saya memakai perumpamaan yang begitu "militaristis". Kita sedang berbicara tentang perjuangan, dan perjuangan itu adalah bagaikan satu peperangan atau pertempuran. Ada barisan yang memperjuangkan satu tujuan, dan ada barisan yang melawan atau hendak mencegah tercapainya tujuan itu.
Kalau ada dua anak laki baku hantam, walaupun sudah babak-belur dan hidungnya keluar darah, tetap saja bangun kembali menghadap hantaman kepal lawannya yang datang bertubi-tubi. Kalau tidak ada yang datang memisah, siapa tahu bisa sampai cacat. Apakah manusia itu terlalu bodoh, sampai sukarela menuju dirinya cacat?
Dalam evolusi perkembangan jenis manusia, alam itu menghadapi banyak problim yang diselesaikannya liwat jalan seleksi alamiah. Kelompok- kelompok makhluk yang akan menjadi manusia itu harus membela teritori cukup luas untuk mendapat nafkah yang perlu untuk menyambung eksistensinya. Akan ada terus kelompok lain yang mencoba mendesaknya, sehingga untuk membela teritorinya harus berkelahi. Jangankan manusia, kera pun demikian. Ternyata dengan kerelaan mengorbankan diri dalam perjuangan ini, kepentingan kelompok lebih terjamin, maka dengan seleksi alamiah menanglah ciri makhluk itu untuk baku hantam mati-matian sampaipun dia sendiri mati, asal kelompok bisa selamat. Tapi kalau sifat ini diwujudkan dalam perkelahian intern antara warga sekelompok, habislah daya juang kelompok itu karena warga-warganya cacat semua. Karena itu liwat seleksi alamiah itu menanglah ciri makhluk itu untuk memisah orang berkelahi kalau kelihatan yang satunya mulai kewalahan. Tapi pembatasan efek sifat berkelahi sampai lumpuh atau mati itu tidak selesai disitu. Kalau dua kelompok berkelahi secara mati-matian, pikiran menjadi kalap, cuma tahu baku hantam saja. Seleksi alamiah memang membuat manusia itu beraneka bakat, dua orang tidak sama satu sama lain. Ada diantaranya yang pandai berkepala dingin dalam situasi panas. Maka seleksi alamiah mempertahankan dalam setiap kelompok yang cukup besar secara statistis akan ada satu-dua yang bisa berkepala dingin, ditengah panas-panasnya pertempuran bisa menentukan apa baik maju atau mundur, atau pakai siasat tertentu, dsb., dan seleksi alamiah itupun memenangkan ciri umum bahwa orang-orangpun suka memencilkan salah satu atau beberapa temannya yang dikenal berkepala dingin itu untuk menjadi pemimpin atau penasihat. Dengan adanya satu dua orang yang dikhususkan itu, bebas legalah warga lainnya untuk berkelahi tanpa reserve, karena tahu ada teman yang memikirkan segala apa soal taktis dan strategis yang perlu dipikirkan.
Dengan cerita panjang seperti ini, maksud saya untuk memperjelaskan adanya dua sikap dalam perjuangan: Di satu pihak, perjuangan itu menuntut ketekunan dan banyak pengorbanan. Dalam situasi kemunduran pun tidak boleh putus asa, tetap melanjutkan perjuangan dengan keyakinan bahwa akhirnya pasti menang, bertekad bulat dan tidak menyiksa diri dengan banyak pertanyaan. Di lain pihak, situasi sekeliling senantiasa berubah dan berkembang, satu perjuangan harus senantiasa mempertanyakan, apakah cara-caranya dan tujuan- tujuannya masih tepat, apakah prinsip-prinsip yang telah dianutnya masih sesuai dengan tujuan sebenarnya. Dua sikap ini seakan-akan saling menyisihkan, tidak terbayangkanlah pejuang yang menganut sikap yang satu sekaligus bisa juga menganut sikap yang lain. Padahal dua-duanya dibutuhkan.
Kalau Bung Ottis menganggap dirinya penganut sikap yang pertama, saya secara ikhlas meminta maaf karena telah mencoba meragu-ragukan tekad perjuangan Bung. Maka delete sajalah pesan saya ini, atau kalau sudah di printerkan, ya dirobeklah dan dibuang kesampah. Jangan dibacalah lebih lanjut. Sikap Bung itu satu sikap yang lumrah dan terpuji, jangan sekali-kali menganggap itu kurang pantas. Tapi kalau Bung Ottis mau saya ajak berembuk tentang tujuan-tujuan dan jalannya perjuangan, maka itulah tujuan saya menulis panjang seperti ini.
Punya hak apakah saya mengajak Bung ke jalan ini? Saya sendiri pernah juga berkeyakinan menghadapi satu musuh yang jelas. Dia menjatuhkan presiden yang saya pernah sumpah akan setia kepadanya. Untuk melihatnya sebagai setan yang perlu dimusuhi itupun ternyata tidak sulit. Saya lihat bahwa dia bertanggung jawab atas kematian ratusan ribu, mungkin bahkan jutaan warga setanahair. Bukankah orang demikian patut dimusuhi? Masih banyak lagi dosa-dosanya kian bertimbun, sehingga jelas sekalilah, alangkah tepatnya kalau dia dilawan.
Tapi lambat laun, sampai jugalah di kesadaran saya, bahwa apa yang saya sudah tahu lama, bahwa di dunia tidak ada yang 100 persen baik atau yang 100 persen jelek, ternyata berlaku pula untuk kegiatan orang yang saya musuhi itu. Dalam situasi itu saya punya dua pilihan. Saya bisa tetap setia kepada prinsip semula, tetap menuruti nafsu baku hantam tanpa lihat kiri-kanan. Atau saya bisa memeriksa dan mempertimbangkan terus, mencari neraca yang tepat antara perlawanan konsekwen terhadap kejelekan yang perlu dilawan, dengan kemoderatan yang layak untuk menyelamatkan hasil positif yang telah terbayar dengan harga mahal penderitaan yang disebabkan oleh yang dilawan itu, demi memenangkan satu tujuan yang lebih tinggi, yaitu bukan sekedar kepuasan nafsu kelahi diri sendiri sebagai pejuang, melainkan keselamatan sebesar mungkin daripada kelompok yang kita abdi, misalnya rakyat. Saya telah memilih jalan kedua, dan sejak itu belum pernah menyesal akan pilihan saya itu. Bahkan, sejak itu lebih puaslah saya dalam hatikecil, karena merasa lebih jujur kepada diri sendir dan lebih jujur kepada sesama kawan. Maka dari itu saya merasa berhak, mangajak orang lain ke jalan yang sama, biarpun bisa saja ada yang mungkin akan memaki-maki saya. Kalau kita sudah merasa memiliki ketrampilan berkepala dingin berpikiran tenang seperti kafilah lalu, sudah layaknyalah kita tidak terlalu sibuk menggubris kalau ada terdengar suara menggonggong, bukan? :-)
Sepintas lalu pertanyaan ini seakan-akan tidak ada sangkut paut dengan persoalan. USA itu merdeka dari Kerajaan Inggeris bukan karena orang atau budayanya mirip atau tidak mirip dengan yang di negeri tersebut terakhir, melainkan karena penduduknya berontak, terus menang perang. Sesungguhnya mereka hampir kalah, dan kalau kalah mungkin sekarang wilayah dari Virginia sampai Massachussets jadi bagian Kanada. Tapi berkat ketahanan dan kemahiran George Washington maka akhirnya toh menang, maka menjadi negara tersendiri. Di Irlandia Utara ada juga orang coba berontak, tapi karena tidak menang perang, maka walaupun orang Irlandia itu bahasa dan akhlaknya beda dengan orang Inggeris, tetap tidak atau belum pisah dari Britania Raya. Kalau orang Yogyakarta berontak dan berhasil mengusir tentara Indonesia, Yogyakarta pun biar di tengah-tengah Jawa dan orang dan budayanya Jawa se-Jawa-Jawa-nya, tetap bisa menjadi negara tersendiri. Tapi, walaupun orang Friesland bahasanya beda dengan bahasa Belanda, sedangkan orang Flandria di Utara Belgia bahasanya mirip sama bahasa Belanda, tetap saja Friesland masuk Nederland, sedangkan Flandria tidak masuk Nederland. Praktek dan realitas itu sering menyimpang dari teori yang diciptakan di dalam menara gading.
Tapi pertanyaan itu telah menolong, karena mengingat kita pada satu soal yang, mau-tidak-mau, melayang terus di udara, mengganggu pikiran dalam penelaahan masalah Irian. Yaitu persoalan peran corak manusia dan budayanya dalam pembentukan satu bangsa dan penggalangan satu negara. Masalah ini penuh air keruh bagi orang yang mau pancing ikan atau tengkap udang.
Di waktu Perang Dunia II, masalah persandian mendapat arti amat penting, karena alat radio dan telegraf makin meluas sebagai alat komunikasi. Problemnya: signal itu bisa ditangkap oleh setiap orang yang punya alat penerima. Kalau kodenya ketebak, rahasia-rahasia ketahuan semua. Dalam hal ini, Sebagian tentara Amerika di Eropa memakai siasat berikut: Warga-warga satu suku Indian di bagi-bagi pada beberapa satuan tentara, dan komunikasi dilakukan dalam bahasa Indian tersebut. Karena itu bukan kode, maka bisa dipastikan tidak bisa dipecah dengan cara-cara matematik. Dengan demikian suku Indian yang kecil dan serba beda dengan orang Amerika Anglo itu telah berjasa untuk bangsa dan negara Amerika yang begitu besar dalam hal komunikasi, walaupun alat komunikasinya bukan tanda asap, melainkan dengan cara elektronik canggih.Satu riwayat lain:
Pada satu saat pernah diadakan kongres wakil-wakil semua suku Indian di Amerika Serikat (kalau tidak salah ingat di kota Chicago). Pertemuan itu dibuat di satu hotel yang mewah. Tapi petugas-petugas di meja resepsi telah diperingati: Karena penghulu-penghulu Indian itu banyak yang butahuruf, janganlah mereka dibikin muka malu waktu harus mengisi formulir check-in di hotel. Itu petugasnya sendirilah supaya mengisinya, kemudian sang tamu biar bikin tanda "X" dibawahnya pengganti tandatangan. Tenyata check-in tamu-tamu berlangsung dengan lancar tanpa problim. Hanya ada satu insiden lucu. Ada satu tamu ketika disuruh bikin tanda "X"-nya di bawah formulir, malah membuat tiga tanda "X" dan dibelakang- nya masih ditambah lingkaran kecil. "Oh", kata si-petugas, "Anda punya nama yang panjang sekali. Tapi kenapa masih ditambah dengan lingkaran kecil ini?". Jawaban tamunya, "oh itu untuk Ph.D.". Ini bukan khayalan melainkan kejadian benar. Dan penghulu Indian yang bersangkutan itu benar lulusan Universitas dan bahkan mencapai gelar doktor.Mungkin ada orang-orang yang terbiasa membayangkan orang Irian itu kerjanya lari kian-kemari di hutan dengan pakai cawat atau cerubung syahwat. Pertama-tama, sekiranya benar demikian pun, maka yang pakai cawat seperti itu terdapat juga di Sumatra dan Kalimantan dan di pulau-pulau lain Indonesia. Dan kalau Anda ada yang malu punya kawan setanahair seperti itu, maka sayapun akan malu punya kawan setanahair seperti Anda!
Kedua, kondisi kebudayaan yang demikian pun tidak harus menjadi rintangan bagi mereka untuk integrasi dalam jaringan ekonomi se-Indonesia (ingat suku Indian dalam komunikasi militer tadi), sedangkan kalaupun hal itu sampai menimbulkan problem, maka problem yang sama akan pula ada kalau Irian Barat itu negara tersendiri yang lepas dari Indonesia. Karena kalau Irian Barat berdiri sendiri, maka tidak beda dengan Indonesia atau PNG, dia menjadi bagian ekonomi dunia yang sedang mengalami globalisasi. Penduduk pedalamannya, seperti halnya orang Dayak di Kalimantan, atau penduduk pedalaman PNG, akan bertatapan muka dengan ekonomi modern penduduk pesisir dan kota bangsanya sendiri, dan dengan perusahaan-perusahaan besar tingkat internasional. Dan seperti halnya penduduk pedalam Irian atau Kalimantan bertemu dengan kelakuan tentara Indonesia yang sering orang Jawa, atau penduduk Bougainville bisa bertemu dengan tentara PNG, maka dalam satu Irian Barat yang mandiri pun akan bertemu dengan tentara Irian, dan siapa yang bisa beri jaminan bahwa yang ini ini pasti seperti malaekat? Di Pulau Jawa saya tahu orang-orang Sunda yang benci sama orang Batak. Sebabnya, waktu pemberontakan DI/TII Karto Soewirjo di Jawa Barat dulu, yang datang menumpas di tempat kediaman mereka itu tentara yang kebetulan sukubangsa Batak. Kelakuannya ternyata tak beda dengan apa yang suka dituduhkan kepada tentara yang sukubangsa Jawa. Manusia itu semua sama, apakah Jawa ata Batak atau Irian, tidak ada yang punya ciri aneh tersendiri bahwa bengis sendiri atau ramah sendiri kalau jadi tentara.
Ketiga, penduduk Irian Barat itu bukan sekedar suku-suku pedalaman, tetapi juga penduduk kota, dimana sebelum perang saja sudah bertemu dengan persekolahan dan dengan teknik abad ke-20. Berapa bedanya orang Jawa sama orang Irian? Lebih atau kurang daripada bedanya orang penduduk lama Jayapura dengan orang Tengger? Kalau kita bandingkan rektor Universitas Gajah Mada dengan yang pakai cerubung syahwat di pedalaman Irian, ya mungkin cukup beda. Tapi kalau mahasiswa universitas tersebut kita bandingkan dengan mahasiswa Universitas Cenderawasih, masih besarkah bedanya? Dan seorang guru taman kanak-kanak di Manokwari dan di Bondowoso, besarkah bedanya? Terlepas dari corak fisiknya yang mungkin sedikit lain (jangan lupa, orang Jawapun banyak yang kulit gelap dan rambut keriting), mereka akan sama-sama berbeda dengan guru taman kanak-kanak yang kulit hitam dan rambut keriting di Bronx, karena mereka belum kenal pandangan hidup individualis Amerika, melainkan masih dipengaruhi iklim kerukunan komunal yang khas Irian atau khas Jawa. Mereka kurang mahir berbahasa Inggeris, tapi lebih terpengaruh budaya bahasa Melayu dan sisa budaya bahasa Belanda. Maka oleh sebab itupun, guru taman kanak-kanak kita yang dari Manokwari ini akan juga beda dengan guru taman kanak-kanak dari Port Moresby. Walaupun fisiknya mungkin sama-sama Melanesia, tapi yang dari Port Moresby itu dipengaruhi budaya bahasa Motu, Tok Pisin, dan Inggeris, dan belum pernah bersentuhan dengan budaya bahasa Melayu atau Belanda.[note 3]
Masalah terebut terakhir inilah sebabnya, mengapa sejak Suwardi Suryaningrat/Ki Hajar Dewantara dulu itu selalu ditegaskan bahwa Indonesia batas wilayahnya itu batas-batas Hindia Belanda. Sebabnya, karena inilah batas wilayah yang mengalami bersama jaringan ekonomi dan kebudayaan yang sama, dengan politik ekonomi kolonial khas Hindia Belanda, dengan persekolahan dan misi khas Belanda, dengan tradisi Melayu Pasar berejaan huruf Latin yang mula-pertama muncul di Ambon dan kemudian meluas ke pulau lain Hindia Belanda. Semenanjung Malaya itu tidak mengalami perkembangan itu, Serawak, Brunei, Sabah tidak mengalami perkembangan itu, dan Filipina tidak mengalami pengalaman itu. Tapi Irian Barat mengalaminya bersama dengan Hindia Belanda bagian lainnya. Adalah warisan bersama kehidupan dalam satu konteks ekonomi dan politik yang sama semasa Hindia Belanda itulah yang menjadi dasar kesatuan Indonesia. [note 4] Dan adalah perbedaan konteks ekonomi dan politiklah yang mendasari pertentangan antara koloni Amerika dan Kerajaan Inggeris sehingga terjadi pemberontakan yang menghasilkan Amerika Serikat. Bahwa kulitnya sama putih, rambutnya sama pirang, bahkan bahasanya sama-sama Inggeris itu pengaruhnya sekunder.
Beda Indonesia dengan Amerika dalam hal ini di satu pihak terletak pada dualisme taraf perkembangan ekonomi dari jaman dahulu sampai dengan jaman penjajahan Belanda dan bahkan juga setelah itu. Ini tercermin baik dalam perbedaan orang Irian kota atau orang Jawa kota dengan orang Irian pedalaman, begitupun antara orang Irian kota dengan orang Kalimantan pedalaman, atau orang Mentawai, atau orang Tengger. Tapi di Amerika pun ada problem khasnya sendiri berkenaan dengan penduduk Afro-Amerika, penduduk Latino, dan peranakan-peranakan lain, begitupun dengan penduduk Indian. Salah satu jelmaanya, kadang-kadang penduduk Afro-Amerika di Los Angeles bisa ngamuk karena ada polisi Jawa.., oh maaf, polisi kulit-putih yang buat serong terhadap seorang pengemudi mobil orang Afro-Amerika. Ini semua lumrah. Kita jangan terlalu heran terus main tuding.
Di pihak lain, perbedaan Indonesia dengan Amerika yalah bahwa Amerika Serikat adalah negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu sindiran saya di atas soal polisi Jawa, oh maaf, polisi kulit putih itu sesungguhnya kurang korek. Tapi itu bukan karena orang Jawa dan orang kulit putih itu dalam hal ini tidak sama, melainkan karena penyelesaiannya di Amerika lain daripada di Indonesia, yaitu di Amerika polisinya bisa diseret kemuka hakim. Tapi soal demokrasi dan negara hukum baiknya di telaah tersendiri di bawah nanti. Sementara ini ada satu aspek daripada masalah persamaan dan kelainan etnik yang masih perlu disinggung disini.
Pada beberapa orang mungkin masih ada satu gambaran naif tentang kesamaan penduduk pedalaman Irian Barat dengan penduduk pedalaman PNG ("badan telanjang dengan hidung bertusuk tulang"). Pertama, ini tidak benar. Suku-suku di pedalaman Irian, baik Barat maupun Timur, itu masing-masing berbeda bahasa dan kebudayaan, bisa berperang satu sama lain. Belum lama silam, masih ada tradisi mengayau, artinya memburu tengkoraknya warga suku tetangga (tradisi ini pernah juga ada di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara). Tapi yang lebih penting lagi, sekiranya Irian Barat sampai mandiri sebagai negara yang pisah dari Indonesia, maka yang akan menentukan corak nasionalnya bukan penduduk pedalaman, melainkan penduduk kota, dan dari penduduk kota ini justru klas menengahnya. Oleh karena itu, kalau mau membandingkan Irian dangan Indonesia atau PNG (sebagai contoh Melanesia), maka yang perlu dibandingkan adalah orang kotanya, terkhusus lagi klas menengahnya. Maka akan nyatalah, bahwa perbandingan dengan PNG (Melanesia lain) tidak memberi kesamaan sebanyak perbandingan dengan Indonesia. Lebih-lebih lagi kalau ingat, bahwa Indonesia itu bukan cuma Jawa. Jangan lupa juga bandingkan dengan Bukittinggi, Bengkulu, Pontianak, Banjarmasin, Tarakan. Badingkanlah juga dengan kota-kota di Nusa Tenggara, Seram, Halmahera dsb. Kiranya dari perbandingan-perbandingan di atas ini datanglah kesimpulan, bahwa walaupun Irian Barat itu sebagian dari Melanesia, seperti halnya PNG, tapi bukan watak Melanesia-nya yang menentukan. Sama halnya walaupun sebagian besar Sumatra dengan Riau-Lingga itu masuk dunia Melayu bersamaan dengan Melaysia Barat, ini tidak berarti harus potong Sumatra dari Indonesia dan Semenanjung Malaya dari Malaysia. Kesamaan antara Sumatra dengan Irian Barat itu mempunyai peran yang lebih penting, daripada kesamaan Irian Barat dengan PNG atau Sumatra dengan Semenanjung Malaya, atau antara Kalimantan Barat dengan Serawak, atau antara Kalimantan Timur dengan Sabah, atau antara Timor Barat dengan Timor Timur. Kesamaan yang lebih penting itu yalah yang mengalir dari sejarah bersama dalam jaringan kebudayaan bahasa Melayu Pasar dalam rangka tatanan ekonomi, politik, dan hukum kolonial Belanda dalam batas-batas Hindia Belanda.
Kalau ada di antara Anda yang belum bisa merabakan apa kesamaan itu, tengoklah kepada negeri-negeri British Commonwealth kalau lagi bersidang. Padahal mereka itu letaknya berjauhan satu sama lain dan kondisi yang dialami masing-masing waktu penjajahan dulu jauh lebih bervariasi daripada di antara pulau-pulau Hindia Belanda. Lagipun, yang mengikat mereka cuma pengaruh negeri penjajah (satu contoh kecil: hakim di Ghana, dan Kenya, seperti juga di Fiji dan di Gayana, itu selalu pakai rambut palsu seperti hakim di Inggeris). Lain halnya di Hindia Belanda, disamping pengaruh Belanda masih ada ikatan kebudayaan Melayu Pasar (jangan dipertukarkan dengan kebudayaan Melayu yang berbahasakan logat Melayu Tinggi).
Dari ini mungkin bisa disimpulkan kenapa Irian Barat bisa bersatu terus dengan Indonesia sisanya, tapi mungkin belum begitu meyakinkan kenapa Irian Barat itu perlu bersatu terus dengan Indonesia sisanya.
Hutan tebakar habis karena keserakahan perusahaan-perusahaan kehutanan, dan itu bisa enak-enak saja berserakah, karena ada keserakahan petugas yang seharusnya mengawasi, serakah mendapat sogokan, dan lebih-lebih lagi karena keserakahan keluarga Cendana yang melindungi perusahaan serakah yang bagi rejeki sama mereka. Anak kecil pun tahu, bahwa serakah itu tidak baik. Tapi ahli ekonomi bukan anak kecil, dan kalau dia kita tanya apakah serakah itu baik atau jelek, maka kalau dia mau jawab sopan dia bilang tidak tahu, kalau dia mau jawab jujur, bisa-bisa dia bilang bahwa serakah itu baik!
Dulu sebelum abad ke-18 di negeri Inggeris ada tanah desa seperti di Jawa. Tanah "commons" itu diperguna bersama untuk mengangonkan domba, dan masyarakat komunal desa hidup rukun. Tapi demi supaya industri Inggeris bisa maju, diswastakanlah tanah desa yang milik komunal itu. Maka farmers yang tadinya hidup rukun harus bersaing satu sama lain. Tentu yang paling serakah yang menang, yang kalah serakah terus bangkrut jadi buruh upahan di kota. Bagian besar Eropa mengalami revolusi kebudayaan, dari masyarakat rukun menjadi masyarakat serakah. Kemudian datanglah mereka ke Asia, dan melihat disini ada negeri-negeri yang belum begitu serakah. Siapa menang? Yah orang Eropa serakah itu yang menang, sehingga negeri orang rukun itu pada jadi koloni.
Apakah serakah itu satu ciri Eropa? jelas, kita bisa lihat di atas bahwa itu tidak benar. Dulu mereka juga hidup rukun seperti di desa Jawa tradisional. Tapi kalau kita datang di Eropa sekarang, kita bisa geleng kepala. Selagi kita masih di Nusantara mudah saja kita kalau datang bertamu bisa bilang "kalau ada sumur di ladang, boleh beta tumpang mandi?" Tapi di Eropa lain: Kalau orang bertamu ke rumah, dan dia tumpang memakai telponnya sebentar, harga sekali telpon itu saja lalu dibayarkannya kepada tuan rumah. Begitulah hasil dua-tiga abad didikan masyarakat serakah.
Politik ekonomi yang berdasarkan serakah di Eropa itu mulanya menimbulkan banyak ekses-ekses. Kota-kota penuh dengan orang miskin, penduduk tinggal di perumahan yang serba berkekurangan, sampai keluarga besar harus siang-malam di satu kamar, beberapa orang di satu ranjang. Anak kecil harus kerja di pabrik sampai 10 jam atau lebih lama lagi setiap hari. Di Skotlandia yang merasa dijajah Inggeris, rakyatnya lebih melarat lagi. Orang-orang Highlander yang gagah perkasa itu jadi gelandangan dan minta-minta di pinggir jalan, persis seperti orang Irian dari pedalaman yang gagah perkasa taktakut mati itu sekarang bisa dilihat lesu-lesu di pinggir jalan di Irian Barat.
Tapi tibalah satu saat, keserakahan itu makan tuan. Keserakahan yang tak tahu ukuran itu menyebabkan krisis ekonomi. Selain itu, kondisi rakyat yang miskin dan makin penyakitan itu makin mempersulit dijaminnya jumlah pekerja yang sehat dan ahli yang bisa bekerja dengan sempurna. Akhirnya, orang serakah itu melihat bahwa keserakahan yang tanpa batas itu bikin rugi. Selain itu, orang serakah yang sudah jadi kaya tidak mau kalau orang serakah lain juga jadi kaya dan jadi saingan dia. Akhirnya, demi keselamatannya sendiri, orang serakah itu melihat perlunya tata tertib yang berdasarkan negara hukum dan kontrol obyektif dari pihak yang independen untuk menjamin kelanjutan keserakahannya yang teratur dan tanpa gejolak krisis terus-menerus. Taraf ini telah dicapai oleh Eropa dan Amerika pada akhir abad lalu dan begian pertama abad ke-20 ini.
Maafkanlah, saya memakai cara penerangan dan istilah-istilah yang tidak "profesional". Tapi dengan demikian mungkin lebih mudah dimengerti.
Sebelum kita masuk kembali ke Indonesia, masih ada satu pertanyaan. Apakah tidak ada satu alternatif untuk membangun ekonomi tanpa serakah? Waktu situasi di Eropa sedang gelap-gelapnya, ada seorang yang tampil kemuka dan mengatakan "Ada!". Namanya Karl Marx. Dan dia membuat teori, bagaimana orang bisa membangun masyarakat yang serba mencukupi warga-warganya tanpa adanya prinsip ekonomi serakah, melainkan dengan mempertahankan tradisi kerukunan komunal. Makanya teori itu dinamakan "komunis".
Kemudian di Rusia ada revolusi, dan dicobalah orang mempraktekkan teori itu. Tapi langsung ternyata ada problem. Tanpa prinsip serakah, ternyata orang tidak begitu rajin, tidak begitu telaten. Selain itu, ada saja orang mencoba mencari untung sendiri dengan prinsip serakah. Untuk mencegah itu, terpaksa bikin polisi rahasia yang memata-matai orang sendiri. Selain itu ada saja orang yang coba lari ke dunia serakah alias dunia Barat. Lebih banyak lagi diperlukan polisi rahasia, dan lebih ketat lagi aparat birokrasi yang makin mencekik perkembangan. Kelanjutannya eksperimen itu kita sudah tahu. Dan Rusia sekarang sibuk membangun kembali ekonomi yang berdasarkan serakah.
Hanya di RRC masih dicoba variasi lain, yaitu membuka pintu untuk ekonomi serakah sebelum eksperimen semula mencapai keruntuhan.
Sebelum melanjutkan cerita ini, mungkin perlu kita catat sekali lagi apa yang sudah dikatakan di atas: Anak kecil pun tahu, bahwa serakah itu jelek. Dan memang itu sangat sangat jelek. Tidak heran, Eropa dan Amerika selama masih merajalela keserakahan takterbatas dulu itu penuh dengan kejelekan yang amat sangat. dan baru setelah keserakahan itu agak dibendung dengan tata tertib tertentu itulah, kita bisa lihat kejelekan itu diimbangi dengan kebaikan. Maka kalau lihat Rusia sekarang, inipun terlalu amat jeleknya. Dan di RRC pun, tidak perlu heran kalau ketemu banyak hal yang jelek.
Winston Churchill pernah mengatakan, bahwa cara serakah ini memang cara yang paling jelek dari segala cara-cara yang bisa kita bayangkan, asal saja tidak kita ikutkan juga cara-cara lain yang ada secara real.
Satu akibat penting dari gejala globalisasi, ialah bahwa negeri-negeri Asia yang masih memelihara ciri kerukunan komunal tradisional itu sekarang pada ketularan penyakit serakah. Hal ini tidak dipaksakan terhadap negeri-negeri ini, tetapi dibuat dengan sukarela. Bagaimana itu sampai bisa begitu kita sementara tidak perlu gubris. Yang jelas, bahwa dengan merajalelanya keserakahan di negeri-negeri ini, khususnya di Indonesia, maka terjadilah perkembangan ekonomi yang pesat. Hasil-hasil ini perlu kita perinci secara kongkrit:
Dengan merajalelanya keserakahan total, maka terjadi konsentrasi kapital dan pembentukan dana-dana raksasa. Ingat: untuk berladang bakar hutan, cukup satu keluarga besar; untuk bersawah, sudah perlu dikuasai satu jajahan sungai; untuk industri dengan teknologi mutakhir perlu ada konsentrasi dana raksasa. Tak kurang penting, adanya dana raksasa domestik (artinya kepunyaan negeri sendiri) merupakan syarat pertahanan yang vital untuk menjaga kemerdekaan terhadap kegiatan perusahaan raksasa internasional. Terlepas dari masalah penimbunan dana raksasa itu, perkembangan ekonomi yang pesat telah mengubah muka negeri yang tadinya terkebelakang. Tenaga listrik dan teknologi modern telah tiba di desa-desa. dimana-mana ada komputer dsb., dsb. Lebih penting lagi, produksi makanan menjadi swasembada.
Ini semua tidak aneh, di Eropa dan Amerika pun dulu begitu. Dan sebagaimana halnya di sana dulu itu penuh dengan gejala-gejala yang jelek, maka di Indonesia pun persis begitu. Saya tidak perlu di sini memerinci semua kejelekan itu, karena teman-teman semua sudah mengetahuinya. Terus kita, mau bikin apa? Dimana jalan keluarnya? bagaimana menyelamatkan negeri dengan rakyatnya dari malapetaka ini?
Sekali lagi, untuk jawabannya mari kita lihat ke Eropa dan Amerika. Dan ternyata memang benar! Tidak beda dengan di sana, keserakahan total tanpa batas itu akhirnya menjebloskan ekonomi masuk krisis besar, yang lalu memaksa pemimpin-pemimpin serakah itu untuk menertibkan tata aturan kehidupan ekonomi dan politik, menegakkan kembali kondisi-kondisi negara hukum. Marilah kita sama-sama bersyukur. Tahun 1997 ini akibat keserakahan total pemimpin-pimimpin negara itupun Indonesia kejeblos masuk krisis sedap. Karena keserakahan, hutan-hutan terbakar semua. Karena keserakahan, bank-bank tumbang, kurs rupiah merosot, harga saham anjlog.
Pemimpin-pemimpin mulai mawas diri. Kemarin mereka masih kian-kemari
seperti ayam jago. Seakan-akan dunia itu punya mereka. Dengarlah
pidato Mahathir di Malaysia. Tapi Soeharto dulu juga tidak kurang
sombong dari itu. Sekarang mulai sadar.....
Tahun 1998 yang akan datang ini akan menentukan bagaimana penyelesaian
selanjutnya. Apakah akal sehat akan memungkinkan dipulihkannya
ketertiban negara hukum dengan pengawasan aparatur birokrasi dan
militer oleh pengamatan publik yang independen? Ataukah tidak berhasil
mengekang keserakahan sehingga terjadi khaos dan Indonesia pecah-belah,
menjadi permainan kekuatan orang dengan membawa malapetaka yang lebih
hebat lagi untuk rakyat? Apakah Soeharto masih tetap bertahan pada
teori naif tentang "raja yang baik"? ataukah ada pakar-pakar yang
bisa menjelaskan kepadanya, bahwa "raja yang baik" itu dulu-dulu
saja mitos, sedangkan sekarang kalau adapun tidak akan berdaya terhadap
hukum-hukum ekonomi, politik, dan sosial. Politik yang baik terjadi
bukan karena ada politikus yang baik, tapi karena ada tatanan yang
memaksa politikus melakukan apa yang seperlunya. Kalau cuma mengandalkan
politikus yang baik, dia cepat sekali akan dijungkirkan dari kursinya
oleh politikus yang serakah. Ingat pengalaman sejarah: yang serakah itu
kalau tidak ada kekangannya ya menang terus.
Dalam proses yang menentukan ini amatlah penting peranan oposisi. Kalau satu tahun yang lalu pemerintah masih berani menyerbu kantor PDI Mega, maka sekarang ini pemerintah harus lebih hati-hati. Dia hanya akan bisa mengekang keserakahan yang takteratur itu dengan dukungan oposisi. Inilah saatnya oposisi harus kompak satu sama lain, dan memberi tekanan yang tepat untuk mengarahkan perkembangan pada tujuan yang diinginkan, yaitu pertama-tama pemulihan tata tertib negara hukum dengan azas-azas demokrasi dengan prinsip trias politica yang merdeka satu dengan lain, dengan pengawasan yang efektif.
Sekarang marilah kita lihat seluruh masalah itu dari perspektif penglihatan Irian Barat.
Segala kondisi globalisasi yang kena pada Indonesia dan negeri-negeri Pasifik lainnya itu boleh dipastikan kena juga pada Irian Barat kalau mandiri sebagai negara sendiri. Artinya, segala malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa rakyat Indonesia pada keseluruhannya dan rakyat Irian Barat pada khususnya selama ini akan tetap menimpanya, juga kalau mandiri. Hanya, kalau sekarang yang aktif itu baik perusahaan serakah internasional maupun orang serakah dalamnegeri, maka kalau Irian Barat mandiri itu akan terutama perusahaan serakah luarnegeri (karena Irian Barat belum sempat mengumpulkan dana kapital, dan untuk mengumpulkannya harus serakah seperti keluarga Cendana pula). Janganlah mimpi di siang bolong, bahwa bisa kumpul dana itu secara kolektif dengan rukun komunal. Orang komunis sudah mencobanya di banyak negeri, dan hasilnya kita sudah tahu. Tidak perlu menyiksa rakyat Irian Barat dengan eksperimen satu kali lagi.
Tak lepas juga kalau Irian Barat sampai mandiri, maka keserekahan yang terjadi akan bikin rakyat marah, sehingga akan terpaksa mendatangkan tentara. Yah, katanya, lebih baik dipukul oleh tentara Irian sendiri daripada oleh tentara Jawa. Benarkah? Apakah pemberontak Bougainville itu dipukul dengan tentara Bougainville? Di Irian Barat pun sukubangsanya tidak satu (ngomong-ngomong, bahkan di Bougainville itu banyak sukubangsa). Dan suata pemerintah Irian Barat juga tidak akan bodoh, melawan penduduk satu sukubangsa pasti juga dengan tentara sukubangsa lain. Atau bahkan juga mendatangkan serdadu sewaan dari luar?
Dalam rangka satu kesatuan Indonesia, rakyat Irian Barat bahkan lebih terjamin, karena perusahaan-perusahaan raksasa internasional mendapat tandingan dana raksasa dalamnegeri. HA-HA, Anda ketawa. Lihatlah, perusahaan rakasasa asing itu kong-kalikong dengan keluarga Cendana, dan hutan tetap habis kebakaran. Betul. Lantas? ......
Betul, itu, tapi juga salah. Yang telah kita lihat sampai sekarang adalah kejadian dalam kondisi keserakahan tanpa batas. Tapi itu sudah selesai, dan Indonesia telah ditimpa krisis ekonomi. Ini semua kita sudah kenal dari Eropa dan Amerika. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kirsis ini akan menjadi titik balik sehingga membuka pintu kearah tatatertib negara hukum atau tidak. Kalau berhasil, maka Irian Barat akan turut menikmati akibat positifnya, dan menjadi bagian satu negara besar yang tertib dan menyediakan syarat-syarat perkembangan dan kemajuan yang optimal. Kalau tidak, maka akan timbul kekacauan yang juga optimal bagi Irian Barat, karena akan mempermudah untuk melepaskan diri dari Indonesia kalau masih tetap mau pisah. Cuma jangan kira kalau pisah itu terus akan masuk surga. Segala hukum globalisasi itu akan tetap berlaku, dan Irian Barat yang pisah mandiri itu akan harus mengulang kembali segala penderitaan itu "mulai dari nol".
Ini kelihatannya seakan-akan peranan Irian Barat ini pasif saja, tinggal menunggu bagaimana nasib. Itu tidak benar. Dan disinilah datang pertanyaan yang paling penting sejak semula, yaitu apa yang sebaiknya diperbuat oleh OPM?
Keberhasilan reform yang harus terjadi pada tahun 1998 untuk menegakkan ketertiban negara hukum di Indonesia ini banyak tergantung pada kekompakan oposisi. Disini timbul pertanyaan: OPM mau dimana? turut memperkuat oposisi sebagai koalisi kekuatan penegak demokrasi, atau mau tetap pisah membuat perjuangan sendiri skala Irian Barat? Kalau OPM ikut koalisi besar dalam rangka satu gerakan se-Indonesia maka ini tidak saja memperkuat koalisi itu, tapi yang lebih penting lagi, akan menjadi penggalang aktivitas rakyat Irian Barat untuk turut bersuara dalam gelanggang politik se-Indonesia. (Siapa tidak bersuara, dia tidak akan berpengaruh, begitulah politik).
Kalau OPM tidak ikut koalisi, melainkan tetap memperjuangkan perpisahan Irian Barat dari Indonesia, maka kerugiannya jauh lebih besar daripada sekedar koalisi itu kekurangan OPM. Pertama, kepisahan OPM itu menimbulkan tambahan dilema kepada kekuatan koalisi. Ada yang mendukung OPM dan Irian Barat pisah (seperti PRD), dan ada yang tidak (seperti PUDI). Ada retak dalam gerakan opisisi Indonesia gara-gara OPM. Kedua, di Irian Barat sendiri janganlah yakin bahwa semua orang setuju Irian Barat pisah. Maka kasus pisah itu akan juga menimbulkan perpecahan dalam penduduk Irian Barat sendiri.
Oleh karena itu, menurut pendapat saya, yang paling baik yalah kalau OPM paling sedikit untuk sementara mengundurkan tujuan pemisahan Irian Barat dari Indonesia, dan memusatkah perhatiannya kepada pemulihan ketertiban hukum, demokrasi, hak-hak azasi manusia, keselestarian alam dan sebagainya di Irian Barat sebagai bagian Indonesia, dan dengan demikian memperbesar pengaruh Irian Barat di dalam Indonesia dan turut memperkuat koalisi demokrasi se-Indonesia dalam menghadapi penanggulangan krisis nasional dan memberhasilkan reform yang diperlukan pada tahun 1998 yang akan datang ini. Kalau belakangan kecewa, masih sempat juga kembali menuntut Irian Barat pisah. Tapi sekurang-kurangnya tidak akan menyesal karena tidak menggunakan kesempatan yang sekarang ini untuk turut mengaktifkan peranan Irian Barat dalam reform se-Indonesia itu.
Sampailah kita hampir pada penutup. Yang masih dipertanyakan, yalah bagaimana dengan nasibnya tradisi kerukunan komunal di Irian Barat maupun di daerah lain Indonesia dalam situasi kemenangan cara serakah?
Kita terbiasa melihat masyarakat Amerika Serikat sebagai masyarakat yang cuma kenal individualisme. Sesungguhnya, masyarakat yang demikian itu tidak ada di seluruh dunia. Karena adalah perbedaan manusia dari segala hewan lain, bahwa pada hewan lain itu, ikatan sosialnya telah ditetapkan secara biologis liwat instink, sedangkan pada manusia struktur sosialnya bervariasi, tergantung dari kebudayaan. Artinya, pengaturan ikatan sosial itu pada setiap masyarakat adalah soal kebudayaan. Di Amerika pun, di luar perhatian orang ada satu tradisi kerukunan komunal yang tersembunyi di balik tirai individualisme itu. Maka kalau terjadi apa-apa, cepatlah orang Amerika yang "individualis" itu akan bekerjasama, membantu tetangga yang berkesulitan. Akan ingatlah dia kepada jiwa settlers pertama waktu membuka ladang dalam hutan, dan ikatan urutan kereta-kereta yang melakukan trek menempuh Oregon Trail. Akan ingatlah dia akan cerita-cerita Daniel Boone, Davy Crocket, dan sebagainya. Dan di dalam hati setiap orang Amerika sejati, pada lubuk yang paling dalam, tersimpanlah rasa rindu rahasia yang tidak pernah akan dipadamkan, terhadap segala tradisi itu. Jadi, kalau hati orang Amerika saja begitu, kita tidak perlu takut bagaimana nantinya hati orang Indonesia.
Di Indonesia pun, tradisi-tradisi ikatan rukun komunal itu akan terpelihara. Hanya saja, tradisi itu tidak akan lagi memegang peranan menentukan sebagaimana dalam ekonomi kesukuan purba atau ekonomi komunal desa dalam masyarakat feodal. Dalam kondisi-kondisi ekonomi yang kuno itu, setiap keserakahan menimbulkan destabilisasi ekonomi yang berdasarkan kerukunan itu. Tapi dalam situasi masyarakat industri moderen, tradisi kerukunan itu sangat mengganggu kalau tetap dikedepankan. Ini adalah misalnya satu kesulitan yang dulu dihadapi dalam reservasi-reservasi Indian di Amerika. Pernah ada program pemerintah untuk mengaktifkan orang Indian secara ekonomi, yang kurang memperhatikan kepribadian kebudayaan lamanya. Misalnya satu orang dipinjamkan modal dengan syarat mujur untuk buka toko. Tapi apa boleh buat. Tradisi rukun komunal membuatnya harus bagi-bagi sama kawan satu suku. Kalau dia punya, yang lain tidak punya, ya bagi-bagi. Kalau kawan tidak punya duit untuk beli, yah tidak usah bayar. Bisa dibayangkan bahwa dalam waktu cepat orang itu bangkrut.
Proses peralihan dari kerukunan komunal ke masyarakat serakah yang kerukunannya tersembunyi seperti di Amerika itu adalah tidak mudah, dan penuh dengan penderitaan. Itu pernah dialami oleh rakyat Eropa dan Amerika, dan kini sedang dialami oleh rakyat di negeri-negeri Asia/Pasifik. Ini tidak bisa kita cegah. Yang penting kita ketahui, menurut pendapat saya, adalah bahwa bagaimana pun juga, tradisi kerukunan itu akan tetap diperlukan di latar belakang, dan adalah penting sekali menyimpan den memelihara segala sesuatu yang berhubungan dengan tradisi itu secara baik-baik, karena orang akan tetap memerlukannya nanti, dan akan sangat merasa kehilangan sesuatu kalau ada detil-detil yang hilang tanpa catatan.
© Waruno Mahdi, 1997, 1998.
Back to Index